Monday, June 4, 2007

ARTIKEL MATEMATIKA

Matematika, Mitos Masyarakat, dan Implikasinya terhadap Pendidikan Matematika di Sekolah
Author: Abdul Halim Fathani. 4 November 2006 : 8:44 am.
Generate revenue from your website. Google AdSense.

Sejarah menunjukkan bahwa matematika dibutuhkan manusia. Dapatkah Anda membayangkan bagaimana dunia ini sekarang seandainya matematika tidak ada? Dapatkah Anda mendengarkan radio, melihat televisi, naik kereta api, mobil atau pesawat terbang, berkomunikasi lewat telepon atau Handphone (HP), dan lain sebagainya? Dapatkah Anda membayangkan kacaunya dunia ini seandainya orang tidak bisa berhitung secara sederhana, tidak bisa memahami ruang di mana dia tinggal, tidak bisa memahami harga suatu barang di suatu supermarket? Apa yang terjadi seandainya orang Malang mengatakan 7 + 5 = 12, sedangkan orang Surabaya berpendapat 7 + 5 = 75, atau kejadian-kejadian yang lain.
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Sebab sesuai dengan gambaran di atas, ternyata matematika tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Matematika selalu mengalami perkembangan yang berbanding lurus dengan kemajuan sains dan teknologi. Hal yang demikian, kebanyakan tidak disadari oleh sebagian siswa yang disebabkan minimnya informasi mengenai apa dan bagimana sebenarnya matematika itu. Dengan demikian, maka akan berakibat buruk pada proses belajar siswa, yakni mereka hanya belajar matematika dengan mendengarkan penjelasan seorang Guru, menghafalkan rumus, lalu memperbanyak latihan soal dengan menggunakan rumus yang sudah dihafalkan, tetapi tidak pernah ada usaha untuk memahami dan mencari makna yang sebenarnya tentang tujuan pembelajaran matematika itu sendiri.
Selama ini masyarakat memiliki persepsi (mitos) negatif terhadap matematika. Sebagaimana yang dikemukakan Frans Susilo dalam artikelnya di Majalah BASIS yang berjudul Matematika Humanistik, bahwa kebanyakan sikap negatif terhadap matematika timbul karena kesalahpahaman atau pandangan yang keliru mengenai matematika. Untuk memahami matematika secara benar dan sewajarnya, pertama-tama perlu diklarifikasi terlebih dahulu beberapa mitos negatif terhadap matematika. Beberapa di antara mitos tersebut, antara lain: pertama, anggapan bahwa untuk mempelajari matematika diperlukan bakat istimewa yang tidak dimiliki setiap orang. Kebanyakan orang berpandangan bahwa untuk dapat mempelajari matematika diperlukan memiliki kecerdasan yang tinggi, akibatnya yang merasa kecerdasannya rendah mereka tidak termotivasi untuk belajar matematika.
Mitos kedua, bahwa matematika adalah ilmu berhitung. Kemampuan berhitung dengan bilangan-bilangan memang tidak dapat dihindari ketika belajar matematika. Namun, berhitung hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan isi matematika. Selain mengerjakan penghitungan-penghitungan, orang juga berusaha memahami mengapa penghitungan itu dikerjakan dengan suatu cara tertentu.
Mitos ketiga, bahwa matematika hanya menggunakan otak. Aktivitas matematika memang memerlukan logika dan kecerdasan otak. Namun, logika dan kecerdasan saja tidak mencukupi. Untuk dapat berkembang, matematika sangat membutuhkan kreativitas dan intuisi manusia seperti halnya seni dan sastra. Kreativitas dalam matematika menyangkut akal-budi, imajinasi, estetika, dan intuisi mengenai hal-hal yang benar. Para matematikawan biasanya mulai mengerjakan penelitian dengan menggunakan intuisi, dan kemudian berusaha membuktikan bahwa intuisi itu benar. Kekaguman pada segi keindahan dan keteraturan sering kali juga menjadi sumber motivasi bagi para matematikawan untuk menciptakan terobosan-terobosan baru demi pengembangan matematika. Atau dengan kata lain untuk dapat mengembangkan matematika tidak hanya dibutuhkan kecerdasan menggunakan otak kiri saja, melainkan juga harus mampu menggunakan otak kanannya dengan seimbang.
Mitos keempat, bahwa yang paling penting dalam matematika adalah jawaban yang benar. Jawaban yang benar memang penting dan harus diusahakan. Namun, yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain, dalam menyelesaikan persoalan matematika, yang lebih penting adalah proses, pemahaman, penalaran, dan metode yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan tersebut sampai akhirnya menghasilkan jawaban yang benar.
Mitos kelima, bahwa kebenaran matematika adalah kebenaran mutlak. Kebenaran dalam matematika sebenarnya bersifat nisbi. Kebenaran matematika tergantung pada kesepakatan awal yang disetujui bersama yang disebut ‘postulat’ atau ‘aksioma’. Bahkan ada anggapan bahwa tidak ada kebenaran (truth) dalam matematika, yang ada hanyalah keabsahan (validity), yaitu penalaran yang sesuai dengan aturan logika yang digunakan manusia pada umumnya.
Dari kelima mitos yang dikemukakan oleh Frans Susilo di atas merupakan sebagian kecil yang terjadi dalam masyarakat. Menurut hemat penulis, masih ada mitos-mitos lain yang terjadi di masyarakat. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pages: 1
2
This entry is filed under Esai dan Opini, Tematik, Pendidikan, Ragam, Sains. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Prev/Next Posts
«
Mengintip Matematika dalam Al Qur’an Home Sistem Ekonomi Syariah di Antara Sistem Kapitalisme dan Sosialisme »
6 Responses to “Matematika, Mitos Masyarakat, dan Implikasinya terhadap Pendidikan Matematika di Sekolah”
1
mpe_gandrunk says:
November 6th, 2006 at 12:13 pm
Tidak ada yang bisa membantah bahwa matematika sangat erat dengan kehidupan yang ada disekeliling kita, dimanapun dan bahkan orang yang tidak ahli dalam bidang matematika pun adalah sang ahli itu sendiri, asal mengenal dasar dari matematika itu sendiri, yakni yang berupa lambang yang kita kenal,yakni nol,satu,dua,dua,tiga,empat,lima,enam,tujuh,delapan, dan sembilan.Namun amat sangat memprihatinkan jika setiap siswa diwajibkan pandai dalam pelajaran matematika, dan minimal mendapatkan nilai empat sebagai syarat kelulusan. sebab potensi dan bakat yang dimiliki manusia amat beragam.tidak bisa disamakan dan tidak pula bisa dipaksakan untuk suka.Banyak tokoh-tokoh terkenal didunia yanjg begitu pintar dan boleh disebut sebagai masternya dalam bidang tertentu, yang tidak pandai matematika. jika boleh saya bertanya, kepada Alm. Pramudya Ananta Toer, apakah dalam menghasilkan karya-karyanya, banyak berhubungan dengan matematika? lalu apakah Frans Magnis Suseno dalam berfilsafat, menghitung 1+1=2, malah mungkin menurutnya itu bukan 2, melainkan 0. dan apakah seorang bintang Sepakbola sekelas Zinedine Zidane menghitung jarak dari ketika menendang bola sampai ke gawang, dan dihitung pula seberapa keras ia menendang? atau seorang Chris John ketika akan memukul, menghitung terlebih dahulu Bobot pukulannya untuk menjatuhkan lawan?. Tidak. Semua itu tidak!Jadi, matematika itu sendiri memang amat perlu! Akan tetapi, percayalah, bahwa matematika itu sendiri tidak akan pernah kehilangan peminatnya dan juga ahlinya.Jadi saya rasa, perlu dikaji ulang tentang sistem penilaian kelulusan siswa. :p
2
Amel_31 says:
November 11th, 2006 at 11:48 am
Kata guruku, kebenaran matematika itu mutlak. 1 + 1 = 2, nggak bisa jawaban lain. Tapi jalannya emang banyak, 1 bisa didapatdari 2-1, atau 1×1, dll, jadi banyak kemungkinannya. Sama kayak hidup ya, menuju yang satu dengan jalan yang banyak. Bisa dipilih sendiri, apakah jalan yang positif (+) atau negatif (-), atau berkali-kali mencoba menjalani dengan cara berbeda (x) ataupun dalam mencapaitujuan itu berbagi dengan tujuan yang lain (:), jadi nggak fokus deh ke tujan semula.Seperti komentar sebelumnya, nggak semua bidang maematika itu dipakai, ada yang nggak pinter matematika tapi ahli dalambidang yang lain. Trus kenapa kita mesti beajar matematika? Kan bisa kaya tanpa matematika? Banyak pekerjaan yang nggak pakematematika?Walaupun pernyataan itu mungkin ada benarnya, tapi menurut saya, kenapa kita belajar matematika adalah untuk mengasah logika kita.Seperti misalnya ikut spmb untuk menuju jenjang kuliah. Untuk jurusan IPA , yang dites itu matematika, bahasa indonesia,dan bahasa inggris. Misalnya seseorang ingin masuk FK, tentnya mesti melalui jalur IPA, tapi ketika kuliah, matematika itu amat sangat jarang sekali dipakai. Yang sangat dibutuhkan lebih pada pelajaran biologi dan kemampuan meghapal yang super… Tapi dengan ahlinya kita dalam bidang matematika, tentu logika kita akan lebih mudah bermain. Nggak melulu menghapal, tetapi kita bisa mengaitkan hapalan kita dengan cara lain, misalnyamemakai ‘rumus cepat’ seperti yang sering diajarkan di sma. Kita terbiasa berpikir cepat, karena dulu sering dilatihmencongak dalam menghitung….Gitu lho…
3
cassle says:
November 17th, 2006 at 09:17 pm
Matematika sangat penting sekali,penting bagi otak kita, sekaligus melatih kita untuk dapat bertindak spontan,berpikir kritis, dan yang paling penting melatih otak kita agar semakin baik lagi.Ada penelitian yang menyebutkan (walau saya sendiri tidak dapat memastikan kebenarannya),berlatih berhitung matematika (walau hanya sedikit) setiap harinya dapat meningkatkan kemampuanotak.Dengan berlatih matematika, kita dilatih agar dapat membayangkan atau berimajinasi,sehingga kita dapat membayangkan persoalan dan cara penyelesaiannya di dunia nyata.Matematika juga melatih logika kita sehingga kita dapat lebih mudah memahami sesuatu.Oleh karena itu, jika ada orang yang kurang menyukai matematika,disarankan agar mulai menyukainya (ya, bila memang tidak suka banget ya tidak perlu dipaksa).Karena matematika dan kehidupan nyata (untuk segala profesi, karena kaitannya dengankehidupan di masyarakat khususnya) sangat erat kaitannya!
4
Tri Teddy says:
November 22nd, 2006 at 06:24 pm
Singkat aja: Matematika itu penting!TAPI….saya setuju dengan apa yang diulas oleh Penulis,bahwa memang ada begitu banyak mitos yangmenghambat seseorang untuk berkeinginan dalammempelajari matematika.Selain itu (ini terjadi pada diri saya), adalahkurangnya pemahaman yang diberikan oleh parapengajar kepada para siswa tentang:“Untuk apa saya belajar matematika?”Contoh: Waktu SMA saya paling bermasalah dengansoal-soal Integral (tau kan?), karena saya(waktu itu) samasekali tidak paham apa gunanyamempelajari materi yang sulit tersebut.Dan hasilnya, saya kesulitan untuk bisa memahamimateri tersebut karena saya tidak paham apa gunanyaIntegral dalam kehidupan saya (waktu itu,tentunya).Menurut saya, Matematika itu dimulai dari sebuah filsafat,lalu filasafat tersebut dirumuskan dalam bentuksimbol-simbol singkat dengan tujuan untuk lebih cepat dicerna.Dan menurut saya, begitulah Matematika itu seharusnya.Bukan hanya menghapalkan rumus tanpa ada pemahamandari mana rumus tersebut berasal dan apa gunanya! Huh!
5
reire says:
December 20th, 2006 at 10:22 am
tulisan Agustian anwar kali ini mengingatkan saya pada apa yang ditulisoleh Jujun S. Suriasumantri dalam “Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer”,bahwa “matematika makin lama makin bersifat abstrak dan esoteric yang makin jauh daritangkapan orang awam; magis dan misterius seperti mantera-mantera pendeta Mesir kuno”.Keadaan inilah yang saya tangkap tengah terjadi saat ini. Seperti halnya parapendeta Mesir kuno, saat ini pandangan secara umum melihat bahwa “hanya orang-orangterpilihlah yang mampu menguasai matematika”. Hanya para pelajar jeniuslah yang bisabersahabat akrab dengan pelajaran yang dipenuhi dengan simbol dan angka ini. saya sepakatdengan apa yang disampaikan oleh mpe_gandrung, bahwa tidak semua orang dikaruniai kecerdasanbrilian dalam bidang matematika. Bahwa setiap individu memiliki bakat menonjol dibidang yangberlainan. bakat dalam bidang seni, bahasa, olahraga dan lainnya tentu saja sama berharganyadengan talenta dalam bidang matematika. Namun tentu saja hal tersebut tidak dapat menjadialasan pembenar untuk membiarkan pelajar kita alergi pada matematika. Kalau demikian, apayang dikatakan Jujun bahwa matematika adalah hal yang magis dan misterius bagi masyarakat awamakan menjadi benar adanya.Saat menjadi pelajar saya juga sangat alergi dengan matematika. Hanya karenaguru matematika saya yang baik hatilah maka nilai matematika saya tidak pernah kebakaran.Belajar dari pengalaman sebagai pelajar tersebut, saya rasa apa yang menjadi sebab pelajarmenjadi alergi pada matematika salah satunya adalah karena matematika terlihat sangat suram,kaku, dan tidak humanistik. Metode pembelajaran matematika yang hanya mengajarkan matematikasebagai sekumpulan rumus, tabel dan angka membuat kita melihat sejumlah apel yang ranumsebagai sekumpulan benda yang semata-mata bersifat matematis. Dalam matematika, sepuluh buahapel ranum hanyalah sekumpulan benda yang akan dihitung dalam satuan kilogram. Padahallebih dari itu, matematika adalah sarana yang menungkinkan kita untuk membagi sepuluhbuah apel tersebut terbagi rata pada dua puluh orang anak. Dengan begitu, dua puluhorang anak tersebut sama-sama akan menikmatinya manisnya apel. Sudah sepatutnya kalaupembelajaran matematika juga dibarengi dengan “filsafat dari matematika itu sendiri”, yaitupembelajaran mengenai apa sebenarnya matematika itu, apa perlunya kita mempelajari matematika,kaitan langsung antara matematika dengan kehidupan sosial manusia. Dengan begitu,masyarakat kita, khususnya para pelajar dapat lebih akrab dengan matematika. Walaupun tentu sajatidak semua orang diciptakan menjadi seorang ahli matematika yang brilian,tapi setidaknya pelajar kita tidak menjadi takut dan alergi ketika mendengar kata matematika.
pembenar
6
wirati says:
March 16th, 2007 at 08:54 pm
Wah kalau ngomong matematika, jangan ngomongin ngapalin rumus aja. Belajar matematika itu harus mengerti pola pemecahannya. Anak-anak sekarang kebanyakan di sekolah belajar matematika disuruh ngapalin rumusnya. Mereka tidak pernah diajar logika pemecahan. Sebenarnya ilmu matematika berguna dalam kehidupan sehari-hari. Belajar logika dan pola pemecahan juga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Saya punya teman dia dis ekolah dulu gak jago matematika, apalagi ngapalin rumus, pasti nyontek. Eh, ternyata waktu kuliah masuk ekonomi jurusan akuntansi, eh malah jago bangte, ampe S2. Dulu dia bilang benci banget matematika, sekarang malah jago. Ternyata, dia dapat trik belajar matematika. Pakai logika dan pemahaman untuk mencari jalan keluar. Bukan sekedar ngapalin rumus.
You must be
logged in to post a comment
PenulisLepas.com is powered by
WordPress Using Redzonea Sponsored By Read Article
Sumber : http;//www.penulislepas.com/v2/?p=161
Diakses : 21 Mei 2007/ Senin

ARTIKEL PENDIDIKAN

Guru Harus Menjadi Model Dalam Penyampaian Materi

Oleh NEULIS RAHMAWATI BARLIAN, S.Pd.
Keberhasilan proses belajar mengajar (PBM) dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti metode mengajar, sarana-prasarana, materi pembelajaran, kurikulum, dll. Dari berbagai aspek itu, yang memegang peranan penting PBM adalah guru. Selengkap apa pun sarana-prasarana, kalau tidak ditunjang oleh kompetensi guru terhadap bidang studi yang diajarkan, tidak akan berhasil.
Bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kompetensi yang harus dimiliki guru bahasa Indonesia tidak hanya penguasaan teori-teori serta materi bahasa dan sastra Indonesia saja. Tetapi yang lebih utama, guru harus memiliki kompetensi sebagai model dalam menyampaikan materi bahasa dan sastra Indonesia karena tujuan utama pelajaran bahasa Indonesia yaitu terampil berbahasa.
Saya ingin berbagi pengalaman dengan guru bahasa dan sastra Indonesia berdasarkan pengalaman saya mengikuti pendidikan dan pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra (MMAS) yang diadakan oleh Departemen Pendidkan Nasional di Wisma Taruna Bandung pada 21 hingga 25 September 2004.
Diklat ini telah membuka mata dan hati saya untuk melaksanakan paradigma baru dalam mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia. Paradigma itu menuntut terampil berbahasa, menjadi model dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, serta dapat menyajikannya dengan cara yang menarik dan menyenangkan sehingga tujuan menjadikan siswa terampil berbahasa dapat dicapai.
Pelajaran bahasa adalah salah satu pelajaran yang kurang mendapat perhatian. Salah satunya disebabkan dalam menyajikan materi, guru belum mampu menjadi model dalam pelajaran itu. Padahal, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sangat penting dalam kehidupan sebagai sarana menyampaikan ide, gagasan, dan pendapat dalam berkomunikasi sehri-hari.
Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia menyangkut empat aspek yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam menyampaikan empat aspek keterampilan tersebut, guru dituntut terampil dulu berbahasa, jangan sampai guru bahasa hanya bisa menyuruh siswa, membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra. Sedangkan gurunya sendiri tidak pernah melakukannya.
Seperti yang diungkapkan Erwan Juhara, guru harus jadi model PBM bagi murid-muridnya dalam angka eksistensi sastra, dalam kehidupan akademis, yang selanjutnya memanfaatkan dampak positifnya dalam penciptaan atmosfir sastra di masyarakat.
Contohnya, banyak guru tidak bisa menjadi model yang baik saat ia membina budaya baca sastra karena guru sendiri tidak pernah membaca karya sastra. Begitu pun dalam mengajarkan menulis, guru tidak memiliki karya dan pengalaman mengarang. Ada juga guru yang menyuruh muridnya menyaksikan pertunjukan karya sastra sementara ia tak tertarik menyaksikan karya sastra.
Seperti yang diungkapkan Taufik Ismail dalam membantu memperbaiki pengajaran membaca, mengarang, dan apresiasi sastra, dikenal "Paradigma Baru Pengajaran Sastra", yaitu siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira.
Sastra sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang membuat mereka antusias, dan yang mereka merasa perlu. Biasakan membaca karya sastra puisi, cerita pendek, novel, drama, dan esai. Bukan melalui ringkasan.
Kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan. Dalam membicarakan karya sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berpikir yang logis. Pengetahuan tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra, cukup sebagai informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra. Pengajaran sastra mestinya menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa.
Untuk melaksanakan paradigma di atas, guru harus menjadi model penikmat karya sastra, dengan menceritakan pengalamannya menikmati bahasa, isi sastra, sehingga kegemarannya membaca karya sastra tergambar dalam dirinya. Nilai positif dalam karya sastra dipraktikkan dalam sikap dan perilakunya sehari-hari sehingga dapat menjadi contoh yang akan menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa.
Sebelum siswa membacakan puisi, guru harus terlebih dahulu membaca puisi di depan para siswanya dengan suara, sikap, dan penjiwaan yang baik. Guru juga harus mampu membacakan cerita dengan intonasi dan bahasa yang tepat sehingga tokoh-tokohnya hidup dan mampu menarik perhatian siswa. Guru pun harus terampil menulis, menyajikan karya tulisnya.
Misalnya, tahap awal anak diberi kuis untuk melengkapi tanda baca, menempatkan huruf kapital, membagi paragraf, dan menyusun paragraf. Setelah itu, guru memberikan sebuah contoh karangan yang bagus, baru siswa disuruh mengarang dengan ekspresi diri yang melegakan perasaan, melalui imajinasi yang kaya, sesuai dengan fantasi siswa.
Teori-teori mengarang disampaikan pada saat memeriksa karangan siswa. Hal ini dilakukan supaya siswa tidak hanya menguasai teori-teori tetapi terampil menulis. Tidak hanya menulis karya sastra tetapi juga karya ilmiah, menulis laporan, dan menulis surat.
Untuk keterampilan berbicara, guru dituntut terampil berpidato, terampil membawakan acara, dan berbicara lainnya. Dalam menyampaikan materi ini, guru harus berdasarkan pengalamannya, bukan hanya berdasarkan teori-teori di buku saja.
Guru yang memiliki kompetensi berbahasa yang baik akan membantu keberhasilan PBM yang berpusat kepada siswa. Hal ini sesuai dengan konsep dasar life skill (kecakapan hidup), yang menyangkut kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan kerja.
Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 24 Kota Bandung



Metoda Mengajar Berdasarkan Tipologi Belajar Siswa

Oleh: Adrian **)
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar ( learning ) dan pembelajaran ( intruction ). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Dalam proses belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik adalah seseorang atau sekelompok orang yang berprofesi sebagai pengolah kegiatan belajar mengajar dan seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen, yaitu peserta didik, guru (pendidik), tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti : perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (over behaviour) yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain baik tutur katanya, motorik dan gaya hidupnya. Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya yang menurut penulis penting adalah metodologi mengajar. Mengajar merupakan istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara/mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya. Metodologi mengajar banyak ragamnya, kita sebagai pendidik tentu harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan hanya satu metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar siswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pengajaran yang telah dirumuskan oleh pendidik dapat terwujud/tercapai. Karena begitu pentingnya metode mengajar dalam pembelajaran maka penulis tergugah untuk menulis dan menguraikannya sehingga makalah ini penulis beri judul "Metode Mengajar Berdasarkan Tipologi Belajar Siswa". B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka timbul masalah-masalah sebagai berikut : 1. Benarkah pendidikan dapat menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam kegiatan pengajaran ? 2. Adakah Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) ? 3. Apakah komponen-komponen dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) ? 4. Apakah tipe belajar siswa berbeda-beda ? 5. Apakah pendidik perlu mengenal tipe belajar siswa ? 6. Apakah tipe belajar siswa perlu di observasi ? 7. Apakah pendidik perlu memiliki berbagai macam metode mengajar ? 8. Apa hubungan metodologi mengajar dengan tipe belajar siswa ? C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, agar penguraian makalah lebih terarah dan terfokus maka penulis batasi pada point 4,5,6,7 dan 8 dari identifikasi masalah di atas yaitu : 1. Apakah tipe belajar siswa berbeda-beda ? 2. Apakah pendidik perlu mengenal tipe belajar siswa ? 3. Apakah tipe belajar siswa perlu di observasi ? 4. Apakah pendidik perlu memiliki berbagai macam metode mengajar ? 5. Apa hubungan metodologi mengajar dengan tipe belajar siswa ? D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, Identifikasi dan batasan masalah maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Apakah tipe belajar siswa berbeda-beda ? 2. Apakah pendidik perlu mengenal tipe belajar siswa ? 3. Apakah tipe belajar siswa perlu di observasi ? 4. Apakah pendidik perlu memiliki berbagai macam metode mengajar ? 5. Apa hubungan metodologi mengajar dengan tipe belajar siswa ? E. Tujuan Penulisan Makalah Penulisan makalah ini bertujuan untuk menginformasikan bagi para pembaca, bahwa betapa pentingnya metodologi mengajar dikuasai oleh pendidik, dan diusahakan metodologi yang dimiliki pendidik pada saat praktek disesuaikan dengan tipe belajar siswa, sehingga diharapkan materi yang kita sampaikan terekam dan tercerna oleh peserta didik, dan dapat ditunjukan oleh mereka pada sikap dan prilaku dalam kesehariannya. II. PEMBAHASAN A. Pengertian 1. Pengertian Tipe Tipe : sikap, gerak, gerik, lagak yang menandai ciri seseorang, atau gerakan tertentu yang diatur untuk menarik perhatian orang lain. 2. Pengertian Belajar ² Cronbach (1954) berpendapat : Learning is shown by a change in behaviour as result of experience ; belajar dapat dilakukan secara baik dengan jalan mengalami. ² Menurut Spears : Learning is to observe, to read, to imited, to try something themselves, to listen, to follow direction, dimana pengalaman itu dapat diperoleh dengan mempergunakan panca indra. ² Robert. M. Gagne dalam bukunya : The Conditioning of learning mengemukakan bahwa : Learning is a change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and wich is not simply ascribable to process of growth. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi. Dalam teori psikologi konsep belajar Gagne ini dinamakan perpaduan antara aliran behaviorisme dan aliran instrumentalisme. ² Lester.D. Crow and Alice Crow mendefinisikan : Learning is the acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap-sikap. ² Hudgins Cs. (1982) berpendapat Hakekat belajar secara tradisional belajar dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam tingkah laku, yang mengakibatkan adanya pengalaman . ² Jung , (1968) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu proses dimana tingkah laku dari suatu organisme dimodifikasi oleh pengalaman. ² Ngalim Purwanto, (1992 : 84) mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan pengalamannya.Oleh sebab itu apabila setelah belajar peserta didik tidak ada perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa belajarnya belum sempurna. Pada dasarnya prinsip belajar lebih dititikberatkan pada aktivitas peserta didik yang menjadi dasar proses pembelajaran baik dijenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA) maupun Tingkat Perguruan Tinggi. 3. Pengertian Siswa / Peserta Didik ² A person registrered in an education and pursuing a course of study (Seseorang yang terdaftar pada sebuah lembaga pendidikan dan mengikuti suatu jalur studi). Asa S. Knowles, Editor-in-Chief, The International Encyclopedia of Higher Education, Volume 1, 1977. ² A student is a man or woman, who knows how tp read books. (Seorang peserta didik adalah seorang pria atau wanita yang mengetahui cara membaca buku-buku). The Future of The Indian University ² Peserta didik (siswa) adalah seseorang atau sekelompok orang yang bertindak sebagai pelaku pencari, penerima dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkannya untuk mencapai tujuan (Aminuddin Rasyad, 2000 : 105) ² Peserta didik atau siswa atau murid atau terdidik. Siapa dan bagaimana peserta didik itu ? 1) Peserta didik sebagai individu / pribadi ( manusia seutuhnya ) : Individu ini diartikan "Seseorang yang tidak bergantung pada orang lain, dalam arti benar-benar seorang pribadi yang menentukan diri sendiri dan tidak dipaksa dari luar, juga mempunyai sifat dan keinginan sendiri ( Abu Ahmadi, 1991 ; 39 ) Untuk itu peserta didik harus dipandang secara filosofis, yaitu menerima kehadiran keakuannya, keindividuannya, sebagaimana mestinya ia ada ( eksistensinya ). 2) Peserta didik menurut tahap dan perkembangan umur a. 0 - 7 tahun masa kanak-kanak masa kanak-kanak adalah masa mulai bermain, berkawan, berkomunikasi dengan dunia luar. b. 7 - 14 tahun masa sekolah pada usia-usia 12 tahunan biasanya siswa memasuki masa kritis, dimana pendidik harus lebih memperhatikan dan memberi pengertian, serta bimbingan. c. 14 - 21 tahun puberitas masa puberitas terbagi tiga : a) Masa pra puberitas : wanita 12 - 13 th Laki-laki 13 - 14 th b) Masa puberitas : wanita 13 - 18 th Laki-laki 14 - 18 th c) Masa adolesen : wanita 18 - 21 th Laki-laki 18 - 23 th 3) Peserta didik menurut status dan tingkat kemampuan. Kata status disini diartikan dengan keadaan peserta didik dipandang secara umum dalam kemampuannya ( kecerdasannya ). Kemampuan peserta didik dapat digolongkan 3 kelompok : a. Peserta didik super normal b. Peserta didik normal c. Peserta didik sub normal Untuk lebih rincinya lihat skema dibawah ini : Genius IQ 140 keatas Super normal Gifted IQ 130 - 140Superior IQ 110 - 130Normal dan Normal IQ 90 - 110Derajat mental Sedikit di bawahNormal Sub Normal /Berdoline IQ 70 - 90Debil IQ 50 - 70Sub normal Insibil IQ 25 - 50Idiot IQ 20 - 254. Pengertian Tipe Belajar Siswa Dari pengertian-pengertian yang penulis uraikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tipe belajar siswa adalah suatu sikap atau lagak yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, berdasarkan pengalaman yang dialaminya sendiri dengan mempergunakan alat indranya. 5. Pengertian Metodologi Metodologi berasal dari bahasa Latin " Meta " dan " Hodos " meta artinya jauh (melampaui), Hodos artinya jalan (cara). Metodologi adalah ilmu mengenai cara-cara mencapai tujuan. 6. Pengertian Mengajar ² Arifin (1978) mendefinisikan bahwa mengajar adalah " . suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapi, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu ". ² Tyson dan Caroll (1970) mengemukakan bahwa mengajar ialah . a way working with students ... A process of interaction . the teacher does something to student, the students do something in return. Dari definisi itu tergambar bahwa mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan. ² Nasution (1986) berpendapat bahwa mengajar adalah " . suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar". ² Tardif (1989) mendefinisikan, mengajar adalah . any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar. ² Biggs (1991), seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu : a. Pengertian Kuantitatif dimana mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebai-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar. b. Pengertian institusional yaitu mengajar berarti . the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat , kemampuan dan kebutuhannya. c. Pengertian kualitatif dimana mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Dari definisi-definisi mengajar dari para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga terjadi proses belajar dan tujuan pengajaran tercaqpai. 7. Pengertian Metodologi Mengajar Dari definisi-definisi metodologi dan mengajar yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa pengertian metodolgi mengajar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai. Agar tujuan pengajaran tercapai sesuai dengan yang telah dirumuskan oleh pendidik, maka perlu mengetahui, mempelajari beberapa metode mengajar, serta dipraktekkan pada saat mengajar. B. Metode Mengajar Beberapa metode mengajar yang dapat divariasikan oleh pendidik diantaranya : 1. Metode Ceramah (Preaching Method) Metode ceramah yaitu sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan saecara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Muhibbin Syah, (2000). Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham siswa. Beberapa kelemahan metode ceramah adalah : a. Membuat siswa pasif b. Mengandung unsur paksaan kepada siswa c. Mengandung daya kritis siswa ( Daradjat, 1985) d. Anak didik yang lebih tanggap dari visi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih tanggap auditifnya dapat lebih besar menerimanya. e. Sukar mengontrol sejauhmana pemerolehan belajar anak didik. f. Kegiatan pengajaran menjadi verbalisme (pengertian kata-kata). g. Bila terlalu lama membosankan.(Syaiful Bahri Djamarah, 2000) Beberapa kelebihan metode ceramah adalah : a. Guru mudah menguasai kelas. b. Guru mudah menerangkan bahan pelajaran berjumlah besar c. Dapat diikuti anak didik dalam jumlah besar. d. Mudah dilaksanakan (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) 2. Metode diskusi ( Discussion method ) Muhibbin Syah ( 2000 ), mendefinisikan bahwa metode diskusi adalah metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan memecahkan masalah (problem solving). Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi kelompok (group discussion) dan resitasi bersama ( socialized recitation ). Metode diskusi diaplikasikan dalam proses belajar mengajar untuk : a. Mendorong siswa berpikir kritis. b. Mendorong siswa mengekspresikan pendapatnya secara bebas. c. Mendorong siswa menyumbangkan buah pikirnya untuk memcahkan masalah bersama. d. Mengambil satu alternatif jawaban atau beberapa alternatif jawaban untuk memecahkan masalah berdsarkan pertimbangan yang seksama. Kelebihan metode diskusi sebagai berikut : a. Menyadarkan anak didik bahwa masalah dapat dipecahkan dengan berbagai jalan b. Menyadarkan ank didik bahwa dengan berdiskusi mereka saling mengemukakan pendapat secara konstruktif sehingga dapat diperoleh keputusan yang lebih baik. c. Membiasakan anak didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun berbeda dengan pendapatnya dan membiasakan bersikap toleransi. (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) Kelemahan metode diskusi sebagai berikut : a. tidak dapat dipakai dalam kelompok yang besar. b. Peserta diskusi mendapat informasi yang terbatas. c. Dapat dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara. d. Biasanya orang menghendaki pendekatan yang lebih formal (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) 3. Metode demontrasi ( Demonstration method ) Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Muhibbin Syah ( 2000). Metode demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk memperlihatkan sesuatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran. Syaiful Bahri Djamarah, ( 2000). Manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi adalah : a. Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan . b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari. c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa (Daradjat, 1985) Kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut : a. Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atu kerja suatu benda. b. Memudahkan berbagai jenis penjelasan . c. Kesalahan-kesalahan yeng terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki melaui pengamatan dan contoh konkret, drngan menghadirkan obyek sebenarnya (Syaiful Bahri Djamarah, 2000). Kelemahan metode demonstrasi sebagai berikut : a. Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan. b. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan c. Sukar dimengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang menguasai apa yang didemonstrasikan (Syaiful Bahri Djamarah, 2000). 4. Metode ceramah plus Metode ceramah plus adalah metode mengajar yang menggunakan lebih dari satu metode, yakni metode ceramah gabung dengan metode lainnya.Dalam hal ini penulis akan menguraikan tiga macam metode ceramah plus yaitu : a. Metode ceramah plus tanya jawab dan tugas (CPTT). Metode ini adalah metode mengajar gabungan antara ceramah dengan tanya jawab dan pemberian tugas. Metode campuran ini idealnya dilakukan secar tertib, yaitu : 1). Penyampaian materi oleh guru. 2). Pemberian peluang bertanya jawab antara guru dan siswa. 3). Pemberian tugas kepada siswa. b. Metode ceramah plus diskusi dan tugas (CPDT) Metode ini dilakukan secara tertib sesuai dengan urutan pengkombinasiannya, yaitu pertama guru menguraikan materi pelajaran, kemudian mengadakan diskusi, dan akhirnya memberi tugas. c. Metode ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL) Metode ini dalah merupakan kombinasi antara kegiatan menguraikan materi pelajaran dengan kegiatan memperagakan dan latihan (drill) 5. Metode resitasi ( Recitation method ) Metode resitasi adalah suatu metode mengajar dimana siswa diharuskan membuat resume dengan kalimat sendiri. Kelebihan metode resitasi sebagai berikut : a. Pengetahuan yang anak didik peroleh dari hasil belajar sendiri akan dapat diingat lebih lama. b. Anak didik berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif, bertanggung jawab dan berdiri sendiri (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) Kelemahan metode resitasi sebagai berikut : a. Terkadang anak didik melakukan penipuan dimana anak didik hanya meniru hasil pekerjaan temennya tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri. b. Terkadang tugas dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan. c. Sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan individual (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) 6. Metode percobaan ( Experimental method ) Metode percobaan adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan. Syaiful Bahri Djamarah, (2000) Metode percobaan adalah suatu metode mengajar yang menggunakan tertentu dan dilakukan lebih dari satu kali. Misalnya di Laboratorium. Kelebihan metode percobaan sebagai berikut : a. Metode ini dapat membuat anak didik lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri daripada hanya menerima kata guru atau buku. b. Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi (menjelajahi) tentang ilmu dan teknologi. c. Dengan metode ini akan terbina manusia yang dapat membawa terobosan-terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia. Kekurangan metode percobaan sebagai berikut : a. Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap anak didik berkesempatan mengadakan ekperimen. b. Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama, anak didik harus menanti untuk melanjutkan pelajaran. c. Metode ini lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang ilmu dan teknologi. 7. Metode Karya Wisata ( Study tour method ) Metode karya wisata adalah suatu metode mengajar yang dirancang terlebih dahulu oleh pendidik dan diharapkan siswa membuat laporan dan didiskusikan bersama dengan peserta didik yang lain serta didampingi oleh pendidik, yang kemudian dibukukan. Kelebihan metode karyawisata sebagai berikut : a. Karyawisata menerapkan prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran. b. Membuat bahan yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat. c. Pengajaran dapat lebih merangsang kreativitas anak. Kekurangan metode karyawisata sebagai berikut : a. Memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak. b. Memerlukan perencanaan dengan persiapan yang matang. c. Dalam karyawisata sering unsur rekreasi menjadi prioritas daripada tujuan utama, sedangkan unsur studinya terabaikan. d. Memerlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap setiap gerak-gerik anak didik di lapangan. e. Biayanya cukup mahal. f. Memerlukan tanggung jawab guru dan sekolah atas kelancaran karyawisata dan keselamatan anak didik, terutama karyawisata jangka panjang dan jauh. 8. Metode latihan keterampilan ( Drill method ) Metode latihan keterampilan adalah suatu metode mengajar , dimana siswa diajak ke tempat latihan keterampilan untuk melihat bagaimana cara membuat sesuatu, bagaimana cara menggunakannya, untuk apa dibuat, apa manfaatnya dan sebagainya. Contoh latihan keterampilan membuat tas dari mute/pernik-pernik. Kelebihan metode latihan keterampilan sebagai berikut : a. Dapat untuk memperoleh kecakapan motoris, seperti menulis, melafalkan huruf, membuat dan menggunakan alat-alat. b. Dapat untuk memperoleh kecakapan mental, seperti dalam perkalian, penjumlahan, pengurangan, pembagian, tanda-tanda/simbol, dan sebagainya. c. Dapat membentuk kebiasaan dan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan. Kekurangan metode latihan keterampilan sebagai berikut : a. Menghambat bakat dan inisiatif anak didik karena anak didik lebih banyak dibawa kepada penyesuaian dan diarahkan kepada jauh dari pengertian. b. Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan. c. Kadang-kadang latihan tyang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal yang monoton dan mudah membosankan. d. Dapat menimbulkan verbalisme. 9. Metode mengajar beregu ( Team teaching method ) Metode mengajar beregu adalah suatu metode mengajar dimana pendidiknya lebih dari satu orang yang masing-masing mempunyai tugas. Biasanya salah seorang pendidik ditunjuk sebagai kordinator. Cara pengujiannya, setiap pendidik membuat soal, kemudian digabung. Jika ujian lisan maka setiap siswa yang diuji harus langsung berhadapan dengan team pendidik tersebut. 10. Metode mengajar sesama teman ( Peer teaching method ) Metode mengajar sesama teman adalah suatu metode mengajar yang dibantu oleh temannya sendiri 11. Metode pemecahan masalah ( Problem solving method ) Metode ini adalah suatu metode mengajar yang mana siswanya diberi soal-soal, lalu diminta pemecahannya. 12. Metode perancangan ( projeck method ) yaitu suatu metode mengajar dimana pendidik harus merancang suatu proyek yang akan diteliti sebagai obyek kajian. Kelebihan metode perancangan sebagai berikut : a. Dapat merombak pola pikir anak didik dari yang sempit menjadi lebih luas dan menyuluruh dalam memandang dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan. b. Melalui metode ini, anak didik dibina dengan membiasakan menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan terpadu, yang diharapkan praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari. Kekurangan metode perancangan sebagai berikut : a. Kurikulum yang berlaku di negara kita saat ini, baik secara vertikal maupun horizontal, belum menunjang pelaksanaan metode ini. b. Organisasi bahan pelajaran, perencanaan, dan pelaksanaan metode ini sukar dan memerlukan keahlian khusus dari guru, sedangkan para guru belum disiapkan untuk ini. c. Harus dapat memilih topik unit yang tepat sesuai kebutuhan anak didik, cukup fasilitas, dan memiliki sumber-sumber belajar yang diperlukan. d. Bahan pelajaran sering menjadi luas sehingga dapat mengaburkan pokok unit yang dibahas. 13. Metode Bagian ( Teileren method ) yaitu suatu metode mengajar dengan menggunakan sebagian-sebagian, misalnya ayat per ayat kemudian disambung lagi dengan ayat lainnya yang tentu saja berkaitan dengan masalahnya. 14. Metode Global (Ganze method ) yaitu suatu metode mengajar dimana siswa disuruh membaca keseluruhan materi, kemudian siswa meresume apa yang dapat mereka serap atau ambil intisari dari materi tersebut. C. Perbandingan Ciri Khas Metode Mengajar Metode Sifat Materi Tujuan Keunggulan Kelemahan CeramahDemonstrasiDiskusi Informatif, faktualPrinsipal,faktual,keterampilanPrinsipal, konseptual, keterampilan Pemahaman PengetahuanPemahaman aplikasiPemahamanAnalisis, sintesis,Evaluasi, aplikasi Lebih banyak materi yang tersajiSiswa berpengalamanDan berkesan mendalam.Siswa aktif, berani dan kritis Siswa pasifLebih banyak alat dan biayaMemboroskan waktuDidominasiSiswa yangpintar Metode mengajar yang dimiliki pendidik usahakan divariasikan, agar siswa-siswi dalam kelas yang tipe belajarnya pasti beragam itu dapat menerima, mencerna, menguasai materi yang diberikan oleh pendidik seefisien dan seefektif mungkin. Bagaimana agar yang kita harapkan itu menjadi kenyataan ? Salah satu solusinya adalah pendidik disamping menguasai beberapa metode mengajar, harus tahu juga tipe belajar para siswanya. Supaya sinkron antara metode mengajar pendidik dengan tipe belajar peserta didik. Artinya metode yang digunakan dalam megajar telah disesuaikan dengan tipe belajar peserta didik. Misal tipe belajar siswa visual, maka akan lebih mudah dicerna oleh siswa apabila guru mengajar dengan slide, makalah, atau digambarkan langsung di papan tulis. Untuk itu mari kita lihat beberpa tipe belajar siswa . D. Beberapa Tipe Belajar Siswa Mengetahui tipe belajar siswa membantu guru untuk dapat mendekati semua atau hampir semua murid hanya dengan menyampaikan informasi dengan gaya yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tipe belajar siswa. Beberapa Tipe Belajar Siswa Sebagai Berikut : 1. Tipe Belajar Visual. Bagi siswa yang bertipe belajar visual, yang mememgang peranan penting adalah mata / penglihatan ( visual ), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya lebih banyak / dititikberatkan pada peragaan / media, ajak mereka ke obyek-obyek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis. Ciri-ciri Tipe Belajar Visual : ² Bicara agak cepat ² Mementingkan penampilan dalam berpakaian/presentasi ² Tidak mudah terganggu oleh keributan ² Mengingat yang dilihat, dari pada yang didengar ² Lebih suka membaca dari pada dibacakan ² Pembaca cepat dan tekun ² Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi tidak pandai memilih kata-kata ² Lebih suka melakukan demonstrasi dari pada pidato ² Lebih suka musik dari pada seni ² Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya ² Mengingat dengan Asosiasi Visual 2. Tipe Belajar Auditif. Siswa yang bertipe auditif mengandalakan kesuksesan belajarnya melalui telinga ( alat pendengarannya ), untuk itu maka guru sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Karena akan sia-sialah guru yang menerangkan kepada siswa tuli, walaupun guru tersebut menerangkan dengan lantang , jelas dan dengan intonasi yang tepat. Ciri-ciri Tipe Belajar Auditif : ² Saat bekerja suka bicaa kepada diri sendiri ² Penampilan rapi ² Mudah terganggu oleh keributan ² Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat ² Senang membaca dengan keras dan mendengarkan ² Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca ² Biasanya ia pembicara yang fasih ² Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya ² Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik ² Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan Visual, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain ² Berbicara dalam irama yang terpola ² Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara 3. Tipe Belajar Kinestetik. Siswa yang bertipe belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan. Ciri-ciri Tipe Belajar Kinestetik : ² Berbicara perlahan ² Penampilan rapi ² Tidak terlalu mudah terganggu dengan situasi keributan ² Belajar melalui memanipulasi dan praktek ² Menghafal dengan cara berjalan dan melihat ² Menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca ² Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita ² Menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca ² Menyukai permainan yang menyibukkan ² Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di tempat itu ² Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi 4. Tipe Belajar Taktil. Taktil artinya rabaan atau sentuhan. Siswa yang seperti ini penyerapan hasil pendidikannya melaui alat peraba yaitu tangan atau kulit. Contoh : mengatur ruang ibadah, menentukan buah-buahan yang rusak (busuk) 5. Tipe Belajar Olfaktoris. Keberhasilan siswa yang bertipe olfaktoris , tergantung pada alat indra pencium, tipe siswa ini akan sangat cepat menyesuaikan dirinya dengan suasana bau lingkungan. Siswa tipe ini akan cocok bila bekerja di : laboratorium 6. Tipe Belajar Gustative. Siswa yang bertipe gustative ( kemampuan mencicipi ) adalah mereka yang mencirikan belajarnya lebih mengandalkan kecapan lidah. Mereka akan lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya melalui indra kecapnya. 7. Tipe Belajar Kombinatif. Siswa bertipe kombinatif adalah siswa yang dapat dan mampu mengikuti pelajaran dengan menggunakan lebih dari satu alat indra.Ia dapat menerima pelajaran dangan mata dan telinga sekaligus ketika belajar. Karena banyak ragam tipe belajar siswa, maka kita sebagai pendidik hendaknya mengenali betul anak didik kita dan hendaknya pendidik memiliki berbagai metode mengajar, agar siswa dapat menerima atau mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya dengan seefektif dan seefisien mungkin. F. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa a. Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yaitu kondisi/keadaan jasmani dan rohani siswa b. Faktor ekstenal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan disekitar siswa. c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Untuk memperjelas uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa, perhatikan bagan di bawah ini : Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Belajar Ragam Faktor dan Elemennya Internal Siswa Eksternal Siswa Pendekatan Belajar Siswa 1. Aspek Fisiologis :- Tonus Jasmani- Mata dan telinga2. Aspek Psikologis- intelegensi- sikap- minat- bakat- motivasi 1. Lingkungan Sosial- keluarga- guru dan staf- masyarakat- teman2. Lingkungan Nonsosial- rumah- sekolah- peralatan- alam 1. Pendekatan Tinggi- speculative- achieving2. Pendekatan Sedang- analitical- deep3. Pendekatan Rendah- reproductive- surface G. Hubungan Metodologi Mengajar Dengan Tipe Belajar Beberapa metode mengajar yang telah penulis uraikan di atas sebaiknya dikuasai dan divariasikan oleh pendidik, dengan tujuan pada saat mengajar dipraktekkan langsung, agar siswa yang terdiri dari bebrapa tipe belajar tersebut dapat menyimak, menerima, mencerna dan mengerti, sehingga peserta didik dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti adanya perubahan tingkah laku yang positif yaitu dari tidak tahu menjadi tahu, wawasannya lebih luas, tutur katanya lebih sopan serta gaya hidupnyapun lebih intelek. Metode mengajar jelas erat hubungannya dengan tipe belajar peserta didik, karena dalam proses belajar mengajar yang baik adalah apabila terjadi interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Untuk itu maka pendidik harus dapat menciptakan situasi yang nyaman, membangkitkan semangat belajar, menggairahkan dan membuat siswa antusias untuk belajar. Sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Bagaimana cara menciptakannya ?. Perhatikan tipe belajar terbanyak dari siswa yang kita ajar. Jika tipe belajar tebanyak adalah bertipe belajar auditif, maka kita akan tepat jika menggunakan metode ceramah atau mendengarkan kaset, tetapi diselingi juga dengan menunjukkan gambarnya (demonstrasi), dapat juga dengan memutarkan filmnya agar siswa dapat melihat (visual) dengan jelas apa yang terjadi. Dengan harapan peserta didik dalam kelas yang tipe belajarnya beragam itu, dapat menyimak, memperhatikan , sehingga terjadilah proses belajar mengajar dan terdapat interaksi dari keduanya. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh di bahwa ini : seorang peserta didik baru saja menerima sebuah bingkisan hadiah berupa kotak, setelah peserta didik membukanya, ternyata kotak itu berisi rumah boneka Barbie dalam keadaan terurai terdiri dari 25 bagian yang terpisah-pisah dilengkapi dengan buku petunjuk setebal 20 halaman untuk membantu peserta didik dalam merangkai rumah Barbie tersebut. ¨ Bagaimana peserta didik mengatasi hal ini ? ¨ Apakah peserta didik membaca buku tersebut serta bingung dan tidak jelas sampai ia melihat ilustrasinya dan mulai menyambung bagian-bagiannya ? ¨ Ataukah sebaliknya, peserta didik merasa bingung dengan rangkaian bagian-bagian itu ? Tetapi setelah peserta didik membaca buku petunjuknya semuanya menjadi sangat jelas? v Jika peserta didik membaca ilustrasi dan akhirnya menjadi jelas bagi peserta didik, maka kemungkinan besar peserta didik tergolong pelajar Visual. v Karena pendidik tahu tipe belajar siswa yaitu bertipe belajar visual, maka alangkah baiknya pendidik menjelaskan materi dengan metode ceramah, dengan menggunakan slide atau dengan menggunakan modul. v Jika peserta didik tidak dapat menyelesaikan dalam merangkai bagian-bagian tersebut melalui buku petunjuk ataupun melalui gambarnya, kemudian peserta didik menelpon temennya yang membaerikan hadiah tadi dan menjelaskannya melalui telepon bagaimana cara merankainya dan akhirnya menjadi jelas, maka ini berindikasi bahwa peserta didik tergolong pelajar auditif. v Karena peserta didiknya bertipe belajar auditif, maka sebaiknya pendidik pada saat mengajar menggunakan metode ceramah, memutarakan kaset, atau divariasikan antara metode ceramah dengan tanya jawab. v Jika terlihat peserta didik dalam memulai penyelesaian dengan bagian-bagian tersebut secara fisik, mungkin peserta didik tergolong pelajar taktil. Dalam hal ini pendidik harus banyak menggunakan metode demonstrasi disamping metode ceramah atau divariasikan dengan metode latihan keterampilan. III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Metode mengajar yang bervariasi perlu dimiliki oleh pendidik dan dipraktekkan pada saat mengajar. 2. Tipe belajar peserta didik perlu diketahui oleh pendidik, melalui observasi agar pendidik dapat menyesuaikan metode apa yang akan diterapkan pada saat mengajar. 3. Tipe belajar siswa berbeda-beda, karena banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya : lingkungan tempat tinggal, keluarga, orang tua, dan sebagainya. 4. Pendidik yang bijaksana dalam pelaksanaan pengajaran (pembelajaran) selalu berfikir bagaimana murid-muridnya, apakah murid-muridnya dapat mengerti apa yang disampaikan, apakah murid mengalami proses belajar, apakah materinya sesuai dengan pemahaman dan kematangan anak, dan sebagainya. B. Saran 1. Metode mengajar hendaknya disesuaikan dengan tipe belajar siswa agar apa yang disampaikan dapat dicerna, dikuasai, dan dimengerti oleh peserta didik. 2. Hendaknya pendidik mengenal dan memahami peserta didiknya. 3. Pendidik hendaknya memiliki keterampilan metode mengajar yang bervariasi. 4. Bagi mereka yang terlibat dalam dunia keguruan, hendaknya secara antusias untuk meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan , khususnya yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam dunia pendidikan. * ) Materi ini pernah disampaikan pada Diskusi Mahasiswa Program PascasarjanaUHAMKA angkatan 8.
** ) Penulis adalah Mahasiswa S-3 Pada PPs Universitas Negeri Yogyakarta Angkatan IV Tahun 2004..

sumber: Pendidikan Network, 20 Oktober 2004
Cara Belajar Efektif

Langkah-langkah belajar efektif adalah mengetahui
diri sendiri
kemampuan belajar anda
proces yang berhasil anda gunakan, dan dibutuhkan
minat, dan pengetahuan atas mata pelajaran anda inginkan
Anda mungkin belajar fisika dengan mudah tetapi tidak bisa belajar tenis, atau sebaliknya. Belajar apapun, adalah proces untuk mencapai tahap-tahap tertentu.
Empat langkah untuk belajar.Mulai dengan cetak halaman ini dan jawab pertanyan-pertanyaannya. Lalu rencanakan strategi anda dari jawaban-jawabanmu, dan dengan "Pedoman Belajar" yang lain.
Mulai dengan masa lalu
Apakah pengalaman anda tentang cara belajar? Apakah anda
What was your experience about how you learn? Did you
senang membaca? memecahkan masalah? menghafalkan? bercerita? menterjemah? berpidato?
mengetahui cara menringkas?
tanya dirimu sendiri tentang apa yang kamu pelajari?
meninjau kembali?
punya akses ke informasi dari banyak sumber?
menyukai ketenangan atau kelompok belajar?
memerlukan beberapa waktu belajar singkat atau satu yang panjang?
Apa kebiasaan belajar anda? Bagaimana tersusunnya? Yang mana terbaik? terburuk?
Bagaimana anda berkomunikasi dengan apa yang anda ketahui belajar paling baik? Melalui ujian tertulis, naskah, atau wawancara?
Teruskan ke masa sekarang
Berminatkah anda?Berapa banyak waktu saya ingin gunakan untuk belajar?Apa yang bersaing dengan perhatian saya?
Apakah keadaannya benar untuk meraih sukses?Apa yang bisa saya kontrol, dan apa yang di luar kontrol saya?Bisakah saya merubah kondisi ini menjadi sukses?
Apa yang mempengaruhi pembaktian anda terhadap pelajaran ini?
Apakah saya punya rencana? Apakah rencanaku mempertimbangkan pengalaman dan gaya belajar anda?
Pertimbangkanproses,
persoalan utama
Apa judulnya?Apa kunci kata yang menyolok?Apakah saya mengerti?
Apakah yang telah saya ketahui?Apakah saya mengetahui pelajaran sejenis lainnya?
Sumber-sumber dan informasi yang mana bisa membantu saya?Apakah saya mengandalkan satu sumber saja (contoh, buku)?Apakah saya perlu mencari sumber-sumber yang lain?
Sewaktu saya belajar, apakah saya tanya diri sendiri jika saya mengerti? Sebaiknya saya mempercepat atau memperlambat?Jika saya tidak mengerti, apakah saya tanya kenapa?
Apakah saya berhenti dan meringkas?Apakah saya berhenti dan bertanya jika ini logis?Apakah saya berhenti dan mengevaluasi (setuju/tidak setuju)?
Apakah saya membutuhkan waktu untuk berpikir dan kembali lagi?Apakah saya perlu mendiskusi dengan "pelajar-pelajar" lain untuk proces informasin lebih lanjut?Apakah saya perlu mencari "para ahli", guruku atau pustakawan atau ahliawan?
Buatreview
Apakah kerjaan saya benar?Apakah bisa saya kerjakan lebih baik?Apakah rencana saya serupa dengan "diri sendiri"?
Apakah saya memilih kondisi yang benar?Apakah saya meneruskannya; apakah saya disipline pada diri sendiri?
Apakah anda sukses?Apakah anda merayakan kesuksesan anda?
Sumber:
www.studygs.net

Mendidik dan Mengajar dengan Cinta
Oleh: Baedhowi *) dan Suparlan * *)
Guru yang baik akan memperlakukan siswanya seperti anaknya sendiri. Dia akan menjawab semua pertanyaan meskipun pertanyaan bodoh. (Fatmoumata [11 tahun] dari Chad).
Guru yang baik ialah yang menganggap semua muridnya sebagai anak-anaknya sendiri, yang setiap hari akan mendapat curahan kasih sayangnya. Guru yang baik ialah yang memberikan masa depan cemerlang dengan membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan. Guru yang demikian adalah guru yang berjasa meskipun tanpa diberi tanda jasa. Guru yang demikian substansinya adalah pahlawan. (D. Zawawi Imron)
Honesty is the first chapter in the book of wisdom. Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan (Thomas Jefferson)

Guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan dan pengajaran. Ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh dalam proses tersebut, yakni siswa, dan kurikulum. Selain itu ada faktor penunjang yang kini dipandang juga sangat fital keberadaannya, yakni fasilitas pendidikan. Dalam hal ini, perlu diakui bahwa pada masa lalu, sebelum dunia mengalami perkembangan teknologi yang maha dahsyat, proses pendidikan dapat dilakukan hanya di bawah pohon.
Mendidik sering dimaknai sama dengan mengajar. Sebenarnya, makna mendidik lebih luas maknanya dibandingkan dengan mengajar. Mendidik dapat dilakukan dengan cara mengajar. Tetapi mengajar di dalam kelas, sebagai misal, tidak selalu sebagai proses untuk mendidik. Memang, mendidik dan mengajar sering dimaknai secara tumpang tindih. Seorang guru mengajar di dalam kelas dengan maksud untuk mendidik peserta didik. Lebih dari itu, tingkah laku guru akan menjadi faktor yang penting dalam proses pendidikan, karena tingkah laku guru akan menjadi suri teladan bagi murid-muridnya. Pepatah petitih masa lalu "guru kencing berdiri, murid kencing barlari" sangat tepat untuk menggambarkan tentang proses pendidikan dengan suri keteladanan ini. Bahkan kini pepatah petitih itu dipelesetkan menjadi "guru kencing berdiri, murid mengencingi gurunya". Audzubillah.
Pendidikan memiliki tiga proses yang saling kait mengait dan saling pengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain. Pertama, sebagai proses pembentukan kebiasaan (habit formation). Kedua, sebagai proses pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan ketiga adalah sebagai proses keteladan yang dilakukan oleh para guru (role model) (Prof. Suyanto, Ph.D, dalam Pembukaan Diklat Integrasi Imtaq, 2 Agustus 2005).


Kompetensi Guru
Untuk melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran, guru harus memiliki seperangkat kompetensi yang harus dikuasai dan dimiliki. Menurut Barlow, kompetensi adalah 'the ability of a teacher to responsibly perform his or her duties appropriately' (Muhibin Syah, 1995:230).atau 'kemampuan seorang guru untuk menunjukkan secara bertanggung jawab tugas-tugasnya dengan tepat'. Dalam hal standar kompetensi guru, Pearson (1980) telah mengidentifikasi guru yang kompeten dengan tiga masalah pokok, yakni: (1) what standards must a teacher meet to teach satisfactorily rather than minimally, (2) what skills are required in general for a person to perform at this level, (3) does the person in question have these requisite skills. Untuk menjelaskan tentang pengertian tentang kompetensi itulah maka Gronczi (1997) dan Hager (1995) menjelaskan bahwa "An integrated view sees competence as a complex combination of knowledge, attitudes, skills, and values displayed in the context of task performance". Dengan kata lain secara singkat dapat diartikan bahwa kompetensi guru merupakan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang diberikan kepadanya. Sejalan dengan definisi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan, Dikdasmen menjelaskan bahwa "kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak". Dijelaskan lebih lanjut bahwa "kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru" (Direktorat Tenaga Kependidikan, Standar Kompetensi Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2003: 5).
Berdasarkan pengertian tersebut, standar kompetensi guru dipilah ke dalam tiga komponen yang saling kait mengait, yakni: (1) pengelolaan pembelajaran, (2) pengembangan profesi, dan (3) penguasaan akademik. Ketiga komponen SKG tersebut, masing-masing terdiri atas beberapa kompetensi, komponen pertama terdiri atas lima kompetensi, komponen kedua memiliki satu kompetensi, dan komponen ketiga terdiri atas dua kompetensi. Dengan demikian, ketiga komponen tersebut secara keseluruhan meliputi 7 (tujuh) kompetensi, yakni: (1) penyusunan rencana pembelajaran, (2) pelaksanaan interaksi belajar mengajar, (3) penilaian prestasi belajar peserta didik, (4) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik, (5) pengembangan profesi, (6) pemahaman wasasan kependidikan, dan (7) penguasaan bahan kajian akademik (sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan).

Cinta, Kepercayaan, dan Kewibawaan
Keseluruhan kompetensi tersebut harus dibungkus dengan sikap dan kepribadian guru yang baik. Salah satu nilai paling penting dalam sikap dan kepribadian guru yang bait itu adalah rasa cinta kasih guru kepada siswanya sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini. Seorang siswa Sekolah Dasar di negara Chad, ketika ditanya tentang guru yang bagaimana yang mereka inginkan, ia menyatakan "Guru yang baik akan memperlakukan siswanya seperti anaknya sendiri. Dia akan menjawab semua pertanyaan meskipun pertanyaan bodoh (Fatmoumata [11 tahun] dari Chad). Seorang sastrawan kondang dari Madura, D. Zawawi Imron, menyatakan bahwa "Guru yang baik ialah yang menganggap semua muridnya sebagai anak-anaknya sendiri, yang setiap hari akan mendapat curahan kasih sayangnya. Guru yang baik ialah yang memberikan masa depan cemerlang dengan membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan. Guru yang demikian adalah guru yang berjasa meskipun tanpa diberi tanda jasa. Guru yang demikian substansinya adalah pahlawan". Lebih dari itu, cinta kasih guru kepada semua siswanya tanpa pilih kasih haruslah dilandari dengan kejujuran. Bapak pendiri Amerika Serikat menyatakan "Honesty is the first chapter in the book of wisdom. Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan (Thomas Jefferson).
Memang, cinta merupakan salah satu penting dari tiga syarat penting dalam proses mendidik dan mengajar. Pertama adalah cinta, kedua adalah kepercayaan, dan ketiga adalah kewibawaan. Ketiga syarat ini saling pengaruh mempengaruhi dan saling kait mengait. Cinta akan menimbulkan kepercayaan. Seorang Ibu menyusui anaknya dengan rasa cinta. Seorang Bapak menimang-nimang anaknya dengan rasa cinta. Ketika sang anak ditimang-timang atau bahkan di angkat-angkat ke atas. Mengapa sang anak tidak takut jatuh? Karena sang anak memiliki kepercayaan kepada sang Bapak. Sang anak percaya bahwa Bapaknya tidak akan menjatuhkannya. Seterusnya, kepercayaan sang anak inilah yang menghadirkan kewibawaan bagi sang Bapak. Kewibawaan adalah kemampuan untuk dapat mempengaruhi orang lain. Kewibawaan akan lahir jika ada kepercayaan. Anak akan menurut atau mengikuti perintah dan arahan dari Bapak karena adanya kepercayaan kepada sang Bapak, atau dalam hal ini guru akan diikuti perintahnya oleh peserta didik jika peserta didik menaruh kepercayaan kepada gurunya. Itulah tiga syarat terjadinya proses pendidikan dan pengajaran.
Walhasil, guru melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran harus dengan rasa cinta. Dengan cinta yang tuluslah anak-anak kita akan menaruh kepercayaan kepada gurunya, dan dengan kepercayaan itu, sang guru akan menjadi guru yang berwibawa di mata murid-muridnya. So what gito lho? Dengan meminjam kalimat populer dari Aming dalam lagunya yang kocak itu, para guru harus dapat menilai dirinya sendiri, apakah para guru telah mendidik dan mengajar dengan modal cinta? Anda pada gurulah yang paling tahu. Wallhu alam bishawab.
*) Staf Ahli Mendiknas Bidang Kurikulum dan Media Pendidikan

Meningkatkan IQ Dan EI Melalui Matematika

Oleh: Sri Kurnia Dewi SPd(Guru SMU 2 Barabai - Banjarmasin)
Sistem pendidikan berubah lagi yaitu dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi. Sebenarnya secara materi/bahan tidak jauh berbeda. Yang membedakan dengan kurikulum terdahulu adalah cara atau metode pengajaran dan penekanan pada tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dengan kurikulum berbasis kompetensi anak didik sangat diharapkan memiliki kemampuan dasar yang termuat di dalamnya, juga memberikan wawasan yang luas, kuat serta mendasar pada anak didik, yang pada gilirannya mereka mampu mengembangkan pengetahuan dan penalaran mereka untuk menganalisa dan menyikapi situasi kondisi kehidupan yang mereka hadapi. Proses pendidikan sekarang tidak hanya bertujuan mempersiapkan anak didik untuk suatu pekerjaan tetapi jauh lebih luas yaitu memberikan kemampuan/kecerdasan, baik intelektual, emosional dan spiritual sehingga dapat menjadi pribadi sosial yang sukses dalam hidup. Dalam istilah umumnya membekali anak didik dengan life skill kemampuan untuk hidup.
Matematika sebagai salah satu komponen dari serangkaian mata pelajaran di sekolah mempunyai peranan penting. Matematika tidak hanya sebagai ilmu tetapi juga sebagai dasar logika penalaran dan penyelesaian kuantitatif yang dipergunakan dalam idang ilmu lain. Sehingga tidak heran matematika diberikan di hampir semua jenjang pendidikan bahkan termasuk dalam pelajaran yang diujikan secara nasional pada setiap akhir jenjang pendidikan.
Sebenarnya pun pada kurikulum terdahulu sudah termuat tujuan agar anak didik mempunyai pengetahuan mendasar yang dapat dikatakan sejalan dengan program kurikulum berbasis kopetensi dengan maksud membekali anak dengan life skill. Seperti pada kurikulum matematika SD (GBPP) yang menyebutkan tujuan khusus diberikannya matematika di sekolah dasar adalah:
a Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari hari.
b. Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika.
c. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut.
d. Membentuk sikap logis, kritis dan disiplin.
Matematika berbeda dengan ilmu lain, materi matematika bersifat hirarkis (berurutan dan berhubungan). Dalam mempelajarinya matematika harus kontinyu, rajin latihan dan disiplin. Seorang siswa sekolah Dasar yang menguasai matematika SD dengan baik dapat dengan mudah mencerna matematika SMP dan SMU atau sebaliknya, siswa Sekolah Dasar yang tidak menguasai dasar-dasar berhitung (matematika) SD akan banyak mengalami kesulitan dalam belajar matematika SMP dan SMU. Kelalaian mengusai dasar-dasar berhitung membuat orang mengalami kesulitan pada pelajaran selanjutnya.
Konsep Dasar
Penggalakan kualitas pendidikan matematika amat penting dimulai pada tingkat SD sebab disitulah dasar dari segalanya. Karena itu bagi guru SD sangat diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman konsep dasar matematika yang benar dan kuat pada anak didik. Kreatifitas guru dalam proses pendidikan sangat diperlukan di samping upaya-upaya menumbuhkan aspek intelektual, emosional dan spiritual harus tetap dilakukan dalam setiap pengajaran termasuk dalam pengajaran matematika. Hendaklah guru dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baik dalam proses pendidikan sehignga anak didik tumbuh minatnya dan termotivasi, jangan sampai anak didik beranggapan matematika itu menjemukan padahal yang lebih mereka tidak sukai adalah pengalaman mereka ketika mengikuti pelajaran matematika itu di sekolah daripada matematika itu sendiri.
Dalam mengajar sebuah konsep guru dapat mencari cara yang menarik agar anak didik berminat, bersemangat dan termotivasi dalam mempelajari matematika. Misalnya di SD yang sebagian besar materi matematikanya mencakup bilangan pecahan, dalam pelajaran ini guru dapat membuat permainan dalam kelompok dimana ada seorang ibu yang berusaha membagi sepotong kue (sejumlah uang) untuk ketiga anaknya sehingga setiap anak mendapat bagian yang sama. Atau dapat saja guru membuat skenario bahwa setiap anak diminta menyumbangkan seperempat (1/4) dari uangnya untuk saudara mereka yang sedang kena musibah banjir, merekapun menghitung berapa besarnya 1/4 dari uang mereka. Dengan demikian kita memberi pengalaman yang efektif pada mereka di samping mengasah intelektualnya (IQ), kita juga meningkatkan kecerdasan emosional (EI), mereka diajak berempati pada saudara saudara mereka yang sedang kena musibah, dan saling menolong itu memang kewajiban seorang muslim, diharapkan dengan begitu dapat mempertajam kecerdasan nilai spiritual mereka.
Pengembangan Kemampuan
Melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran matematika, anak didik diharapkan mengembangkan kemampuan untuk menemukan, memeriksa, menggunakan dan dapat membuat generalisasi, meskipun kita menyadari bahwa anak didik memerlukan waktu untuk menyelidiki lalu menemukan berbagai pola dan hubungan. Hal ini berarti pengembangan konsep, ketepatan istilah dan penggunaannya serta penekanan pada struktur matematika dan hubungannya antara pokok bahasan, harus diperhatikan dengan teliti oleh guru dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Mempersiapkan anak didik agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, krisis, cermat, kreatif, jujur dan efektif serta disiplin dengan, efektif serta disiplin, dengan kata lain mereka mempunyai kecerdasan inteletual, emosional dan spiritual. Harapan ini tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat, tetapi perlu waktu panjang dan terus menerus berksinambungan dalam suatu proses pendidikan yang dijalani dalam beberapa tahap/jenjang pendidikan.
Mengingat peran guru sangat penting dalam proses pendidikan dan perkembangan anak didik, maka kita sebagai guru juga perlu untuk terus meningkatkan wawasan pengetahuan melalui pelatihan, diskusi antar guru untuk saling berbagi pengalaman, dan rajin membaca untuk menambah wawasan. Selain itu juga perlu meningkatkan sikap cerdas baik intelektual, emosional dan spiritual, karena kita juga adalah pribadi sosial yang dihadapkan pada situasi kondisi kehidupan yang selalu berkembang di samping mempunyai tugas sebagai pendidik.
Sumber: Banjarmasin Post



Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan Kendala yang Muncul di Lapangan

Asmin
*)
Abstrak: Proses belajar mengajar yang berkembang di kelas pada umumnya ditentukan oleh peranan guru dan siswa sebagai individu-individu yang terlibat langsung di dalam proses tersebut. Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik, setiap siswa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran baru yang tercipta melalui pemecahan masalah matematika realistik sehingga terbentuk suatu lingkungan belajar yang kondusif sedemikain rupa sehingga setiap individu dalam kelas dapat berfungsi dan dipandang sebagai sumber informasi atau sebagai sumber belajar. Hal ini dapat dimungkinkan dengan mengembangkan pola matematisasi horizontal yaitu transformasi masalah ke dalam model untuk pengetahuan matematika formal dan matematisasi vertikal berupa representasi hubungan-hubungan dalam rumus, yang menyesuaikan model matematika dalam pengunaan yang berbeda-beda.
Kata Kunci: Pembelajaran, Matematika Realistik (PMR), Proses belajar mengajar.
1. Pendahuluan
Tujuan pendidikan nasional seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).
Berbicara soal mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki jangkauan dan kajian yang sangat luas, terutama kajian pendidikan yang menyangkut pembelajaran di sekolah-sekolah. Jika dirunut ke belakang, maka dapat dispesifikkan lagi sampai kepada pembelajaran dari salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif bagi pencerdasan dan pencerahan kehidupan bangsa sekaligus turut memanusiakan bangsa Indonesia dalam arti dan cakupan yang lebih luas. Salah satu yang ingin dikaji yakni, Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang muncul di lapangan.
Masalah klasik dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi murid serta kurangnya motivasi dan keinginan terhadap pembelajaran matematika di sekolah.
Matematika yang diajarkan di sekolah terdiri dari elemen-elemen dan sub-sub bagian matematika yang dipisahkan atas pembagian yang terdiri dari: (1) arti/hakekat kependidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan daya nalar serta pembinaan kepribadian siswa; (2) adanya kebutuhan yang nyata berupa tuntutan perkembangan riel dari kepentingan hidup masa kini dan masa mendatang yang senantiasa berorientasi pada perkembangan pengetahuan seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dalam hal ini, pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah saat ini merupakan basic yang sangat penting dalam keikutsertaannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah barang tentu, pencapaian target “mencerdaskan kehidupan bangsa”, akan tetap segar bugar dan tegar menyongsong persaingan di era globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diaplikasikan pada persaingan era industrialisasi pada semua aspek kehidupan yang relevan dengan kemajuan informasi dan komunikasi yang berkembang dengan pesatnya.
Menurut laporan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999 yang merupakan kriteria acuan, rendahnya daya saing murid Indonesia di ajang international (Indonesia diperingkat ke 34 dari 38 negara) menunjukkan betapa lemahnya kemampuan penguasaan matematika di negara kita ini.
Menurut Suyatno (1988), dalam pengajaran matematika, penyampaian guru cenderung bersifat monoton, hampir tanpa variasi kreatif, kalau saja siswa ditanya, ada saja alasan yang mereka kemukakan, seperti matematika sulit, tidak mampu menjawab, takut disuruh guru ke depan, dan sebagainya. Sementara itu Syarien (1991) berpendapat adanya gejala matematika phobia (ketakutan anak terhadap matematika) yang melanda sebahagian besar siswa, sebagai akibat tak kenal maka tak sayang.

2. Kajian Literatur
2.1 Pendidikan Matematika Realistik dan Pembentukan Kemampuan Berpikir Siswa
Masalah klasik yang selalu muncul adalah keluhan masyarakat bahwa proses pembelajaran matematika di sekolah masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik, yakni seorang guru secara aktif mengajarkan matematika, kemudian memberikan contoh dan latihan, di sisi lain siswa berfungsi seperti mesin, mereka mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru.
Menurut Soedjadi (1992) dalam upaya pembenahan sangat perlu keberanian, kejujuran untuk melihat kenyataan yang memang terjadi di lapangan tanpa harus mencari siapa yang salah serta dengan tulus ikhlas mengakui kelemahan yang ada, sekaligus dengan cermat tepat mengarahkan pembenahan kepentingan kualitas siswa sebagai generasi muda kita. Peningkatan kualitas peserta didik tidak dapat dilakukan dengan menutup mata pada kenyataan keanekaragaman lingkungan masyarakat Indonesia. Kita harus mampu menatap keluar, namun juga harus tanggap di dalam. Menatap keluar berarti kita harus mampu mengikuti perkembangan dan perubahan di berbagai negara yang intisarinya dapat dipetik dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
Pada umumnya guru menguasai matematika hanya pada taraf penerapan, sehingga guru hanya mampu sampai taraf pengguna matematika. Akibatnya, ia tidak akan mampu berperanserta mengembangkan ilmu matematika menembus daerah ketidaktahuannya. Putman (1987) berpendapat bahwa salah satu aspek penting dalam pengajaran matematika adalah agar siswa mampu mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam berbagai keterampilan serta mampu menggunakannya sebagai strategi untuk memecahkan berbagai masalah.
Kesempatan diskusi di kelas jarang dilakukan serta interaksi dan komunikasi kurang digalakkan. Seiring dengan proses pembelajaran seperti itu, menurut de Lange (2001) , bahwa tujuan pemberian materi matematika masih berdasarkan 'matematika untuk matematikawan' bukan 'matematika untuk anak-sekolah' yang seyogyanya fokus dan penerapannya harus disesuaikan dengan apa yang pernah dialami murid setiap harinya. Menurut Zulkardi (1999), hal ini bertentangan dengan kebutuhan masyarakat informasi saat ini di mana melek matematika (mathematics literacy) adalah tujuan yang amat penting. Implikasinya, bahwa tujuan, materi dan proses belajar matematika sekolah di Indonesia perlu direformasi.
2.2 Pemikiran yang Melandasi Pengajaran Matematika Realistik
Pengembangan Matematika realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap matematika (Freudenthal, 1991) yang berpandangan sebagai berikut: (1) matematika harus dikaitkan dengan hal yang nyata bagi murid, dan (2) matematika harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia.
Pertama, untuk mulai dari fenomena atau kejadian yang real bagi murid maka prinsip Freudenthal's didactical phenomenology bahwa belajar harus mulai dari suatu masalah kontekstual yang pada akhirnya memunculkan konsep matematika yang dipelajari harus digunakan. Kedua, dengan menggunakan prinsip guided reinvention melalui progressive mathematizations, murid digiring secara didaktik dan efisien dari suatu level berfikir ke level berikutnya melalui matematisasi. Kedua prinsip ini dan prinsip self developed models (Gravemeijer, 1994) dioperasionalisasikan ke dalam lima karakteristik dasar dari Realistic Mathematic’s Education (de Lange, 1987; Gravemeijer, 1994) sebagai berikut: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2) menggunakan model, (3) menggunakan kontribusi murid, (4) interaktivitas, (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya.
De Lange (1993) menggarisbawahi masalah utama dalam mengimplementasikan yaitu bagaimana melatih guru untuk menggunakan materi baru dan mengajar dengan materi tersebut menggunakan pendekatan baru. Hal ini tampaknya kompleks karena adanya beberapa perubahan yaitu: (1) materi matematika berbeda dengan yang sebelumnya; (2) peranan guru berubah dari mengajar ke tidak mengajar; dan (3) materi evaluasi difokuskan pada soal-soal level menengah dan atas meskipun tidak melupakan level bawah. Perubahan ini harus diperhitungkan bila pendekatan RME akan diimplementasikan di Indonesia.
Pada tahun 1998, de Lange mengajukan alasan mengapa PMR cukup potensial untuk diterapkan di sekolah. Alasannya bahwa proses pengembangan konsep PMR dan berbagai gagasan matematika bermula dari dunia nyata dan pada akhirnya perlu merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika tersebut ke dalam bentuk alam yang nyata. Artinya, yang dilakukan dalam proses matematika adalah mengambil sesuatu dari bentuk dunia nyata di bawa ke dalam model matematisasi, dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke bentuk alam nyata. Hal ini digambarkan dalam model sebagai berikut.

Sejalan dengan itu, menurut Soedjadi (2001) Realistic Mathematics Education (RME) memiliki filsafat dasar yaitu bahwa “matematika adalah aktivitas manusia”, dan tidak lagi dipandang “siap pakai”. Filsafat ini mengakibatkan perubahan yang amat mendasar tentang proses pembelajaran matematika. Tidak lagi hanya pemberian informasi dalam pembelajaran matematika, tetapi harus mengubah menjadi aktivitas manusia untuk memperoleh pengetahuan matematika. Selanjutnya RME memiliki prinsip: 1) Reinvention dan progressive matematization, 2) Didactical phenomenology dan 3) Self-developed model. Karakteristiknya meliputi: 1) Menggunakan konteks, 2) Menggunakan model, 3) Menggunakan konstribusi siswa, 4) Interaksi, dan 5) Interwining.
Implementasi pendidikan matematika realistik di Indonesia harus dimulai dengan mengadaptasikan PMR sesuai dengan karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Pengimplementasian PMR di kelas harus didukung oleh sebuah perangkat yang dalam hal ini adalah buku ajar yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Menurut Suharta (2001) bahwa implementasi PMR di kelas meliputi tiga fase yakni: fase pengenalan, fase eksplorasi dan fase meringkas.
Pada fase pengenalan, guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya
Pada fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Pada saat siswa sedang bekerja, mereka mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman atau ide, mendiskusikan pola yang dibentuk saat itu, serta berupaya membuat dugaan. Selanjutnya dikembangkan strategi-strategi pemecahan masalah yang mungkin dilakukan berdasarkan pada pengetahuan informal atau formal yang dimiliki siswa. Di sini guru berupaya meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan mengelilingi siswa, melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa, dan memberi motivasi kepada siswa untuk giat bekerja. Dalam hal ini, peranan guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan. Bagi siswa yang berkemampuan tinggi, dapat diberikan pekerjaan yang lebih menantang yang berkaitan dengan masalah.
Pada fase meringkas, guru dapat mengawali pekerjaan lanjutan setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam pemecahan masalah. Sebelumnya mendiskusikan pemecahan-pemecahan dengan berbagai strategi yang mereka lakukan. Dalam hal ini, guru membantu siswa meningkatkan kinerja matematika secara lebih efisien dan efektif. Peranan siswa dalam fase ini sangat penting seperti: mengajukan dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi, alternatif-alternatif pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan mereka, dan membuat keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep-konsep awal/utama atau pengetahuan matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.

2.3 Strategi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia
Selter dalam Zuklardi (2001) menekankan bahwa semua aktivitas PMR dimediasi melalui guru, khususnya melalui teacher's beliefs tentang bagaimana mengorganisir dan memfasilitasi murid belajar matematika. Dalam konteks ini, LPTK (pre-service atau in-service) memainkan peranan penting. Salah satu strategi kunci dalam situasi ini adalah melibatkan mereka, guru atau calon guru, dalam pengembangan profesi mereka (professional development) menggunakan strategi berikut: (1) kuliah alau training singkat (untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru atau calon guru), (2) pengembangan kurikulum (dengan mengadaptasi materi pembelajaran inovasi langsung ke kelas atau sekolah); dan (3) teknologi (untuk menyediakan media infonnasi yang kaya dan pendekatan baru itu).
2.4 Kurikulum PMR
Pendidikan Matematika Realistik mulai diperkenalkan dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia, yang tidak lain merupakan pengembangan gagasan pemikiran dari Freudenthal (1905-1990). Ide penerapan PMR pertama kali diperkenalkan di Negeri Belanda sekitar tahun 1970 oleh Institut Freudenthal, yang mengacu pada pemikiran Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini bermakna bahwa, matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti, manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan masalah-masalah realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak hanya mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).
Pertanyaan mendasar yang ingin dikemukakan adalah “bagaimana memperkenalkan PMR kepada guru-guru di sekolah dan bagaimana upaya pengimplementasiannya secara efektif di sekolah?”
Menurut Hadi (2001), pertanyaan tersebut menyangkut pendesainan program pengembangan profesional guru, dan sebagai konsekuensinya perlu disediakan materi kurikukum yang berbasis PMR sebagai bagian yang tak terpisahkan dari program tersebut. Persoalannya kemudian adalah masih belum tersedia materi kurikulum yang berbasis PMR dan relevan dengan kurikulum yang saat ini berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut ada dua altematif, yaitu apakah mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia atau mengadaptasi materi PMR yang sudah ada dengan menyesuaikan konteksnya dengan konteks Indonesia. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga, yang relevan adalah mengadaptasi. Materi PMR yang dipilih diambil dari MiC (Mathematics in Contect) yaitu materi PMR untuk kelas 5/6 s.d. 8/9 yang dikembangkan oleh University of Wisconsin dan Institut Freudenthal. Pertanyaan-pertanyaan operasional berikutnya adalah: (1) Dalam konteks Indonesia, bagaimanakah mengadaptasi materi PMR dari MiC? (2) Dalam implementasinya, bagaimanakah mengenalkan PMR kepada guru matematika? (3) Upaya pengelolaan yang bagaimana seharusnya dilakukan dalam mempersiapkan guru agar mampu mengajarkan PMR secara tepat dan efektif di sekolah?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut di atas, kiranya dibutuhkan pemikiran yang lebih luas dan usaha yang tepat dalam mempersiapkan kurikulum PMR yang sesuai untuk kondisi pedidikan dan budaya masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini PMR merupakan teori baru bagi sebagian besar orang di Indonesia, terutama para guru.
Pada dasarnya guru-guru matematika, dapat dikategorikan sebagai kelompok yang tidak memiliki ide atau pengertian apapun tentang PMR. Oleh karena itu, tidak rasional mengharapkan mereka terlalu dini mampu menerapkan PMR di kelas sebelum mereka mengenal secara baik apa dan bagaimana PMR itu.
Menurut Sembiring (2001) dalam RME permasalahan disajikan sedemikian rupa sehingga dimungkinkan muncul beberapa alternatif pemecahan soal. Dengan demikian diharapkan para siswa, atau kelompok siswa, datang dengan berbagai alternatif pemecahan soal. Ini mendorong adanya diskusi. Cara kerja seperti ini akan menumbuhkan percaya diri dan sekaligus menanamkan prinsip demokrasi pada diri siswa. Jadi melalui RME kita menanamkan pemahaman demokrasi.
Menurut Soedjadi (1994) bahwa kurikulum matematika yang ada sekarang ini jelas terlihat penekanannya terletak kepada apa yang harus diajarkan, tetapi kurang mengarahkan kepada bagaimana megajarkan materi ajaran itu. Pada dasarnya kurikulum dibuat untuk dapat memenuhi tuntutan kehidupan maupun tuntutan perkembangan ilmu yang demikian pesat serta perkembangan teknologi yang sudah langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan matematika realistik dalam perkembangan suatu bangsa di masa depan akan semakin penting, baik dalam makna formal (penataan nalar dan pembentukan sikap mental) maupun dalam makna material (terutama penggunaan matematika realistik). Perkembangan ilmu dan teknologi semakin menuntut pemilihan materi matematika yang tepat untuk melayaninya. Ini jelas menuntut fleksibilitas kurikulum. Dalam pada itu kurikulum sekolah di suatu negara dapat melepaskan diri dari keadaan nyata lingkungan masyarakat negara itu. Indonesia yang satu tetapi bineka ini memerlukan kurikulum yang tidak melupakan mereka yang terbelakang sekaligus tidak membiarkan Indonesia selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum PMR yang berani jauh ke depan tanpa selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum yang berani jauh ke depan tanpa melupakan kenyataan yang kini ada. Memperhatikan hal-hal tersebut maka kurikulum matematika realistik sekolah di Indonesia harus diorientasikan kepada upaya mengangkat keterbelakangan dan mengejar ketertinggalan.
Mengapa kurikulum PMR perlu diorientasikan kepada upaya itu? Memperhatikan pengalaman, pengamatan dan hasil penelitian sporadis, jelas terlihat bahwa ada wilayah/sekolah yang sudah siap untuk cepat maju tetapi juga ada wilayah/sekolah yang memang secara nyata belum siap untuk maju cepat. Kenyataan demikian memerlukan rumusan kemampuan, yang perlu sesuai dengan lingkungan yang menuntut tingkah penalaran yang beragam. Berikut ini dikemukakan bagaimana orientasi kurikulum matematika sekolah itu perlu dijabarkan secara lebih jelas.
Organisasi kurikulum atau bentuk kurikulum menentukan bahan pelajaran, urutan, dan cara penyampaiannya kepada siswa. Subjek berarti pengalaman manusia yang disususn secara logis dan sistematis, atau diartikan juga mata pelajaran. Subjek kurikulum adalah bentuk kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran.
Apabila kurikulum matematika realistik itu dipandang sebagai suatu sistem, maka kurikulum matematika mempunyai 4 komponen utama yakni: (1) tujuan, (2) kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tersebut, (3) pengetahuan, yakni bahan pelajaran matematika realistik yang diperoleh dan digunakanan dalam proses belajar, dan (4) penilaian atau evaluasi hasil belajar matematika realistik yang gunanya untuk mengetahui hingga mana tujuan itu tercapai.
Keempat komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Tujuan yang telah ditetapkan itu menentukan bahan pelajaran apa yang harus dipilih yang dapat membawa siswa ke arah tujuan yang ditentukan. Bahan pelajaran matematika menentukan kegiatan belajar matematika yang harus dialami siswa. Jadi lebih dahulu harus dirumuskan tujuan, barulah kemudian bahan pelajaran matematika dan kegiatan belajarnya. Tujuan juga menentukan penilaian, apa yang dinilai dalam matematika dan bagaimana cara menilainya. Menilai pengetahuan matematika tidak sama caranya dengan menilai sikap atau keterampilan. Yang dinilai bukan hanya tujuan, melainkan juga bahan pelajaran dan kegiatan belajar. Jika komponen tujuan tidak tercapai, mungkin kesalahannya terletak pada komponen-komponen lainnya.
Dalam pembelaajran matematika realistik harus diperhatikan keseimbangan antara kononen-komponen itu. Pada experince atau capacity curriculum misalnya, terlampau mengutamakan kegiatan atau pengalaman belajar dan kurang mementingkan unsur pengetahuan, sedangkan subject curriculum mengutamakan aspek pengetahuan dan kurang mementingkan kegiatan atau pengalaman belajar. Gambaran komponen tujuan ini sebagai berikut.
Kurikulum PMR tidak hanya mengenai bagaimana mengorganisasikan dan mengintegrasikan bahan pelajaran matematika realistik itu sendiri, tetapi juga penilaian terhadap hasil diagnosis mengenai kelemahan atau kekuatan komponen-komponen kurikulum, sehingga dapat diketahui komponen mana yang perlu diperbaiki, misalnya mengajar, dan bahan pelajaran tidak sesuai dengan tingkat kematangan siswa.
Salah satu unsur pokok dalam pengajaran matematika realistik adalah matematika itu sendiri. Guru matematika realistik harus mengetahui objek yang akan diajarkan yaitu matematika secara umum yang bersifat nyata. Apakah matematika itu? Matematika adalah pengetahuan mengenai kuantitatif dan ruang, salah satu cabang dari sekian banyak cabang ilmu, yang sistematis, teratur dan eksak. Matematika adalah angka-angka dan perhitungan yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Matematika menolong manusia menafsirkan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan-kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem numerik Matematika membahas fakta-fakta dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang dan bentuk.
Matematika adalah queen of science (ratunya ilmu). Walau reputasinya tidak bernoda dalam hal metode, validitas dan logikanya, namun masih mempunyai problem dalam hal dasar logika. Matematika hanya dikembangkan secara sebagian-sebagian dan terus menerus mengalami perubahan, baik metode maupun isinya. Walaupun matematika jauh lebih eksak dari ilmu-ilmu sosial, dan lebih eksak dari ilmu-ilmu fisik, matematika tidaklah eksak secara absolut. Bagi seseorang yang telah diindoktrinasi dalam hal kebenaran absolut dan kesempurnaan matematika, jika melakukan studi tentang ahli-ahli dan sejarah matematika, bisa kehilangan harapan, tetapi bisa menemukan cahaya terang.
Orientasi pengajaran matematika kita saat ini cenderung sangat prosedural. Secara gamblang seorang guru menyatakan bahwa selama ini mereka (para guru matematika) mengajarkan siswa-siswa menghafalkan rumus-rumus atau prosedur matematik tertentu. Kehadiran PMR dirasakan dapat memperbaiki kondisi tersebut, yaitu mengubah pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
Agar pembelajaran bermakna bagi siswa maka pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik. Kemudian siswa diberi kesempatan menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri dengan skema yang dimiliki dalam pikirannya. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi, dan mencari strateginya yang sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi dan tidak serta merta siswa telah melakukan aktivitas konstruksi. Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitsnya melakukan refleksi, interpretasi, dan internalisasi. Rekonstruksi itu dimugkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok kecil maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Guru membimbing mereka untuk menarik kesimpulan bagi diri masing-masing-masing. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau reinvention. Mula-mula matematisasi berlangsung secara horizontal dan dengan bimbingan guru siswa melakukan matematisasi vertikal (Marpaung: 2001).

2.5 Mempersiapkan Materi Kurikulum PMR
Penerapan PMR secara tepat guna di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dan ketersediaan materi kurikulum berbasis PMR. Untuk itu diperlukan materi kurikulum dengan konteks Indonesia.
Menurut Hadi (2001) mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia akan memakan waktu yang panjang karena harus melalui rangkaian: (1) olah fikir (pengembang mendesain materi PMR yang relevan dengan kurikulum yang berlaku); (2) ujicoba dengan kelompok kecil siswa (oleh pengembang sendiri); (3) revisi berdasarkan hasil uji coba skala kecil; (4) uji coba oleh guru di kelas; dan (5) revisi berdasarkan hasil uji coba di kelas.
Apabila rangkaian evaluasi dan revisi terhadap draft materi kurikulum PMR tersebut dilaksanakan secara baik, akan menghasilkan materi yang userfriendly baik bagi siswa maupun guru. Walaupun demikian, ini tidak menjamin bahwa materi tersebut akan mendorong peningkatan prestasi siswa dalam belajar matematika. Ini akan dibuktikan setelah guru dan siswa menggunakan materi tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Berkaitan dengan pengembangan materi kurikuluni PMR beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian: (1) konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa; (2) bahasa yang digunakan harus sederhana dan jelas; dan (3) gambar harus mendukung konsep.
Apabila upaya mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dianggap tidak efisien dalam jangka pendek, dapat dilakukan adaptasi terhadap materi PMR yang sudah ada. Ini jauh lebih mudah dibanding mengembangkan sendiri. Namun beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian:
(1) Tidak setiap konteks dapat langsung diadopsi, mengingat perbedaan budaya dan pengalaman siswa kita dengan siswa luar negeri. Bahkan untuk konteks yang sudah dikenal siswa, pengalaman sebelumnya tentang konteks tersebut dapat mempenganthi mereka dalam menyelesaikan soal.
(2) Apabila konteks yang ingin diadaptasi dirasakan oleh pengembang cukup dikenal, persoalan selanjutnya adalah pengadaptasian dan penerjemahan soal yang menyertai konteks tersebut. Penerjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia harus menyampaikan pesan yang sama agar tidak membingungkan.
(3) Sedapat mungkin konteks dapat menjelaskan pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan lisan. Hal ini terutama penting untuk ukuran kelas yang besar (40 s.d. 45 siswa per kelas). Karena kalau konteks masih memerlukan penjelasan lisan dari guru akan memakan waktu yang lama sebelum siswa-siswa siap bekerja menyelesaikan soal dalam materi kurikulum (buku siswa).
(4) Gambar dapat mempengaruhi siswa. Beberapa siswa menggunakan/menafsirkan gambar untuk menyelesaikan soal. Karena penafsiran yang keliru terhadap gambar yang menyertai soal, jawaban siswa menjadi salah.
2.6 Panguasaan Materi Ajar PMR
Menurut Putman (1987), tujuan pengajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar. Salah satu aspek penting dalam pencapaian transfer belajara matematika itu agar siswa menguasai konsep-konsep matematika, dan keterampilan PMR sehingga dapat diaplikasikan dalam pemecahan masalah. Dari semua aspek yang telah dikemukakan di atas, tidaklah mengherankan jika dijumpai kenyataan bahwa penguasaan materi ajar PMR dari peserta didik masih perlu dikemas dengan lebih menarik. Lebih dari itu, adanya kenyataan bahwa peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal atau masalah yang sedikit saja keluar dari kurikulum atau dari buku paket. Menurut Soejadi (1992) bahwa kelemahan bermatematika siswa di jenjang SD yang sering diungkapkan oleh beberapa pihak, antara lain: (1) tidak dapat dengan cepat mengerjakan perkalian,dan pembagian; (2) mengerjakan pecahan; (3) memahami geografi; (4) menyelesaikan soal ceritera
Kelemahan-kelemahan tentang hal-hal yang mendasar di SD berpengaruh terhadap panguasaan materi ajar di SLTP dan juga di SMU; selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kemampuan melakukan analisis. Penguasaan materi ajar yang tidak mantap mengakibatkan gejala umum yaitu terlupakan dalam satu minggu.
Menurut Suharta (2001), dalam pengajaran matematika realistik dibutuhkan upaya: (1) penemuan kembali terbimbing dan matematisasi progresif; (2) fenomena didaktik; dan (3), mengembangkan model-model sendiri.
Dalam hal pertama, pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengalami sendiri proses penemuan matematika. Prinsip ini dapat memberikan inspirasi yang menerapkan prosedur pemecahan informal, di mana melalui matematisasi, siswa harus diberikan kesempatan untuk melakukan proses penemuan kembali (reinvention) konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya. Hal ini dapat dicapai bilamana pengajaran matematika realistik yang dilakukan menggunakan situasi yang kondusif berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika realistik bagi siswa.
Dalam hal kedua, pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistik harus menetapkan aspek aplikasi, dan mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif. Dalam hal ini siswa akan menggunakan pengetahuan matematika informal yang mereka miliki untuk memecahkan masalah matematika realistik yang mereka hadapi. Strategi-strategi informal yang dikemukakan siswa akan bervariasi, dan dengan demikian strategi-strategi informal yang diberikan oleh guru tidak sama dengan yang dikemukakan siswa, berarti akan ada peningkatan pengetahuan bagi siswa. Seorang guru matematika harus mampu mengakomodasi strategi-strategi informal yang dikemukakan oleh siswa dan dipergunakan sebagai alat untuk menuju pengetahuan matematika formal.
Dalam hal ketiga, pemecahan masalah matematika realistik harus mampu dijembatani melalui pengembangan model-model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau dari pengetahuan matematika informal ke bentuk pengetahuan matematika formal. Artinya, model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan masalah yang mampu menciptakan kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktivitas di bawah bimbingan guru. Melalui matematisasi horizontal, model tentang masalah berubah menjadi model untuk pengetahuan matematika formal, dan melalui matematisasi vertikal berubah menjadi model pengetahuan matematika formal.
Menurut Suwarsono (2001), kekuatan-kekuatan yang diperlukan untuk mengatasi kerumitan mengimplementasikan PMR di sekolah antara lain:
(1) Pemahaman tentang PMR dan upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar, mengenai berbagai hal, misalnya mengenai siswa, mengenai guru, mengenai peranan soal, peranan konteks, peranan alat peraga (manipulative materials), pengertian belajar, dan lain-lain.
(2) Pencarian soal-soal yang kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut masing-masing harus dapat diselesaikan dengan bermacam cara.
(3) Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan setiap soal juga merupakan tantangan tersendiri.
(4) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, dengan melalui soal-soal yang kontekstual, proses matematisasi horisontal, dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu. Dalam hal ini diperlukan microdidaktics.
(5) Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan PMR.
(6) Penilaian dalam PMR lebih rumit daripada dalam pembelajaran yang konvensional (Lihat Verhage & de Lange, 1996).
(7) Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip PMR.

2.7 Matematisasi Horizontal dan mateamtisasi Vertikal dan kaitannya dengan Berpikir Lateral dan Berpikir Vertikal
Dalam pengajaran matematika realistik ini dapat dilakukan dua pendekatan yaitu melalui matematisasi horizontal dan vertikal (Treffers:1991). Ia mengatakan sebagai berikut: “Matematisasi horizontal adalah pemodelan situasi masalah yang dapat didekati dengan makna matematika. Atau dengan kata lain: menggiring dari dunia yang dirasakan kepada dunia lambang. Sepanjang pembagian tersebut kita mengamati bahwa dalam dunia konkrit berupa dunia yang dirasakan, hal tersebut bukan suatu indikasi tingkat kemutlakan tetapi sesuatu yang bersifat relatif. Misalnya, dari bagian-bagian dunia lambang dapat menjadi bagian dari dunia yang dapat dirasakan, dan dalam kenyataannya dapat bersifat pribadi. Matematisasi vertikal diarahkan pada perluasan dan bangunan keterampilan dan pengetahuan yang dirasakan di dalam sistem materi pokok yang terdapat dalam dunia lambang”.
Sementara menurut de Lange (1996), matematisasi horizontal mencakup: proses informal siswa untuk menyelesaikan sebuah soal, membuat model matematika, melakukan translasi antara modus yang ditampilkan, membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain. Sedang matematisasi vertikal mencakup: proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula, pembuktikan keteraturan, mendesain model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan berbagai persoalan matematika realistik, prosedurnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Contoh matematisasi horizontal adalah: pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika.
Contoh matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam rumus, penghalusan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi memiliki nilai yang sama dalam PMR (Valden Heuvel-Panheuizen, dalam Suharta: 2001), dan hal ini digambarkan sebagai berikut:
Dalam PMR kedua jenis matematisasi tersebut berkaitan dengan cara berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Kedua pemikiran itu disebut sebagai berpikir lateral dan berpikir vertikal. Perbedaan kedua cara berpikir itu, menurut de Bono (1987) adalah sebagai berikut: Yang menjadi permasalahan dalam berpikir vertikal adalah kebenaran, sedangkan yang menjadi permasalahan dalam berpikir lateral adalah kekayaan ragam pemikiran. Berpikir vertikal menyeleksi jalur jalan dengan menyampingkan jalur jalan lainnya. Sebaliknya, berpikir lateral tidak menyeleksi tetapi berupaya merintis jalur jalan lainnya. Dalam berpikir vertikal kita memilih pendekatan yang paling memberi harapan pada suatu masalah, cara terbaik untuk mencari suatu situasi. Dalam berpikir lateral kita sedapat-dapatnya mengembangkan sebanyak mungkin pendekatan alternatif. Dengan berpikir vertikal kita mencari berbagai pendekatan sampai menemukan pendekatan yang memberi harapan. Dengan berpikir lateral kita berupaya mengembangkan terus sebanyak mungkin pendekatan, bahkan setelah kita menemukan sesuatu yang memberi harapan. Dengan berpikir vertikal kita mencoba memilih pendekatan yang terbaik, tetapi dengan berpikir lateral kita mengembangkan berbagai pendekatan demi pengembangan pendekatan. Dengan berpikir vertikal, kita bergerak ke suatu arah yang sudah ditetapkan dengan jelas ke arah pemecahan masalah. Kita menggunakan beberapa pendekatan yang nyata atau beberapa teknik yang nyata. Dengan berpikir lateral kita bergerak demi gerakan itu sendirI
2.8 Kekuatan dan Kelemahan Matematika Realistik
Mengungkap berbagai kekurangan sama artinya mengemukakan berbagai kelemahan yang muncul di depan mata kita, sebagai suatu kenyataan apa adanya, hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran matematika yang telah berjalan pada kurun waktu yang lampau secara mutlak dipersalahkan atau sama sekali tidak memberi manfaat secara nyata kepada peserta didik. Namun, pemaparan berbagai kelemahan itu lebih diartikan sebagai titik tolak untuk mengambil tindakan positip sebagai upaya memberikan antisipasi berupa tindakan konkrit bertahap yang harus ditempuh selama pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Menurut Mustaqimah (2001) keunggulan dan kelemahan PMR adalah sebagai berikut:
Keunggulan
Kelemahan
1. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya

2. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya
4. Memupuk kerja sama dalam kelompok
5. Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya
6. melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat
7. Pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang berbicara
1. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya
2. Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah
3. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai
4. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu
5. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi/memberi nilai


2.9 Problem Solving Matematika Realistik
Dalam pembelajaran matematika realistik, salah satu hal yang penting dikuasai oleh seorang guru adalah bagaimana siswa mampu memecahkan masalah matematika yang sedang dihadapinya. Menurut Hudoyo (1981), pengajaran matematika akan dapat berlangsung efektif jika guru yang mengajarkan matematika memiliki keterampilan dalam proses pengerjaan matematika di kelas. Penyelesaian masalah dalam matematika realistik tidak terlepas dari bagaimana strategi belajar mengajar menyelesaikan masalah (problem solving) yang senantiasa muncul di kelas. Mungkin mengherankan untuk diketahui bahwa dalam mempelajari sifat-sifat masalah sedikit kegunaannya dalam menjelaskan pengertian problem (masalah). Pengertian problem terdapat dalam sikap orang menghadapi situasi yang mungkin merupakan problem atau bukan problem bagi mereka.
Namun demikian, apakah situasi tertentu dalam matematika realistik itu merupakan problem atau bukan bagi seorang siswa, tergantung pada bagaimana siswa menghadapi situasi itu. Dengan demikian dapat kita definisikan problem itu sebagai berikut: suatu situasi merupakan suatu problem bagi seseorang, jika orang itu menyadari eksistensinya situasi itu, perlu menghendaki tindakan, dia mau atau perlu bertindak, dia melakukan tindakan, dan dia tidak segera mampu menyelesaiakan problem itu. Dengan demikian problem solving dalam matematika adalah penyelesaian dari satu situasi dalam matematika yang dipandang sebagai satu peroblem matematika (Murtadho dan Tambunan: 1987).
Apabila definisi problem di atas dipertahankan, maka himpunan soal-soal latihan matematika realistik di sekolah harus diberi nama soal-soal latihan (exercises), bukan problem. Dalam hal ini, apakah soal-soal latihan matematika itu merupakan problem atau tidak, bergantung bagaimana siswa memandangnya dan tergantung pula bagaimana dia menyelesaikannya.
Yang perlu kita kritisi adalah kebanyakan soal-soal latihan dalam buku-buku teks matematika dirancang untuk latihan (drill) dan praktek rutin, walau banyak dari latihan dan praktek itu (tentu yang lebih sulit) benar-benar merupakan problem bagi hampir semua siswa. Di samping itu, tidak terlalu penting jika latihan, soal latihan, dan praktik itu disebut problem dan prosedur penyelesaiannya disebut keterampilan problem solving. Bagaimanapun juga, yang terpenting adalah guru matematika dan siswa mengetahui perbedaan antara belajar keterampilan matematika dengan menyelesaiakan soal-soal latihan dan belajar pendekatan umum terhadap problem solving matematika realistik dengan cara menyelesaiakan situasi yang benar-benar merupakan problem.
Secara umum para guru matematika percaya bahwa problem solving adalah aktivitas instruksional yang sangat penting dalam pengajaran matematika realistik, sebab tujuan belajar (learning objective) yang melalui penyelesaian problem dan melalui belajar prosedur problem solving umum, sangat nyata pentingnya dalam masyarakat. Penemuan-penemuan penelitian menunjukkan bahwa strategi umum problem solving yang dipelajari dalam kelas matematika, dapat ditransfer dan digunakan ke situasi problem solving lainnya. Prinsip-prinsip yang dipelajari dan diaplikasikan dalam problem solving lebih banyak kemungkinannya ditransfer ke situasi problem solving lainnya daripada prinsip-prinsip yang tidak diaplikasikan dalam penyelesaian problem-problem.
Problem solving matematika realistik dapat menolong siswa meningkatkan kemampuan menganalisis dan dapat menolong mereka menggunakan kemampuan ini dalam situasi berbeda-beda. Penyelesaian problem dapat juga menolong siswa belajar fakta matematika keterampilan konsep dan prinsip-prinsip dengan mengilustrasikan pemakaian objek-objek matematika realistik dan interelasi objek-objek itu.
Karena problem solving adalah aktivitas yang mempesonakan hampir semua siswa, maka penyelesaian problem dalam pelajaran matematika realistik dapat meningkatkan motivasi, yaitu dapat membuat matematika realistik lebih menarik siswa. Akan tetapi problem solving dapat pula menurunkan motivasi, jika kecepatan, ketepatan, format, kenecesan, dan mencari jawaban yang benar, menjadi tujuan pengajaran problem solving di sekolah. Problem solving itu sulit dan dapat memfrustasikan siswa jika guru tidak menunjukkan kesabaran, pengertian, dan memberikan esistensi yang tidak mendorong siswa. Apabila guru mengerjakan problem solving dengan menciptakan lingkungan kelas yang menyenangkan dan mendukung, siswa dapat merasakan kepuasan mencari penyelesaian yang kreatif dan asli dari problem-problem matematika realistik tersebut.
Problem solving adalah proses dasar dalam matematika realistik dan merupakan sebagian karya para matematikawan yang jumlahnya banyak sekali. Oleh karena itu, siswa dapat mempelajari hakikat metematika dan aktivitas pakar matematika lebih baik, jika mereka menyelesaikan problem matematika secara realistik. Karena meneruskan warisan kebudayaan adalah tujuan yang penting dari sistem pendidikan, maka objek (fakta, keterampilan, konsep, prinsip-prinsip) dan metode (strategi problem solving) matematika realistik, yang merupakan bagian yang penting dari warisan ini harus diteruskan kepada siswa.
Problem dapat berasal dari berbagai sumber. Banyak problem yang dapat dikembangkan dari buku-buku teks yang sedang dipelajari. Yang lain dapat dikembangkan dari model-model situasi hidup di luar kelas. Yang lain lagi, dapat dikembangkan melalui penelitian berbagai keingintahuan akan matematika atau teka-teki matematika yang bersifat reaksional. Pengembangan problem matematika ini dapat dilakukan dengan cara: (1) mengembangkan problem dari materi dasar, (2) mengembangkan problem dengan teknik variasi, (3) pengembangan problem dari situasi hidup, dan (4) mengembangkan problem dari keingintahuan dan teka-teki matematika.

3. Simpulan
Dari kajian di atas disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menerapkan pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pematematisasian pengalaman hidup sehari-hari dan mengaplikasikannya dalam dua real yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
(2) PMR berdasarkan pada ide teori Real Mathematics Educatiom (RME) yang menerapkan konteks dunia real, dan menggunakan model matematika, memproduksi hasil dan mengembangkan kemampuan siswa melalui interaksi guru dengan cara yang ramah, dan bersifat komunikatif.
(3) Model PMR akan membantu siswa membentuk sendiri pemahaman matematikanya dengan bantuan guru.
(4) Untuk melakukan perubahan pada diri siswa guru harus ikut melakukan perubahan dalam kepribadiannya, serta pengetahuan guru tentang alur belajar siswa juga harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
(5) Kita harus mampu menyiapkan materi kurikulum PMR yang memenuhi standar kualitas sebagaimana yang tercermin dalam ajaran-ajaran PMR, dan tidak sepadat materi yang terdapat dalam kurikulum sekarang ini.
(6) PMR akan lebih efektif diterapkan pada kelas yang tidak terlalu besar, berkisar 25-30 siswa yang ada di dalamnya.
(7) Pendekatan realistik yang menuntut kontribusi siswa, seyogianya memberi kesempatan bagi siswa untuk melakukan refleksi, sementara guru harus berperan sebagai model dalam merefleksi yang dilakukan secara efektif dan konsisten.

Pustaka Acuan
De Bono, Edward. 1987. Berpikir Lateral. Buku Teks Kreativitas. Jakarta: Erlangga
De Lange, J. 1996. “Using Applying Mathematics in Education: Dalam International Handbook of Mathematics Education, Part One, Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
--------------. 1997. Mathematics, insight and meaning. Utrecht: OW & OC.
Freudenthal, H. 1991. Revisiting mathematics education. China Lectures. Dordrecht: Kluwer
Academic Publisher.
Gravemeijer. 1994. Developing Realictics Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press/Freudenthal Institute.
Hadi, Sutarto. 2001. PMRI: beberapa catatan sebelum melangkah lebih jauh. Makalah Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Mastiqomah, Siti., Rumgayatri., dan Ratini. 2001. Pengalaman Dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika Secara realistik di MIN Yogyakarta II. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Murtadho, Sutrisman & Tambunan, G. (1987) Pengajaran Matematika. Jakarta: Karunika.
Putman, Ralp T. 1987. Mathematics Knowledge For Under Standing And Problem Solving. International Journal Of Educational Research. 11. (16). P. 67-70
Sembiring, R. K. 2001. Mengapa Memilih RME/PMRI. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context.” Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000).
Soedjadi. 1994 Orientasi Kurikulum Matematika Serkolah di Indonesia Abad 21. pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. Jakarta: Grasindo.
----------. 2001. Pembelajaran Matematika Berjiwa RME (suatu pemikiran rintisan ke arah upaya baru). Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Suyatno, M. 1988. “Minat siswa terhadap matematika perlu ditumbuhkan”. Jakarta: Kompas. Tanggal 1 Februari
Syarien, Syafrinal. 1991. “Ada Gejala ‘matematika phobia”. Hasil Konferensi Nasional Matematika IV di Universitas Indonesia..” Bandung: Pikiran Rakyat tanggal 15 Juli
Undng-Undang Sistem Pedidikan Nasional (UU RI Nomor 2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika,
Zulkardi. 2001. Efektiviitas Ligkungan Belajar Berbasis Kuliah Singkat dan Situs Web sebagai suatu Inovasi Dalam Menghasilkan Guru RME di Indonesia. Makalah disajikan pada seminar nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
TIMSS. 1999. International Students Achievement in Mathematics. http://timss:bc.edu/timss1999i/pdf/T99i math 01.pdf
*) Asmin, adalah dosen FMIPA Universitas Negeri Medan, kandidat Doktor di Uiversitas Negeri Jakarta
Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.044 - September 2003, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas























Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan Dan Implikasinya Pada Pembelajaran Matematika

Oleh: Rusdy A. Siroj
Abstrak: Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar murid-murid belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi behavior memandang bahwa proses belajar terjadi melalui ikatan stimulus-respon, sedangkan psikologi gestalt berpendapat proses pemerolehan pengetahuan didapat dengan memandang sensasi secara keseluruhan sebagai suatu objek yang memiliki struktur atau pola-pola tertentu, dan ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.

Kata-kata kunci: Pengetahuan, Matematika, Behavior, Gestalt, Konstruktivis
1. Pendahuluan
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku. Kedua,
perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar. Dengan demikian, seseorang dikatakan belajar apabila setelah melakukan kegiatan belajar ia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu perubahan. Misalnya, ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, keterampilannya meningkat, sikapnya semakin positif, dan sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan tingkah laku tanpa usaha dan tanpa disadari bukanlah belajar.
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Hal ini berarti bahwa belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar —dalam makalah ini yang dimaksud adalah pengetahuan (Hudojo, 1990:2). Perolehan hasil belajar dapat dilihat, diukur, atau dirasakan oleh seseorang yang belajar atau orang lain, tetapi tidak demikian halnya dengan proses belajar bagi seseorang yang sedang belajar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah terjadinya proses belajar sehingga seseorang memperoleh pengetahuan?
Terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya sulit untuk diamati karena ia berlangsung di dalam mental. Namun demikian, kita dapat mengidentifikasi dari kegiatan yang dilakukannya selama belajar. Sehubungan dengan hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk mengguna-kan pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Misalnya Piaget (sebagai “bapak” psikologi kognitif), memandang bahwa pengetahuan terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi. Maksudnya, apabila pada seseorang diberikan suatu informasi (persepsi, konsep, dsb), dan informasi itu sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka informasi itu langsung berintegrasi (berasimilasi) dengan struktur kognitif yang sudah ada dan diperoleh pengetahuan baru. Sebaliknya, apabila informasi itu belum cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka struktur kognitif yang sudah ada direstrukturisasi sehingga terjadi penyesuaian (akomodasi) dan baru kemudian diperoleh pengetahuan baru. Sebagai contoh, pada anak yang telah memiliki pengetahuan tentang konsep segitiga, kemudian diberikan oleh guru persegi panjang. Karena konsep persegi panjang ini belum cocok dengan konsep segitiga yang telah dimiliki anak, maka konsep segitiga itu direstrukturisasi sehingga dapat bersesuaian dengan konsep persegi panjang. Setelah itu, pengetahuan tentang konsep persegi panjang tersebut dapat berintegrasi dengan pengetahuan yang telah ada dan diperoleh pengetahuan baru berupa konsep persegi panjang.
Untuk memahami lebih jauh bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya khususnya pengetahuan matematika, maka tulisan ini akan membahas beberapa pandangan psikologis yang berkaitan dengan hal itu. Ada tiga pandangan psikologi utama yang akan diuraikan dalam tulisan ini yaitu pandangan psikologi Behavioristik, Gestaltik, dan Konstruktivistik. Uraian dalam makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal untuk memahami, mendorong, dan memberikan arah terhadap kegiatan belajar-mengajar matematika di sekolah.
2. Kajian Literatur dan Pembahasan
2.1 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Psikologi Behavioristik
Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam Orton, 1991:39; Resnick, 1981:12), menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thorndike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) menge-mukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan --yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada dengan hukum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus—respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
Gagne—yang disebut Orton (1991:39) sebagai modern neobehaviourists— membagi belajar dalam delapan jenis, yaitu dimulai dari belajar yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah). Namun di dalam praktiknya, kedelapan tipe/jenis belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respon (Bell, 1981:108-123; Hudojo, 1990:25--30).
Hal tersebut dapat dijelaskan dari pendapat Gagne (dalam Hudojo, 1990:32), bahwa setiap jenis belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan. Tahap pertama pemahaman, setelah seseorang yang belajar diberi stimulus, maka ia berusaha untuk memahami karakteristiknya (merespon) kemudian diberi kode (secara mental). Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menguasai stimulus yang diberikan yaitu pada tahap kedua (tahap penguasaan). Pengetahuan yang diperoleh dari tahap dua selanjutnya disimpan atau diingat, yaitu pada tahap ketiga (tahap pengingatan). Terakhir adalah tahap keempat, yaitu pengungkapan kembali pengetahuan yang telah disimpan pada tahap ketiga.
Berdasarkan pandangan psikologi behavior di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal antara stimulus dan respon. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1998:4) bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh dari sekumpulan ikatan stimulus-respon, semakin sering asosiasi ini digunakan apalagi diberi penguatan, maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi. Jika dihubungkan dengan pengetahuan matematika, hal ini berarti semakin sering suatu konsep matematika (pengetahuan) diulangi maka konsep matematika itu akan semakin dikuasai. Sebagai contoh, apabila seorang anak telah mengetahui bahwa 3 x 4 sama dengan 12, kemudian anak tersebut sering ditanya tentang hal itu, maka ia akan semakin paham dan bahkan secara otomatis dapat menjawab dengan benar apabila ditanya, karena ikatan stimulus yaitu ”3 x 4 “ dengan responnya yaitu “12” akan semakin kuat.
2.2 Pemerolehan Pengetahuan Menurut Pandangan Psikologi Gestaltik
Psikologi gestalt dikembangkan di Eropa pada sekitar tahun 1920-an. Psikologi gestalt memperkenalkan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi (behaviorism). Teori gestalt dibangun dari data hasil eksperimen yang sebelumnya belum dapat dijelaskan oleh ahli-ahli teori asosiasi. Meskipun pada awalnya psikologi gestalt hanya dipusatkan pada fenomena yang dapat dirasa, tetapi pada akhirnya difokuskan pada fenomena yang lebih umum, yaitu hakikat belajar dan pemecahan masalah (Resnick & Ford, 1981:129-130).
Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi gestalt sebagai sesuatu yang penting. Menurut Kohler (dalam Orton, 1991:89) berpikir bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut prinsip tertentu. Katona, seorang ahli psikologi gestalt yang lain, juga tidak sependapat dengan belajar dengan pengkaitan stimulus dan respon. Berdasarkan hasil penelitiannya ia membuktikan bahwa belajar bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur, melainkan juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih sederhana (Resnick & Ford, 1981:143-144).
Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah (Orton, 1990:89). Para pengikut gestalt berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian maka strukturnya tidak jelas. Menurut Katona (dalam Resnick& Ford, 1981: 139) penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk dapat memahaminya dengan tepat. Untuk lebih memahami uraian di atas, perhatikan ilustrasi pada Gambar 1.
Gambar 1 Konfigurasi TitikDiadopsi dari Resnick & Ford (1981:130)
Pada setiap gambar di atas terdapat bundaran kosong menunjukkan posisi yang berbeda sesuai dengan konteks (organisasi perseptual). Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan gestaltist seseorang yang memperhatikan konfigurasi titik (bulatan) yang terdapat pada setiap gambar (a) sampai (d) tidak hanya sebagai kumpulan titik yang terpisah-pisah, tetapi titik itu teorganisir berdasarkan prinsip tertentu. Dengan demikian, orang akan memahami setiap gambar itu sebagai kumpulan titik yang secara keseluruhan membentuk; (a) layang-layang (diamond), (b) segiempat, (c) segitiga, dan (d) segidelapan.
Jadi, menurut pandangan psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami.

2.3 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Konstruktivistik
Matthews (dalam Suparno, 1997) secara garis besar membagi aliran konstruktivisme menjadi dua, yaitu konstruktivisme psikologi dan sosiologi. Kemudian konstruktivisme psikologi juga dibagi menjadi dua yaitu: (1) konstruktivisme radikal, yang lebih bersifat personal, individual, dan subyektif, dan aliran ini dianut oleh Piaget dan pengikut-pengikutnya; dan (2) konstruktivisme sosial, yang lebih bersifat sosial, dan aliran ini dipelopori oleh Vigotsky. Ernest (1996) secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah (weak constructivism). Selanjutnya, yang akan dibahas dalam makalah ini hanyalah konstruktivisme psikologi/radikal yang dipelopori oleh Piaget dan konstruktivisme sosial yang dipelopori oleh Vygotsky.
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme psikologi/radikal dalam belajar dipelopori oleh Piaget (Suparno, 1997). Piaget mempunyai perbedaan pandangan yang sangat mendasar dengan pandangan kaum behavior dalam pemerolehan pengetahuan. Bagi kaum behavior pengetahuan itu dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan stimulus-respon. Piaget berpandangan bahwa pemerolehan pengetahuan seperti itu ibarat menuangkan air dalam bejana. Artinya, pebelajar dalam keadaan pasif menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Bagi Piaget pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang/pebelajar terhadap lingkungan (Orton, 1991).
Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, Piaget (dalam Bell, 1981: Stiff dkk., 1993) berpendapat bahwa skemata yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb) atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata tersebut. Hal itu, dikarenakan informasi baru tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skemata yang telah ada. Jika informasi baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata yang lama, maka akan dibentuk skemata baru yang cocok dengan informasi itu. Sebaliknya, apabila informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skemta yang telah ada, maka skemata yang lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan informasi baru itu.
Dengan kalimat lain, pandangan Piaget di atas dapat dijelaskan bahwa apabila suatu informasi (pengetahuan) baru dikenalkan kepada seseorang dan pengetahuan itu cocok dengan skema/skemata (sruktur kognitif) yang telah dimilikinya maka pengetahuan itu akan diadaptasi melalui proses asimilasi dan terbentuklah pengetahuan baru. Sedangkan apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu tidak cocok dengan struktur kognitif yang sudah ada maka akan terjadi disequilibrium, kemudian struktur kognitif tersebut direstrukturisasi kembali agar dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi equilibrium, sehingga pengetahuan baru itu dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasikan menjadi pengetahuan skemata baru. Untuk memperjelas uraian di atas perhatikan ilustrasi berikut.
Misalkan, pada seorang anak bernama Muhsin telah terbentuk skemata tentang persamaan linear yaitu pengertian persamaan linear, bentuk umum persamaan linear (ax + b = c), dan teknik penyelesaiannya. Suatu ketika kepadanya diperkenalkan persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0. Karena pengetahuan yang terbentuk dalam skemata Muhsin adalah tentang persamaan linear dan tidak cocok dengan persamaan kuadrat, maka Muhsin akan mengalami disequilibrium. Agar skemata tentang persamaan kuadrat itu dapat dibentuk, maka skemata tentang persamaan linear yang telah ada direstrukturisasi sehingga persamaan kuadrat dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasi dan diadaptasi, sehingga terjadilah keadaan equilibrium. Akhirnya, terbentuklah skemata baru atau pengetahuan baru yaitu persamaan kuadrat.
Dengan demikian, asimilasi dan akomodasi merupakan dua aspek penting dari proses yang sama yaitu pembentukan pengetahuan. Kedua proses itu merupakan aktivitas secara mental yang hakikatnya adalah proses interaksi antara pikiran dan realita. Seseorang menstruktur hal-hal yang ada dalam pikirannya, namun bergantung pada realita yang dihadapinya. Jadi adanya informasi dan pengalaman baru sebagai realita mengakibatkan terjadinya rekonstruksi pengetahuan yang lama yang disebut proses asimilasi-akomodasi sehingga terbentuk pengetahuan baru sebagai skemata dalam pikiran sesorang.
Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner. Meskipun Bruner mengklaim bahwa ia bukan pengikut Piaget tetapi teori-teori belajarnya sangat relevan dengan tahap-tahap perkembangan berpikir seperti yang dikemukakan Piaget. Salah satu teori belajar Bruner yang mendukung paham konstruktivisme adalah teori konstruksi. Teori ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari itu. Hal ini perlu dibiasakan sejak anak-anak masih kecil (Bell, 1981:143).
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme sosial dipelopori oleh Vygotsky. Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial memandang bahwa pengetahuan matematika merupakan konstruksi sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan matematika adalah pengetahuan bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk membentuk pengetahuan subyektif matematika yang selanjutnya melalui publikasi akan terbentuk pengetahuan matematika; obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri merupakan masalah sosial (Ernest, 1991:42). Lebih lanjut, Ernest (1991: 43) menyatakan bahwa konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi. Pengetahuan obyektif matematika diinternalisasi dan dikonstruksi oleh siswa selama proses belajar matematika. Hudojo (2003: 1) menjelaskan proses rekonstruksi metematika yang dilakukan oleh siswa itu (menggabungkan pendapat Ernest, 1991dan Leiken & Zaslavsky, 1997) sebagai berikut. Pertama, pengetahuan obyektif matematika direpresentasikan siswa dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji/menyelidiki, menjelaskan, memperluas, mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi metematika konsepsi awal. Kedua, konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif matematika. Ketiga, pengetahuan subyektif matematika tersebut di”kolaborasi”kan dengan siswa lain, guru dan perangkat belajar (siswa-guru-perangkat belajar) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Keempat, matematika yang direkonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding dan direpresentasikan oleh kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi siswa setelah belajar sehingga menjadi pengetahuan obyektif matematika.
Untuk lebih memahami uraian di atas (siklus melingkar proses rekonstruksi matematika) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Proses Rekonstruksi Matematika oleh Siswa(Adopsi dari Hudojo 2003)
Dari uraian dan contoh serta dalam gambar di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan konstruktivisme radikal/personal maupun konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial.

2.3 Implementasi Pandangan Behavioristik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Para penganut aliran behaviorisme memandang terbentuknya pengetahuan karena terjadinya ikatan antara peristiwa-peristiwa (stimulus) yang dirangsangkan kepada seorang pebelajar dengan tanggapannya (respon) terhadap rangsangan itu. Semakin sering ikatan stimulus (S) dan respon ( R) dipergunakan maka akan semakin kuatlah ikatan itu. Jadi, kegiatan belajar sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan, dipandang sebagai sistem respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Semakin sering sistem respon ini dilakukan, maka akan semakin dikuasai pengetahuan yang diperoleh. Oleh karena itu, guru-guru yang mengikuti faham behavioristik ini lebih banyak menggunakan pendekatan pembelajaran latihan dan drill. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
Sebagai konsekuensi faham ini, guru-guru matematika yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Kemudian tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Sebagai contoh, misalkan bahan yang akan diajarkan adalah definisi relasi ekivalen. Pertama, diajarkan definisi refleksi, kemudian definisi simetri. Selanjutnya, dijelaskan kaitan antara definsi refleksi dan definsi simetri dan didapat definisi transitif. Akhirnya, diajarkan kaitan ketiga definisi, refleksi, simetri, dan transitif untuk mendefinisikan relasi ekivalen.
Dalam proses pembelajaran, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah dan ekspositori. Dalam proses pembelajaran seperti itu guru merupakan sentral, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid yang mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

2.5 Implementasi Pandangan Gestaltik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran manusia menginterpretasikan semua sensasi/informasi. Sensasi/informasi yang masuk dalam pikiran seseorang selalu dipandang memiliki prinsip pengorganisasian/struktur tertentu. Artinya, pengenalan terhadap suatu sensasi tidak secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks yang baru dan lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian, akan terbentuk suatu pengetahuan baru.
Dalam kaitan dengan pembelajaran matematika, uraian di atas dapat diperjelas dengan ilustrasi berikut. Andaikan seorang guru meminta siswanya untuk menentukan jumlah n suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + n.. Menurut pandangan gestalt, agar siswa dapat menjawab dengan benar ia harus memahami struktur masalah tersebut. Untuk mengarahkan siswa pada pengenalan struktur masalah yang akan diselesaikan, guru dapat membantunya dengan memberikan masalah yang lebih sederhana yaitu jumlah 10 suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + 10. Dengan demikian, diharapkan siswa dengan mudah dapat melihat strukturnya yaitu 10 + 1 = 9 + 2 = 8 + 3 = 7 +4 = 6 +5. Sehingga 1 + 2 + 3 + … + 10 = (10 + 1) + (9 + 2) + (8 + 3) + (7 + 4) + (6 +5) = 11 + 11 + 11 + 11 +11 = 5 x 11 = 10/2 x (10 +1). Akhirnya, siswa akan menemukan bahwa 1 + 2 + 3 + … + n = (n + 1) + (n-1 + 2) + (n-2 + 3) + … + ((n - n + 1) + n) =n (n +1).
Guru-guru matematika yang menganut pandangan gestal ini, akan mendesain proses pembelajaran matematika sedemikian rupa sehingga anak dapat belajar matematika dengan pengertian yaitu didasarkan pada pengorganisasian komponen-komponen materi yang akan dipelajari dan berhubungan secara terstruktur. Berarti kegiatan pembelajaran lebih berpusat pada murid. Tujuan pembelajaran lebih beorientasi pada proses dibandingkan dengan hasil akhir. Pendekatan pembelajaran matematika yang dapat memenuhi pandangan gestaltist ini adalah penemuan (reinvent/discovery) atau dengan pemecahan masalah.

2.6 Implementasi Pandangan Konstruktivistik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pendekatan Matematika
Berdasarkan pandangan konsruktivistik tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pebelajar untuk membangun pengetahuannya. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan (skemata) yang telah dimiliki pebelajar dan ini berlangsung secara mental. Dengan demikian, hakikat dari pembelajaran matematika adalah membangun pengetahuan matematika.
Sebagai implikasi dari hakikat belajar matematika itu maka proses pembelajaran matematika merupakan pembentukan lingkungan belajar yang dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi (Nickson dalam Grows, 1992:106). Menurut Hudojo (1998:7-8) ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstrukstivisme adalah sebagai berikut.
(1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
(2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
(3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep matematika melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
(4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
(5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
(6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa mau belajar.
3 Simpulan dan Saran
Dalam era globalisasi saat ini, dunia terasa semakin sempit. Jarak dan ruang yang membatasi antarnegara terasa hilang. Arus informasi mengalir cepat seolah tanpa hambatan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di belahan bumi barat akan segera diketahui dan ditransformasi di belahan bumi bagian timur dan seterusnya.
Selain itu, globalisasi juga telah menghantarkan suasana kehidupan semakin rumit (complicated), cepat berubah dan sulit diprediksi (unpredictable). Kondisi ini membawa dampak persaingan yang sangat ketat untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Siapa yang memiliki keunggulan kompetitif, dialah yang akan mendapatkan kemudahan hidup.
Agar dapat menghadapi dan mengikuti kondisi seperti di atas, pendidikan (khususnya pembelajaran matematika) harus memberi bekal yang cukup pada generasi baru anak Indonesia saat ini maupun di masa datang. Mereka harus dibekali dengan berbagai kemampuan yang handal, yaitu antara lain kemampuan memperoleh, menganalisis, dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pengajaran matematika di sekolah harus didesain sedemikian rupa sehingga memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka secara maksimum. Dengan memahami bagaimana proses pemerolehan pengetahuan bagi setiap orang yang belajar seperti telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran matematika yang proses pembelajarannya berpusat pada guru, bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur (pandangan behaviorist) tidaklagi dapat dipertahankan. Karena seperti apa yang kita ketahui dan kita rasakan saat ini ternyata hasilnya tidak dapat memenuhi tuntutan keadaan sekarang maupun masa akan datang; dan (2) paradigma pembelajaran matematika kini dan yang akan datang harus lebih ditumpukan pada pandangan gestaltist dan constructivist. Dengan mendasarkan pada pandangan ini maka pembelajaran lebih berpusat pada peserta didik, bersifat analitik, dan lebih berorientasi pada proses pembentukan pengetahuan dan penalaran.


Pustaka Acuan
Bell, H. F. 1981. Teaching and Learning Matehmatics (In Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown Company.
Ernest, Paul. 1996. “Varieties of Constructivism: A Framework For Comparison”.
In Seteffe, L.P. & Nesher, Pearla (Ed). Theories of Matehmatical Learning.
New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates, Publisher.
----------------1991. The Philosophy of Mathematics Education. Hamisphere:
The Parmer Press
Grows, D.A. 1992. Handbook af Research on Mathematics Teaching and Learning.
New York: Macmillan Publishing Co.
Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP
Malang
--------------------- 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
Konstruktivistik (Makalah disjikan dalam Seminar Nasional Pendidikan
Matematika PPS IKIP Malang). Malang.
--------------------- 2003. Guru Matematika Konstruktivis (Constructivist Mathematics
Teacher). (Makalah disajikan dalam seminar Nasional Pendidikan
Matematika tanggal 27-28 Maret 2003 di Universitas Sanata Darma):
Yogyakarta.
Orton, Anthony. 1991. Learning Mathematics: Issue, Theory and Classroom
Practice. Iowa: Cassel
Resnick, B.L. & Ford, W.W. 1981. The Psycology of Matehamtics for Instruction.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta
Stiff, V.L, Johnson, L.J, and Johnson, R.M. 1993. “Cognitive Issue in Mathematics
Education”. In Wilson. I & Patricia. S (Ed). Reseach Ideas for The Classroom: High School Mathematics. New York: Macmillan Publishing Company.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
*) Tenaga pengajar pada program studi pendidikan matematika Universias Muhammadiyah Palembang dan Mahasiswa S-3 Pendidikan Matematika pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Penilaian Kelas (Classroom Assessment) dalam Penerapan Standard Kompetensi
Oleh: Bahrul Hayat, Ph.D
Pendahuluan
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia telah banyak disadari oleh berbagai pihak, terutama oleh para pemerhati pendidikan di Indonesia. Rendahnya mutu pendidikan ini dapat dilihat, antara lain, dari rendahnya rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk semua bidang studi yang di-UAN-kan, baik di tingkat nasional mapun daerah. Dalam perbandingan internasional, sebagaimana dilaporkan dalam The Third Inter-national Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999, Indonesia berada pada urutan 32 untuk IPA dan 34 untuk matematika dari 38 negara peserta. Di Asia Tenggara, untuk kedua bidang studi tersebut Indonesia berada di bawah Malaysia dan Thailand, dan sedikit di atas Filipina. Bahkan hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada pada peringkat terakhir dari 12 negara, dan berada di bawah Vietnam yang menempati peringkat 11. Sehubungan dengan kondisi tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah kecuali melakukan berbagai pembaharuan dan penyempurnaan sistem pendidikan secara menyeluruh agar bangsa ini dapat bersaing di era global yang semakin kompetitif. Dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sedang melakukan penyempurnaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang akan diberlakukan pada tahun-tahun mendatang. Upaya penyempurnaan kurikulum ini merupakan respon atas berbagai kritik dan tanggapan terhadap konsep dan implementasi kurikulum 1994 yang dianggap memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan, baik dari segi substansi maupun pendekatan dan organisasi kurikulum. Perubahan kurikulum ini juga paralel dengan diterapkannya otonomi pendidikan di tingkat kabupaten dan kota, serta pendekatan manajemen berbasis sekolah (school-based management) dan pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).
Perubahan kurikulum kali ini hendaknya dipahami tidak hanya sekedar penyesuaian substansi materi dan format kurikulum dengan tuntutan perkembangan, tetapi pergeseran paradigma (paradigm shift) dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan pendidikan berorientasi hasil atau standard (coutcome-based eduation). Secara lebih sederhana, apa yang harus ditetapkan sebagai kebijakan kurikuler secara nasional oleh Depdiknas bergeser dari pertanyaan tentang apa yang harus diajarkan (kurikulum) ke pertanyaan tentang apa yang harus dikuasai anak (standard kompetensi) pada tingkatan dan jenjang pendidikan tertentu.
Standard Kompetensi
Mengapa suatu sistem pendidikan memerlukan standard? Sebuah standard, serendah apapun ia, diperlukan karena ia berperan sebagai patokan dan sekaligus pemicu untuk memperbaiki aktivitas hidup. Dalam konteks pendidikan, standard diperlukan sebagai acuan minimal (dalam hal kompetensi) yang harus dipenuhi oleh seorang lulusan dari suatu lembaga pendidikan sehingga setiap calon lulusan dinilai apakah yang bersangkutan telah memenuhi standard mini-mal yang telah ditetapkan. Dengan diterapkannya standard kompetensi sebagai acuan dalam proses pendidikan diharapkan semua komponen yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan di semua tingkatan, termasuk anak didik itu sendiri akan mengarahkan upayanya pada pencapaian standard dimaksud. Diharapkan dengan pendekatan ini guru memiliki orientasi yang jelas tentang apa yang harus dikuasi anak di setiap tingkatan dan jenjang, serta pada saat yang sama memiliki kebebasan yang luas untuk mendesain dan melakukan proses pembelajaran yang ia pandang paling efektif dan efisien untuk mencapai standard tersebut. Dengan demikian, guru didorong untuk menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) serta tidak berorientasi pada pencapaian ‘target kurikulum’ semata.
Pendekatan standard kompetensi memiliki ciri, antara lain:
·
Adanya visi, misi dan tujuan pendidikan yang disepakati secara bersama di tingkat nasional
·
Adanya standard kompetensi lulusan (exit outcome) yang secara konsisten dan jelas dijabarkan dari tujuan pendidikan
·
Adanya kerangka kurikulum dan silabus yang merupakan artikulasi yang ketat dari kompetensi lulusan
·
Adanya sistem penilaian acuan kriteria (criterion-referenced assessment) dan standard pencapaian (performance standard) yang diterapkan secara konsisten.
Penilaian Otentik (Authentic Assessment)
Seperti dijelaskan di atas, implikasi dari diterapkannya standard kompetensi adalah proses penilaian yang dilakukan oleh guru baik yang bersifat formatif maupun sumatif harus menggunakan acuan kriteria. Untuk itu, dalam menerapkan standard kompetensi guru harus: · Mengembangkan matriks kompetensi belajar (learning competency ma-
trix) yang menjamin pengalaman belajar yang terarah, · Mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan (continuous authentic assessment) yang menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi. Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan
secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Berikut adalah prinsip-prinsip penilaian otentik. · Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not apart from, instruction), · Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata (real world prob-lems), bukan masalah dunia sekolah (school work-kind of problems), · Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metoda dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar, · Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (kognitif, afektif, dan sensori-motorik). Tujuan penilaian di kelas oleh guru hendaknya diarahkan pada empat (4) hal berikut.
1. Keeping track, yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana,
2. Checking-up, yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak didik dalam proses pembelajaran,
3. Finding-out, yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran
4. Summing-up, yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum.
Agar tujuan penilaian tersebut tercapai, guru harus menggunakan berbagai metoda dan teknik penilaian yang beragam sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik pengalaman belajar yang dilaluinya. Tujuan dan pengalaman belajar tertentu mungkin cukup efektif dinilai melalui tes tertulis (paper-pencil test), sedangkan tujuan dan pengalaman belajar yang lain (seperti bercakap dan praktikum IPA) akan sangat efektif dinilai dengan tes praktek (perfor-mance assessment). Demikian juga, metoda observasi sangat efektif digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran siswa dalam kelompok, dan skala sikap (rating scale) sangat cocok untuk menilai aspek afektif, minat dan motivasi anak didik. Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang berbagai metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan melaksanakan dengan tepat metoda dan teknik yang dianggap paling sesuai dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta pengalaman belajar yang telah ditetapkan.
Di samping itu, karena tujuan utama dari penilaian berbasis kelas yang dilakukan oleh guru adalah untuk memantau kemajuan dan pencapaian belajar siswa sesuai dengan matriks kompetensi belajar yang telah ditetapkan, guru atau wali kelas diharapkan mengembangkan sistem portefolio individu siswa (student portfolio) yang berisi kumpulan yang sistematis tentang kemajuan dan hasil belajar siswa. Portefolio siswa memberikan gambaran secara menyeluruh tentang proses dan pencapaian belajar siswa pada kurun waktu tertentu. Portefolio siswa dapat berupa rekaman perkembangan belajar dan psikososial anak (developmental), catatan prestasi khusus yang dicapai siswa (showcase), catatan menyeluruh kegiatan belajar siswa dari awal sampai akhir (comprehensive), atau kumpulan tentang kompetensi yang telah dikuasai anak secara kumulatif (exit). Portefolio ini sangat berguna baik bagi sekolah maupun bagi orang tua serta pihak-pihak lain yang memerlukan informasi secara rinci tentang perkembangan belajar anak dan aspek psikososialnya sehingga mereka dapat memberikan bimbingan dan bantuan yang relevan bagi keberhasilan belajar anak.
Penutup
Penyempurnaan kurikulum 1994 hendaknya dipahami tidak sekedar proses penyesuaian kurikulum dengan tuntutan perkembangan, tetapi lebih pada pergeseran paradigma pendidikan yang berorientasi masukan (input) ke pendidikan berorientasi hasil (outcome). Standard kompetensi sebagai bentuk penyempurnaan kurikulum menuntut adanya perubahan orientasi dari semua pihak (stakeholder pendidikan) agar tujuan dan upaya peningkatan mutu pendidikan harus tercermin dari meningkatnya mutu kompetensi lulusan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Diterapkannya standard kompetensi membawa implikasi pada orientasi dan strategi penilaian di kelas oleh guru yang lebih menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran tuntas. Penilaian otentik merupakan pendekatan penilaian yang harus diterapkan oleh guru dengan menggunakan berbagai metoda dan teknik yang sesuai dengan tujuan dan proses serta pengalaman belajar siswa. Agar tujuan dan fungsi penilaian lebih berdayaguna bagi perbaikan belajar anak, portefolio siswa sangat berguna bagi guru, orang tua, dan pihak-pihak lain dalam upaya memberikan bantuan dan bimbingan yang relevan bagi keberhasilan belajar anak.
Daftar Pustaka
Angelo, T.A and Croos, KP. (1993). Classroom assessment technique. San Fransisco: Jossey Bass, Inc. Newmann, F.M. and Associates. (1996). Authentic assessment. San Fransisco: Jossey Bass, Inc. Perrone, V (Ed). (1991). Expanding student assessment. Alexandra: ASCO Popham, W.J. (1995). Classroom assessment. Massachussetts: Allyn and Bacon Walklin, L. (1991). The assessment of Performance and competence. Cheitenham UK : Stanley Thornes, Ltd. Wiggin, G.P. (1993). Assessing student performance. San Fransisco: Jossey Bass, Inc.
Sumber: Kompas Cyber Media - Selasa, 04 April 2006

Matematika Itu Asyik

Matematika sering kali dianggap pelajaran momok. Tak cuma si anak yang kebingungan, orang tua pun sering dibuat kalang kabut.
Segala daya dikerahkan para orang tua bagi anaknya. Mulai dari les sampai ikut bimbingan belajar. Tapi beberapa waktu terakhir ada lembaga yang khusus menyelenggarakan kursus matematika. Ada yang menggunakan Metode Kumon, sementara lainnya menggunakan alat bantu sempoa.
Kembangkan potensi individu
Sebenarnya nama Kumon adalah nama keluarga penemu metode belajar matematika, Toru Kumon. Guru matematika SMU di Jepang itu pada tahun 1954 pertama kali menyusun sendiri bahan pelajaran matematika untuk membimbing anaknya belajar matematika. Setelah terbukti memberi hasil memuaskan pada anaknya dan juga anak didik dan tetangga dekatnya, ia pun ingin menerapkan cara belajar dan bahan pelajaran ini kepada sebanyak mungkin anak. Tak heran dengan sifatnya yang universal, kini Metode Kumon telah dapat diterapkan di 40 negara, termasuk Indonesia.
Prinsip dasar metode yang disebarluaskan ke Indonesia pada Oktober 1993 ini adalah pengakuan tentang potensi dan kemampuan individual tiap siswa. "Maka, seseorang yang mendaftar kursus Kumon harus mengikuti tes penempatan," tutur Suita Sary Halim, pimpinan penyelenggara kursus Kumon. Tes penempatan itu untuk mengetahui titik pangkal siswa, supaya siswa dapat mengerjakan bahan pelajaran sesuai dengan kemampuannya. Tak heran bila soal itu biasanya bisa selesai dalam batas waktu tertentu, biasanya hanya dalam hitungan menit.
Setelah itu, ia akan terus berlatih mengerjakan soal-soal latihan sesuai kemampuan, daya konsentrasi dan ketangkasan, bukan berdasar tingkat kelas formal atau usia siswa saja. Siswa SD kelas II bisa saja menghadapi soal latihan untuk SD kelas I, "Karena mungkin yang ia kuasai benar baru pelajaran di kelas I," ujar Suita.
Sebagai contoh, mungkin saja ada siswa SD kelas II yang harus belajar penambahan yang termudah. Misalnya, 1 + 1 = 2, 2 + 1 = 3, 3 + 1 = 4, 4 + 1 = 5, 5 + 1 = 6, dst. Namun begitu jangan dianggap enteng karena ia harus menyelesaikan sebanyak 50 soal hitungan serupa hanya dalam waktu 2 menit. Latihan itu dilakukan berulang kali, sampai ia menguasai dan mampu di luar kepala menjawab soal serupa. Selanjutnya, ia akan meningkat ke bagian berikut, namun dengan tingkat perbedaan kesulitan yang sangat kecil, misalnya 1 + 2 = 3, 2 + 2 = 4, dan seterusnya.
Maka jangan kaget bila dalam kelas bisa ditemukan siswa dalam berbagai tingkat usia. Begitu pun, beberapa siswa yang duduk di tingkat kelas yang sama tidak berarti akan memulai mengerjakan soal latihan yang sama pula. "Kembali lagi karena masalah potensi dan kemampuan yang berbeda dari tiap siswa. Maka yang diterapkan adalah belajar perseorangan," tutur Suita sambil menambahkan tiap siswa Kumon mendapat bahan pelajaran yang berbeda dengan siswa lainnya, baik jumlah lembar kerja maupun tingkat bahan pelajarannya.
Karena mulai belajar dari bagian yang tepat, dalam arti sesuai dengan kemampuannya, dan program dibuat secara perseorangan, siswa tidak akan menemui kesulitan belajar. Yang muncul justru perasaan senang belajar matematika. Penyebab yang lain karena di lembaga ini tidak tertutup kemungkinan untuk merevisi dan mengembangkan bahan pelajaran agar anak-anak tidak mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak kehilangan semangat belajarnya. Selain itu prestasi antara satu siswa dengan yang lain tidak dibanding-bandingkan, sehingga kalaupun ada yang agak lambat mencapai kemajuan tidak akan merasa kecil hati dan putus asa.
Uniknya, berkat metode yang mengunggulkan kemampuan dan semangat belajar perseorangan itu, biasanya setelah 6 bulan - 1 tahun, siswa sudah bisa mencapai tingkat pelajaran di sekolahnya, setelah itu melampauinya. Kemajuan dari hasil belajar siswa Kumon memang sangat bervariasi. Ada siswa yang menyelesaikan seluruh bahan pelajaran Metode Kumon, hingga level Q mengenai probabilitas dan statistika, dalam waktu 2 tahun 10 bulan. "Namun, sekecil apa pun kemajuannya, kami akan selalu mengakui setiap hasil yang telah mereka capai dan menunjukkan jalan agar pada diri setiap anak timbul rasa percaya diri dan keberanian," ujar Suita sambil menambahkan pada umumnya prestasi siswa sesudah mengikuti kursus metode ini meningkat, terutama dari segi akademis.
Disiplin berlatih
Kumon menilai kunci keberhasilan belajar matematika adalah dengan banyak berlatih. Tak heran bila selama belajar dengan Metode Kumon siswa akan mendapat banyak porsi latihan. Dalam tiap satuan lembar kerja terdapat puluhan soal, sehingga untuk satu materi bahasan ia akan mengerjakan hingga ratusan soal latihan. Maka, untuk menyelesaikan seluruh topik bahasan, bila ia jadi siswa sejak tingkat pertama, jumlah soal latihan yang dikerjakannya tentu mencapai puluhan ribu!
Di Kumon, menurut Suita, siswa yang sudah punya kemampuan cukup yang bisa maju ke tingkat lebih tinggi. Bagi yang belum cukup akan terus mendapat pengulangan, sehingga nantinya ia tidak mendapat kesulitan saat mengerjakan bahan pelajaran yang lebih tinggi.
Selain itu Kumon memberlakukan sistem nilai 100, artinya tiap latihan harus benar dikerjakan semua sebelum bisa berganti lembar pelajaran. Siswa yang melakukan kesalahan harus memperbaiki sendiri sampai mendapat nilai 100. Cara ini dinilai efektif agar siswa tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Namun, kenaikan tingkat sering kali tidak terasa. Ini karena perubahan bahan pelajaran dibuat sedemikian kecil, bahkan halus dan sistematis. Bahan pelajaran meningkat seiring dengan kemampuan penalaran sendiri, jarang sekali ia harus minta bantuan pembimbing. Cara ini akan membentuk kebiasaan belajar mandiri yang berguna untuk menggali potensi diri-sendiri.
Selain materi pelajaran, waktu belajar siswa pun digodok matang. Siswa umumnya datang ke kelas 2 kali seminggu dengan waktu belajar rata-rata 30 menit, tergantung tingkat bahan pelajarannya. "Namun, di luar hari kelas, mereka mendapat PR dengan jumlah yang tepat sesuai kemampuannya setiap hari," ujar Dani Wulansari, staf lembaga Metode Kumon.
Semua cara belajar itu diterapkan pada seluruh peserta kursus tanpa memandang usia, karena Kumon memang bisa diikuti oleh siswa pada usia berapa pun. "Pendaftarannya pun terbuka setiap saat," ujar Dani sambil menambahkan sebaiknya siswa mempelajari metode ini sejak usia dini, karena hasilnya tentu akan lebih memuaskan. Yang terutama dirasakan adalah kemampuan berpikir matematis akibat latihan mengkoordinasikan angka-angka menggunakan otak dan tangan. Khususnya latihan hitungan dengan Metode Kumon akan terasa sangat membantu untuk mengenal matematika tingkat SMP dan SMA, sehingga ia akan dengan mudah mengerjakan soal-soal persamaan, pemfaktoran, juga diferensial dan integral.
Dengan demikian, Metode Kumon bukan hanya meningkatkan penguasaan matematika, tapi juga berbagai kemampuan belajar pada anak, mulai dari konsentrasi dan ketangkasan kerja, semangat kebiasaan belajar mandiri, kebiasaan belajar setiap hari. Bila ia bisa menyelesaikan soal latihan matematika dari sekolah dengan cepat, maka ia bisa menggunakan sisa waktu untuk mempelajari ilmu lain. Alhasil, pelajaran lain pun pasti akan meningkat.
Dari pasir sampai manik-manik
Konon dengan sempoa seorang anak dapat menjawab sederetan soal hitungan penjumlahan dan pengurangan hanya dalam beberapa menit. Yang dilakukannya cuma menjentak-jentikkan biji manik-manik sempoanya dengan cekatan.
Sempoa memang bukan barang baru. Diduga alat hitung ala abakus pertama dimiliki suku Babilonia dalam bentuk sebilah papan yang ditaburi pasir. Di atasnya orang bisa menorehkan berbagai bentuk huruf atau simbol. Tak heran bila ia disebut abakus yang dalam bahasa Yunaninya abakos, artinya 'menghapus debu'. Ketika berubah fungsi menjadi alat hitung, bentuknya pun diubah. Permukaan pasir itu menjadi papan yang ditandai garis-garis lengkap dengan sejumlah manik-manik satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya.
Alat itu makin disempurnakan di zaman Romawi. Papannya dibuat berlekak-lekuk cekung agar saat menghitung manik-manik mudah digerakkan dari atas ke bawah.
Orang Cina mengembangkan "hsuan-pan" (nampan penghitung) alias abakus itu menjadi dua bagian. Pada jeruji atas dimasukkan dua manik-manik dan jeruji bawah lima manik-manik. Di abad pertengahan abakus makin tersebar luas, di antaranya sampai ke Eropa, Arab, dan seluruh Asia.
Abakus sampai di Jepang pada abad ke-16. Namun Jepang mengubah susunan manik-manik menjadi satu pada jeruji atas dan empat di jeruji bawah. Satu manik-manik jeruji atas bernilai lima dan empat di jeruji bawah (dimulai dari tengah ke kiri) bernilai satuan, selanjutnya puluhan, ratusan, dan seterusnya. Sedangkan di bagian tengah ke kanan untuk menghitung bilangan desimal. Rupanya abakus ala Jepang ini yang belakangan populer kembali, termasuk di Indonesia.
Menanam sempoa di otak
Munculnya mesin hitung elektronika di AS tahun 1946, rupanya tidak menggoyahkan kepopuleran sempoa. Malah anak yang sudah sangat fasih menghitung dengan metode sempoa telah dibuktikan mampu mengalahkan cara hitung dengan komputer.
Belakangan berbagai kursus mental aritmatika sempoa memang menjamur di kota-kota besar. Menurut salah satu penyelenggara kursus, yaitu Yayasan Aritmatika Indonesia (YAI) yang mengambil lisensi dari Malaysia, berhitung metode sempoa hanya melibatkan hitungan tambah, kurang, kali, dan bagi.
Satu paket belajar terdiri atas 10 tingkat yang kenaikannya harus melalui ujian. Pada tingkat I - III anak belajar penjumlahan dan pengurangan. Pada tingkat IV diajarkan perkalian dan pembagian. Bila satu tingkat selesai dalam tiga bulan, berarti untuk menamatkan 10 tingkat perlu waktu 30 bulan atau 2,5 tahun. Umumnya bila sudah sampai tingkat terampil, mungkin setelah belajar 6 bulan - 1 tahun, sekitar tingkat II atau III, murid diharapkan mampu menghitung tanpa alat bantu apa pun. Sepuluh baris pertanyaan perkalian tiga digit angka dengan tiga digit angka bisa selesai kurang dari 30 detik!
Hal ini bisa terjadi karena anak sudah hapal lokasi satuan, puluhan, ratusan, dst. Cukup dengan membayangkan posisi manik-manik sempoa sambil memainkan jari-jari tangannya, ia bisa menemukan hasil hitungan. Pada tingkat ini ia sudah mampu menghitung cepat di luar kepala. Visualisasi penggunaan sempoa sudah tertanam dalam otaknya.
Namun, ada catatan penting lain, menurut sistem YAI, pelatihan aritmatika sempoa paling sesuai untuk anak usia 6 - 12 tahun karena mereka sedang dalam taraf mempelajari metode dasar eksakta.
"Pikiran mereka masih jernih, belum terlalu dipengaruhi metode aritmatika lain," tutur Ibu Tia, praktisi sistem YAI di Sanggar Kreativitas Bobo, Jakarta.
Akhirnya, selain bisa berhitung cepat, metode ini berguna untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi otak, khususnya otak kanan yang meliputi daya analisis, ingatan, logika, imajinasi, reaksi tinggi, dll. Menurut teori mental aritmatika, pemahaman atas disiplin dasar eksakta ini akan membuat anak mampu menguasai dan menggunakan secara optimal seluruh potensi dan kreativitas dirinya, termasuk menyerap ilmu-ilmu lanjutannya nanti. Untuk kehidupan sehari-hari latihan ini akan melatih mental anak agar menjadi lebih tekun serta disiplin.
Ilmu kemampuan dasar
Kemampuan menghitung dengan cepat, tentu akan menunjang anak dalam pelajaran matematika di sekolah. Atas pertimbangan itu Kepala Sekolah SD Dharma Karya Drs. H. Masduki memasukkan metode ini dalam mata pelajaran di sekolah yang dipimpinnya. "Karena saya pernah melihat ada anak SMP yang menghitung masih dengan alat bantu jari-jari tangan."
Selain itu, ia membaca di surat kabar rencana akan makin banyaknya diterapkan ilmu kemampuan dasar di tingkat pendidikan dasar. Menurut dia, "Salah satu ilmu kemampuan dasar adalah aritmatika yang meliputi penguasaan berhitung tambah, kurang, kali, bagi." Bila landasan berhitungnya cukup kuat, siswa tentu tak akan menghadapi masalah dalam memahami matematika yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan GBPP.
SD Dharma Karya mengajarkan metode sempoa aritmatika sejak tahun ajaran baru silam dengan mengambil dua jam dari 10 jam pelajaran matematika. Metode ini diperkenalkan pada siswa kelas I hingga VI. "Repotnya, kalau diajarkan pada siswa di kelas V atau VI, mental berhitung mereka sudah terbentuk yaitu menghitung dengan alat bantu jari tangan, sedangkan jumlah jari tangan sangat terbatas. Tak heran, kalau sering kali matematika sulit dikuasai karena tidak ada bekal ilmu berhitung," aku Wito, guru mata pelajaran metode sempoa.
Nantinya, murid kelas I sekarang saat duduk di kelas V akan mendapat pelajaran aritmatika sosial. "Siswa belajar menerapkannya dalam masalah sehari-hari, misalnya saat berbelanja," tutur Wito yang mengaku sempat bekerja keras merakit sempoa sederhana untuk dipakai berlatih murid-muridnya.
Ternyata Wito punya target yang sama dengan YAI, yaitu memasukkan sempoa bayangan ke otak anak. Tugas pertamanya adalah bagaimana agar muridnya lancar mengoperasikan sempoa. Di otak setiap gerakan bisa punya makna dalam hitungan. Sehingga kalau pun tanpa sempoa siswa tak akan kesulitan dalam berhitung.
Menurut Wito, murid-muridnya tak pernah bosan belajar dengan sempoa. Murid-muridnya tak merasa sedang belajar, malah lebih merasa sedang bermain manik-manik sempoa.
Masduki tak mengingkari masalah yang mungkin muncul. Berbeda dengan kursus, di mana satu anak punya sempoa sendiri yang bisa dipakai berlatih di rumah, sempoa di sekolahnya hanya dipinjamkan pada siswa saat pelajaran. Belum lagi jumlah siswa satu kelas yang mencapai 35 orang, sehingga mungkin saja ada anak yang agak lambat menguasainya. "Namun, selalu ada jalan keluar, misalnya memberi pengajaran remedial atau pengayaan," tutur Masduki yang, sama seperti guru dan orang tua mana pun, bertekad memberikan bekal terbaik untuk generasi penerusnya. (Shinta Teviningrum/Nanny Selamihardja)

Menjadi Guru Yang Profesional

Oleh: Sura J. Kitti *)
Kata "orang", guru adalah pencetak kader-kader bangsa, pencetak pemimpin bangsa, dst … dst. Pemerintah negeri ini pernah menyakan bahwa guru adalah PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Banyak sekali ungkapan-ungkapan yang meninggikan profesi guru. Tetapi … mengapa profesi guru kurang diminati/sangat tidak diminati oleh anak bangsa negeri ini. Dan … mengapa nasib guru banhkan di bawah garis kemiskinan. Guru yang menurut sebagian orang adalah kepanjangan dari "yang digugu dan yang ditiru" adalah suatu profesi yang mengutamakan intelektualitas yang tinggi, yang menuntut kepandaian, kecerdasan, keahlian berkomunikasi, kebijaksanaan dan kesabaran yang tinggi. Tidak semua orang dapat menekuni profesi guru dengan baik. Kepandaian dan kecerdasan bukan penentu keberhasilan seorang guru. Oleh karena orang yang pandai belum tentu dapat memindahkan ilmunya dengan baik kepada orang lain. Apalagi jika orang yang pandai itu menganggap orang lain sama seperti dirinya.
Bagaimana menjadi guru yang baik (profesional)?
Tidak mudah menjadi guru yang baik, dikagumi dan dihormati oleh anak didik, masyarakat sekitar dan rekan seprofesi. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang guru untuk mendapat pengakuan sebagai guru yang baik dan berhasil.
Pertama. Berusahalah tampil di muka kelas dengan prima. Kuasai betul materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa. Jika perlu, ketika berbicara di muka kelasa tidak membuka catatan atau buku pegangan sama sekali. Berbicaralah yang jelas dan lancar sehingga terkesan di hati siswa bahwa kita benar-benar tahu segala permasalahan dari materi yang disampaikan.
Kedua. Berlakulah bijaksana. Sadarilah bahwa siswa yang kita ajar, memiliki tingkat kepandaian yang berbeda-beda. Ada yang cepat mengerti, ada yang sedang, ada yang lambat dan ada yang sangat lambat bahkan ada yang sulit untuk bisa dimengerti. Jika kita memiliki kesadaran ini, maka sudah bisa dipastikan kita akan memiliki kesabaran yang tinggi untuk menampung pertanyaan-pertanyaan dari anak didik kita. Carilah cara sederhana untuk menjelaskan pada siswa yang memiliki tingkat kemampuan rendah dengan contoh-contoh sederhana yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari walaupun mungkin contoh-contoh itu agak konyol.
Ketiga. Berusahalah selalu ceria di muka kelas. Jangan membawa persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan dari rumah atau dari tempat lain ke dalam kelas sewaktu kita mulai dan sedang mengajar.
Keempat. Kendalikan emosi. Jangan mudah marah di kelas dan jangan mudah tersinggung karena perilaku siswa. Ingat siswa yang kita ajar adalah remaja yang masih sangat labil emasinya. Siswa yang kita ajar berasal dari daerah dan budaya yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya dan berbeda dengan kebiasaan kita, apalagi mungkin pendidikan di rumah dari orang tuanya memang kurang sesuai dengan tata cara dan kebiasaan kita. Marah di kelas akan membuat suasana menjadi tidak enak, siswa menjadi tegang. Hal ini akan berpengaruh pada daya nalar siswa untuk menerima materi pelajaran yang kita berikan.
Kelima. Berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan siswa. Jangan memarahi siswa yang yang terlalu sering bertanya. Berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan siswa dengan baik. Jika suatu saat ada pertanyaan dari siswa yang tidak siap dijawab, berlakulah jujur. Berjanjilah untuk dapat menjawabnya dengan benar pada kesempatan lain sementara kita berusaha mencari jawaban tersebut. Janganlah merasa malu karena hal ini. Ingat sebagai manusia kita mempunyai keterbatasan. Tapi usahakan hal seperti ini jangan terlalu sering terjadi. Untuk menghindari kejadian seperti ini, berusahalah untuk banyak membaca dan belajar lagi. Jangan bosan belajar. Janganlah menutupi kelemahan kita dengan cara marah-marah bila ada anak yang bertanya sehingga menjadikan anak tidak berani bertanya lagi. Jika siswa sudah tidak beranibertanya, jangan harap pendidikan/pengajaran kita akan berhasil.
Keenam. Memiliki rasa malu dan rasa takut. Untuk menjadi guru yang baik, maka seorang guru harus memiliki sifat ini. Dalam hal ini yang dimaksud rasa malu adalah malu untuk melakukan perbuatan salah, sementara rasa takut adalah takut dari akibat perbuatan salah yang kita lakukan. Dengan memiliki kedua sifat ini maka setiap perbuatan yang akan kita lakukan akan lebih mudah kita kendalikan dan dipertimbangkan kembali apakah akan terus dilakukan atau tidak.
Ketujuh. Harus dapat menerima hidup ini sebagai mana adanya. Di negeri ini banyak semboyan-semboyan mengagungkan profesi guru tapi kenyataannya negeri ini belum mampu/mau menyejahterakan kehidupan guru. Kita harus bisa menerima kenyataan ini, jangan membandingkan penghasilan dari jerih payah kita dengan penghasilan orang lain/pegawai dari instansi lain. Berusaha untuk hidup sederhana dan jika masih belum mencukupi berusaha mencari sambilan lain yang halal, yang tidak merigikan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri. Jangan pusingkan gunjingan orang lain, ingatlah pepatah "anjing menggonggong bajaj berlalu."
Kedelapan. Tidak sombong.Tidak menyombongkan diri di hadapan murid/jangan membanggakan diri sendiri, baik ketika sedang mengajar ataupun berada di lingkungan lain. Jangan mencemoohkan siswa yang tidak pandai di kelas dan jangan mempermalukan siswa (yang salah sekalipun) di muka orang banyak. Namun pangillah siswa yang bersalah dan bicaralah dengan baik-baik, tidak berbicara dan berlaku kasar pada siswa.
Kesembilan. Berlakulah adil. Berusahalah berlaku adil dalam memberi penilaian kepada siswa. Jangan membeda-bedakan siswa yang pandai/mampu dan siswa yang kurang pandai/kurang mampu Serta tidak memuji secara berlebihan terhadap siswa yang pandai di hadapan siswa yang kurang pandai.
HAMBATAN-HAMBATAN
Banyak hambatan yang dihadapi seorang guru untuk menjadi guru yang baik. Beberapa hambatan tersebut diantaranya adalah:
1. Gaji yang terlalu pas-pasan bahkan mungkin kurang. Gaji yang pas-pasan memaksa seorang guru untuk mencari nafkah tambahan seusai jam kerja. Hal ini mengakibatkan tidak memiliki kesempatan untuk membuat persiapan mengajar dengan membaca ulang materi pelajaran yang akan diajarkan besok hari. Hal ini dapat mengurangi kesiapan dan penampilan di muka kelas.
2. Tugas-tugas administrasi yang memberatkan. Sejak diberlakukannya kurikulum 1984, banyak tugas-tugas administrasi yang harus dikerjakan seorang guru yang tujuannya untuk meningkatkan profesionalitas seorang guru. Ternyata tugas-tugas ini menjadi beban yang cukup berat dan hampir tidak ada manfaatnya untuk menambah penampilan dan kesiapan seorang guru di muka kaelas. Sebagian besar tugas administrasi dibuat dengan setengah terpaksa hanya untuk menyenangkan hati atasan. Sebagai contoh, seorang guru diwajibkan membuat Program Satuan Pelajaran (PSP), Analisis Materi Pelajaran (AMP) dan Rencana Pengajaran (RP), yang memaksa guru menuliskan uraian yang sama pada tugas pertama dan ditulis ulang pada tugas kedua dan tugas ketiga. Semuanya ini tidak pernah dipakai untuk meringankan beban mengajar di kelas karena tugas-tugas tersebut tidak pernaha dibaca lagi pada waktu akan/dan sedang mengajar. Seorang guru lebih suka membuka dan membaca buku pegangan mengajar daripada membawa Program Satuan Mengajar, Analisis Materi Pelajaran ataupun Rencana Pengajaran. Tugas-tugas ini memang sangat berguna bagi seorang calon guru. Tapi bagi guru yang sudah mengajar lebih dari tiga tahun , tugas ini hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia (dikerjakan, lalu disimpan dalam lemari dan baru akan diperlihatkan jika "sedang sial" dapat kebagian pengawas), yang akhirnya masuk keranjang sampah dan ….Tahun berikutnya dia harus menulis ulang pekerjaan yang sia-sia itu.
Belakangan ini beberapa sekolah yang baik dan dapat dikatakan sudah sangat berhasil tampil sebagai sekolah yang baik, sedang berusaha meningkatkan profesionalitas guru-gurunya yakni dengan memberi tugas tambahan kepada guru-guru untuk menganalisa setiap soal yang diberikan pada setiap kali ulangan. Dari hal tersebut diharapkan guru-guru pada suatu saat menjadi analisator soal yang baik, yang dapat membuat soal super sempurna dan valid jika diberikan kepada setiaap obyek yang di tes. Mungkin perancang ide ini adalah orang yang tidak pernah menjadi guru atau memang bukan guru atau orang yang sengaja memberikan kesibukansedemikan berat bagi guru agar guru tidak memikirkan kenaikan gaji yang terasa sangat pas-pasan. Untuk menganalisa soal diperlukan waktu kira-kira dua puluh lima kali waktu yang diperlukan untuk mengoreksi soal tes. Jika seorang guru mengajar 15 (lima belas) kelas, setiap kelas berisi 40 siswa dan untuk mengoreksi tes setiap siswa diperlukan waktu 5 menit (untuk tes esey) maka setiap kali ulangan seoarang guru memerlukan waktu untuk mengoreksi selama 15 X 40 X 5 menit = 3000 menit atau 50 jam. Jika harus menganalisa soal tes yang diberikan, diperlukan waktu 25 X 50 jam = 1250 jam. Dengan banyaknya waktu yang harus dihabiskan untuk melakukan tugas-tugas ini, kapan seorang guru mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri agar dapat tampil prima di muka kelas? Kapan guru bisa mengajar dengan baik? Oleh karena itu jangan salahkan guru kalau prestasi siswa menurun. Pengalaman sia-sia ini pernah dialami penulis ketika Profesor Daud Yusuf menjadi menteri P & K yang pada masa jabatannya beliau menetapkan perpanjangan waktu belajar selama satu semester. Pada waktu itu beliau mengintruksikan agar guru-guru melakukan "DIAGNOSTIK TES". Pekerjaan ini betul-betul sangat mengasyikkan, sampai anak dan istri dilibatkan dalam pekerjaan besar ini. Lalu hasilnya … masuk keranjang sampah dan tidak ada kelanjutannya. Hasilnya NOL besar.
Lalu apakah ada manfaatnya soal tersebut dianalisa? Jawabnya T I D A K. Mengapa tidak. Soal yang sudah diberikan pada siswa dan sudah dianalisa dan valid, apakah mungkin dipakai lagi untuk tes yang akan datang, jawabnya juga T I D A K, mengapa? Soal yang sudah pernah dikeluarkan, jika dikeluarkan lagi untuk tes berikutnya pasti BOCOR, karena siswa berikutnya pasti sudah mempelajari soal tersebut. Tidak hanya itu. Pada analisa suatu soal untuk kelompok tes siswa A akan berbeda hasilnya dengan kelompok siswa B. Sekumpulan soal yang diberikan pada siswa sekolah A, valid, tetapi jika diberikan pada sekolah B tidak valid atau sebaliknya. Jika ditemukan hal seprti ini, apakah soal ini valid atau tidak? Contoh nyata soal EBTANAS misalnya, untuk sekolah tertentu nilainya sangat baik (katakanlah rata-rata 9), tapi untuk sekolah yang lain nilainya sangat buruk (katakanlah rata-rata 4), bagaimana validitas soal EBTANAS tersebut?, tolonglah dipikirkan. Valid tidaknya suatu soal sangat ditentukan oleh kondisi siswa dan keadaaan serta kesiapan siswa menghadapi tes. Menurut hemat saya yang paling baik adalah membahas soal-soal tes setelah diujikan, beberapa saat setelah diujikan. Di sini akan diketahui apakah soal yang disajikan itu baik atau tidak untuk kelompok tes itu.
Menganalisa soal sebaiknya dilakukan oleh suatu tim analisator yang tugasnya memang mmenganalisa soal, bukan oleh seorang guru yang mengajar si kelas yang tugasnya sudah segudang. Soal-soal yang dianalisa, bukan hanya untuk porsi ulangan rutin sehari-hari namun juga utnuk tes yang sifatny masal untuk tujuan-tujuan tertentu.
JALAN KELUAR
1. Gaji yang memadai. Perlu ditata ulang sistem penggajian guru agar gaji yang diterimanya setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan hidup diriny dan keluarganya dan pendidikan putra-putrinya. Dengan penghasilan yang mencukupi, tidak perlu guru bersusah payah untuk mencari nafkah tambahan di luar jam kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta khawatirakan pendidikan putra-putrinya. Guru mempunyai waktu yang cukup untukmempersiapkan diri tampil prima di depan kelas. Jika mungkin, seorang guru dapat meningkatkan profesinya dengan menulis buku materi pelajaran yang dapat dipergunakan diri sendiri untuk mengajar dan membantu guru-guru lain yang belum mencapai tingkatnya. Hal ini dapat lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya. Jika anak didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih berhasil.
2. Kurangi beban guru dari tugas-tugas administrasi yang sangat menyita waktu. Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang guru, dibuat oleh suatu tim di Depdikbud atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar dalam mengajar dan membantu guru-guru prmula untuk mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru.
3. Pelatihan dan sarana. Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Beri kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya.
Mudah-mudahan di masa depan nasib guru akan lebih baik, lebih dihormati dan lebih diminati anak bangsa.
*) Sura J. Kitti adalah Guru SMUK 1 BPK PENABUR KPS Jakarta

Sumber: BPK Penabur
Kemantapan Diri dan Kompetensi Mengajar

Oleh: Asep Sapa'at
ISU kontroversial tentang standardisasi nilai ujian akhir nasional (UAN) telah menjadi santapan hangat publik dalam beberapa pekan ini. Semua pihak memunyai pandangan sendiri. Tak terkecuali penulis, yang menilai masalah ini sebagai sebuah benturan kebijakan dalam tataran praktis pendidikan, tepatnya kebijakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang berorientasi kepada pengembangan kompetensi dan penilaian prestasi siswa secara komprehensif, yang berbenturan dengan SK Mendiknas yang terkesan hanya menyoroti proses evaluasi terhadap potensi kognitif siswa saja.
Tulisan ini sengaja penulis sampaikan sebagai sebuah wacana dan dalam kesempatan ini penulis tidak begitu tertarik untuk membahas kontroversi di balik kebijakan Mendiknas, tetapi penulis berusaha mengurai makna penting mengenai kemantapan diri dan kompetensi mengajar yang harus dimiliki guru.
Selama ini guru selalu dikebiri dengan kebijakan-kebijakan yang terkesan spontan, dramatis, dan perlu penyesuaian diri yang sangat cepat. Di sisi lain guru menanggung beban yang sangat berat dengan banyak agenda untuk menciptakan kualitas lulusan yang kritis, cerdas, terbuka, produktif dan berakhlak mulia seperti yang diamanatkan oleh berbagai tuntutan, baik dari pemerintah maupun stakeholders pendidikan lainnya. Yang lebih parah lagi, pengembangan diri dan kompetensi dalam konteks pelaksanaan tugas profesinya sangat terbatas.
Sebuah asumsi yang didukung oleh suatu penelitian telah menyatakan adanya korelasi yang signifikan antara tingkah laku dosen dengan persepsi mahasiswa terhadap prestasinya (Kozma, Belle, dan Williams, 1978, dalam Jacob, 2002, h.2).
Jadi, pada dasarnya prestasi subjek didik sangat dipengaruhi oleh kompetensi pengajarnya. Dalam konteks ini perlu dipahami dua definisi penting mengenai sebuah kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu: (1) kompetensi guru adalah himpunan pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan yang dimiliki seorang guru dan ditampilkan untuk situasi mengajar (Anderson, 1989, dalam Jacob, 2002, h.2); (2) kompetensi mengajar adalah tingkah laku pengajar yang dapat diamati (Cruickshank, 1985, dalam Jacob, 2002, h.2).
Sebuah kenyataan yang tidak dapat dimungkiri lagi bahwa profil kompetensi guru sangat berpengaruh besar terhadap prestasi siswa. Guru yang tidak menguasai bahan ajar, tidak menguasai landasan-landasan kependidikan, tidak menguasai psikologi belajar siswa, dan kompetensi lainnya sudah tidak dapat diandalkan lagi dalam konteks pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang yang profesional.
Masalah masih terus berlanjut ketika guru harus menerjemahkan setiap kebijakan yang muncul di luar dugaan. Konsep KBK menuntut guru mesti bersifat fleksibel dan mengubah paradigma pembelajaran yang selama ini sudah mengakar. Selanjutnya disusul oleh kebijakan Mendiknas tentang standardisasi nilai UAN yang mesti menguras pikiran guru dalam membuat strategi pembelajaran baru untuk menyelamatkan siswanya dari bencana ketidaklulusan. Seberapa siapkah guru menghadapi kenyataan ini?
Sungguh berat memang apa yang menimpa guru kita untuk saat ini. Keluh kesah apalagi sikap apatis terhadap setiap perubahan kebijakan tidak akan memberikan pengaruh yang positif dalam menunaikan tugas mulianya. Kemantapan diri, dua kata yang sengaja penulis undang untuk hadir dalam tulisan ini. Bandura (1986) telah memberikan batasan definisi untuk kemantapan diri, yaitu suatu keputusan dari salah satu kemampuan untuk melakukan suatu tugas dalam suatu domain khusus.
Studi yang dilakukan oleh Poole, Okeafor, dan Sloan (1989) dan Smylie (1988) (dalam Jacob, 2002, h.3) telah menemukan bahwa guru dengan kemantapan diri tinggi lebih memungkinkan untuk menggunakan materi kurikulum baru dan untuk mengubah strategi pembelajaran dibandingkan dengan guru berkemantapan diri rendah. Jelasnya, dunia pendidikan kita sangat merindukan hadirnya guru berkemantapan-diri tinggi yang selalu terpacu dalam mengembangkan kompetensi mengajarnya untuk kepentingan pengembangan kompetensi siswa yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap pembangunan bangsa.
Saat ini guru sudah tidak memiliki waktu lagi untuk sekadar berdiam diri dalam menyikapi setiap perubahan cepat yang terjadi di dunia pendidikan. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis melihat ada 4 hal penting yang dapat diusahakan oleh guru untuk membangun kemantapan diri sekaligus mengembangkan kompetensi diri dan kompetensi mengajarnya, di antaranya: (1) membangun kemantapan diri daripada mereduksi ekspektasi dengan terus melakukan regulasi diri yang relevan dengan pengembangan profesinya; (2) mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah (seminar, lokakarya, diskusi ilmiah, dsb) secara berkesinambungan dalam merespons secara aktif setiap isu-isu terbaru yang berkembang di dunia pendidikan; (3) mempelajari hasil-hasil penelitian dari berbagai literatur tentang kompetensi mengajarnya yang berhubungan dengan prestasi subjek didik; (4) sebagai hasil dari analisis tugas mengajar pada tingkat dan kurikulum yang berbeda.
Sungguh guru tidak memiliki banyak pilihan lain untuk bersikap dalam situasi sekarang ini, kecuali terus berpacu meningkatkan kualitas personalnya. Pastikan karya terbaik Anda dapat mengubah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Namun, bagaimana kalau pembuat kebijakan dan stakeholders pendidikan lainnya bersikap acuh tak acuh? Sudah dapat dipastikan badai pendidikan Indonesia takkan pasti berlalu.***
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumber: Pikiran Rakyat Cybermedia


Seputar UNAS UAN Menjadikan Arah Pendidikan SMA Menjadi Bias, Tetapi Masih Diperlukan Pada masa reformasi penyelenggaraan UAN dianggap semacam ritual yang mubasir. Karena bertekad melaksanakan UAN, Pemerintah selayaknya menuai kritikan tajam. Banyak mudarat dari UAN tetapi untuk pengendalian mutu masih tetap diperlukan. Sudah barang tentu dengan formula perubahan wacana yang mendasar. Keputusan Pemerintah untuk tetap mengadakan Ujian Nasional langsung mendapat tanggapan kontra dari salah seorang anggota dewan dari Komisi X dan Koordinator Koalisi Pendidikan ( Kompas, 20/1/2004). Mereka memberikan argumen yang berlainan terhadap kebijakan Pemerintah namun tidak memberikan solusi atas sikap pemerintah bagaimana mengendalikan mutu pendidikan. Sementara Pemerintah memandang bahwa UAN masih sangat diperlukan sebagai alat kontrol mutu pendidikan karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas. Pada awal standard kelulusan dicanangkan pada angka 3,01 untuk tahun ajaran 2002/2003, Pemerintah tidak mendapat tanggapan kontra. Hal demikian bisa dipahami bahwa standar 3,01 dimungkinkan masih bisa diraih oleh hampir semua siswa. Tetapi pada tahun berikutnya dengan terbitnya keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional dengan standar 4,01 muncullah berbagai pendapat kontra dan kritikan tajam. Dan demonstrasi menentang keputusan Mendiknas pun tak terelakkan. Asumsi yang mendasari kesemuanya itu pada umumnya adalah kekhawatiran banyaknya siswa yang akan tidak lulus, bila bercermin pada perolehan hasil ujian nasional pada tahun 2002/2003. Standar UAN yang sekarang dipatok dengan angka 4,25 sebetulnya tidak matching dengan kurikulum 1994 yang berlaku. Angka tersebut masih jauh berada di bawah standar kenaikan kelas, yaitu 6,00. Logikanya standar UAN yang diberlakukan sekarang tidak perlu diributkan. Kalau kita sudah terbiasa dengan dengan angka 6,00 mengapa harus takut dengan angka 4,01 dan 4,25? Simpulannya tentu ada yang tidak beres dengan sekolah kita. Di sini kita semua harus introspeksi seperti apakah sekolah kita ini?. Tanpa diragukan semua akan mengatakan sekolah kita mutunya rendah. Biang kenaikan standar kelulusan UAN adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus seratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari prosentase kelulusannya. Sehingga sekolah berusaha meluluskan semua siswanya tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Maka terjadilah manipulasi nilai yang mencengangkan karena rentang nilai ujian nasional dengan ujian sekolah terlalu lebar. Kondisi tersebut harus segera diperbaiki dengan kebijakan yang merangsang motivasi untuk berkompetisi antarsiswa maupun antarguru (Indra Jati Sidi, Kompas : 3/3/04). Problematika Sekitar UAN Tetapi penyelenggaraan UAN yang dimaksudkan untuk pemetaan dan memperbaiki mutu pendidikan sulit dipertanggungjawabkan karena cakupan mata pelajaran (mapel) yang diujikan hanya tiga mata pelajaran untuk setiap jurusan. Adapun untuk SMA jurusan IPA terdiri atas Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika sedangkan untuk IPS yaitu Bahasa dan sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Ekonomi. Bahkan bisa dikatakan dengan adanya UAN arah pendidikan menjadi bias. Fakta di lapangan menunjukkan banyak sekolah yang mengkonsentrasikan diri hanya pada mapel UAN. Semua sekolah menyiapkan diri menyambut UAN dengan mengadakan pengayaan untuk mapel UAN pada sore hari. Keadaan tersebut tidak menguntungkan bagi pengembangan sains karena UAN tidak memasukkan mapel sains seperti Fisika, kimia dan Biologi. Ketiadaan hubungan antara mapel sains dengan UAN menyebabkan sekolah lebih memilih mengabaikan keberadaan ketiga mapel tersebut. Kecenderungan demikian didukung oleh anggapan bahwa mutu sekolah seolah-olah ditentukan oleh mapel UAN. Sedangkan masalah penilaiann mapel sains yang diserahkan kepada sekolah gampang diatur. Konskuensi logis terhadap guru sains, secara psikologis merasa dimarjinalkan. Pengaruhnya terhadap proses pembelajaran sangat besar karena guru merasa tidak ada tuntutan akuntabilitas. Tidak ada dukungan motif yang kuat untuk apa sains diajarkan, kecuali hanya sekedar untuk mengisi jadwal kelas. Masalah nilai bisa diatur. Kondisi demikian diperparah oleh perilaku permisif oleh semua warga sekolah lantaran orientasi sekolah pada target kelulusan siswa. Jargon penilaian "gampang diatur" menjerumuskan sekolah dengan laporan-laporan palsu kepada masyarakat. Sekolah sebagai pemegang otoritas kelulusan lebih memilih resiko minimal terhadap masyarakat. Strategi yang digunakan adalah menyiapkan nilai mapel yang tidak di-UAN-kan di atas ambang nilai 4,25. Dengan demikian kelulusan siswa hanya tergantung dari mapel UAN, dan sekolah tidak merasa punya beban. Pengaruh mapel UAN menjerumuskan arah karier hidup siswa. Anggapan yang berkembang mapel UAN merupakan doktrin terpenting bagi siswa. Bila ada salah satu mapel yang gagal ibarat hidup sudah gagal. Padahal siswa berkembang dengan potensi yang dimilikinya, dan memilih jalan hidup sesusai dengan potensinya. Untuk apa belajar ekonomi sampai puyeng, kalau siswa mencintai seni atau untuk apa belajar bahasa Indonesia setengah mati kalau siswa lebih tertarik menjadi olahragawan dari pada Linguist. Toh dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang ia kuasai ia bisa berkomunikasi melalang ke seluruh penjuru Nusantara. Dan hasil UAN tidak bermanfaat bagi siswa SMA yang punya minat ke Perguruan Tinggi. Tampak tidak adanya kontinyuitas antara SMA dan perguruan tinggi, mengapa harus mengikuti seleksi lagi untuk mapel yang sama. Nota bene naskah mapel yang dibuat para ahli berdasarkan standar nasional, jadi bukan karena scope pelaksanaan yang bersamaan secara nasional. Bila memang sudah berstandar nasional tentunya tidak perlu lagi adanya seleksi untuk mapel yang sama agar tidak terjadi inefisiensi. Ironis memang, nilai cost yang dikeluarkan begitu tinggi sama sekali kurang bermanfaat, hanya sekedar bahan pertimbangan kelulusan. Masuk akal juga bila ada sementara pihak yang menyebut UAN bernuansa proyek. Pelaksanaan UAN Dana ratusan milyard rupiah untuk penyelenggaraan UAN bisa diminimal-kan dengan cara desentralisasi. Contoh simpel dan konkrit yang menyangkut UAN adalah dana penggandaan naskah dan koreksi lembar jawab. Pengelolaan kedua hal tersebut bisa diserahkan kepada sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan Pemerintah Pusat hanya menyediakan master soal dalam bentuk disket sedangkan untuk pencetakannya dilakukan oleh sekolah dengan subsidi dari pemerintah. Kemudian untuk koreksi lembar jawab tidak perlu dilakukan terpusat di Propinsi, karena sebetulnya sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten pun mampu melaksanakan tugas tersebut. Baru dari dua poin itu saja sudah bisa dilakukan efisiensi jutaan rupiah. Agar UAN berfungsi seperti yang diharapkan oleh pemerintah sebagai pengendali mutu yang bermuara pada pengembangan SDM Indonesia, hendaknya UAN punya ruh yang mampu memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antar siswa, serta guru-gurunya. Bagi siswa jurusan IPA, mapel UAN seolah tidak menyentuh esensi apa yang selama ini dipelajari. Ciri khas jurusan yang menjadi kebanggaanya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi, tak begitu bermakna bila dibanding dengan mapel UAN. Makna mengapa siswa mengambil jurusan IPA merupakan pilihan azasi yang berkait dengan pilihan hidup. Untuk itu UAN harus bisa dimaknai oleh siswa. Dengan demikian ada salah satu alasan bagi siswa mengapa harus berpacu belajar sains. UAN Diperlukan Pengalaman menarik di sekolah, ditemukan bahwa ada seorang siswa hanya lulus pada UAN ulangan tidak lulus pada UAN utama, tetapi ia berhasil diterima masuk di perguruan tinggi (PT) melalui jalur PMDK. Setelah beberapa semester sekolah mengecek keberadaan mahasiswa tersebut apakah kena DO atau tidak, tetapi malah mengherankan bahwa mahasiswa tersebut punya indek prestasi yang bagus. Lalu apa kaitannya dengan UAN? Bila UAN dengan mapel yang sekarang diujikan, sebaiknya sistem tidak lulus ditiadakan karena hanya menghambat karier siswa. Hasil UAN tidak perlu dijadikan tolok ukur kelulusan sekolah tetapi dijadikan acuan indeks peringkat sekolah. Sehingga tidak diperlukan batas ambang, berapapun hasil UAN yang ada ditulis pada ijazah. Namun hanya dengan tiga mapel, hasil UAN tidak valid untuk menggambarkan prestasi sebuah sekolah. Pengertian yang dimaksud dengan sistem tidak lulus ditiadakan adalah berapapun nilai UAN yang diperoleh oleh siswa, tidak mempengaruhi siswa untuk tidak lulus. Tetapi bila hal ini diterapkan, tentunya sistem tidak naik kelas juga tidak ada. Sehingga yang ada adalah siswa naik kelas dan lulus. Pengaruhnya terhadap siswa, memungkinkan ia mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Karena sejak awal ia sudah punya pilihan mapel sesuai dengan potensi dirinya, dan tentunya ia dengan senang hati mempelajari mapel tersebut secara sungguh-sungguh. Dampak negatifnya akan ada mapel yang diabaikan, sehingga nilainya sangat rendah. Tetapi ke depan ia akan menjadi seorang spesialis yang professional bukan generalis yang canggung. Sebaliknya dengan adanya UAN sebagai pertimbangan kelulusan, siswa suka atau tidak suka, mendapat manfaat atau tidak bagi kehidupannya kelak, siswa terpaksa belajar karena takut gagal, menghambat karier hidupnya. Siwa tidak punya pilihan lain untuk belajar sesuai dengan potensi yang dimiliki. UAN sebagai alat kontrol sekolah pada era otonomi masih diperlukan sepanjang tidak digunakan sebagai penentu kelulusan namun berfungsi layaknya instrumen penelitian. Tetapi mapel UAN diperluas. Dari data yang diperoleh bisa digunakan sebagai bahan rekomendasi terhadap Depdiknas dalam pengambilan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan mutu. Dari hasil tersebut bisa juga diperoleh peringkat kedudukan sekolah yang satu dengan yang lain. Akibatnya sekolah secara moral tetap terikat komitmen pada standar baku yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Dan kekhawatiran terjadinya rentang mutu sekolah yang jauh antara satu dengan yang lain bisa dihindari. Sekaligus melindungi hak guru sebagai pemegang otoritas evaluasi seperti tercantum pada pasal 58 UU Sisdiknas. Alasan lain UAN tetap diperlukan adalah sebagai alat seleksi ke PT, oleh sebab itu bukan sebagai bahan pertimbangan kelulusan. Namun dengan tiga mapel UAN tersebut tidaklah representatif, harus ditambah sesuai dengan kebutuhan di PT. Dan sudah barang tentu tidak semua siswa melanjutkan ke ke PT, konskuesinya juga tidak semua siswa mengikuti UAN. Karena menyangkut dengan institusi lain, koordinasi antara Departemen Pendidikan dan PT diperlukan. Saya sependapat dengan wacana tentang Ujian Akhir Nasional perlu dibuat standarisasi pendidikan. (Kompas, 16/3/2003). Diasumsikan pengaruhnya terhadap sekolah akan sangat besar, yaitu adanya persaingan antar sekolah. Mereka akan berpacu menggenjot siswanya belajar semaksimal mungkin dengan harapan untuk mendapatkan peringkat atas. Namun hal ini pun juga tidak punya makna bila kecurangan-kecurangan tetap muncul di sekolah (kompas, 29/1/2005). Dan ini bukan sebuah dilemma tetapi sebuah persoalan yang menarik untuk selalu dicermati. UAN sebagai alat pengendali mutu sulit diterima keabsahannya. Desain formula UAN diperlukan yang memungkinkan mampu mewadahi berbagai kepentingan. Dan UAN tetap diperlukan dengan berbagai prasarat yang menyertainya.

Seputar UNAS UAN Menjadikan Arah Pendidikan SMA Menjadi Bias, Tetapi Masih Diperlukan Pada masa reformasi penyelenggaraan UAN dianggap semacam ritual yang mubasir. Karena bertekad melaksanakan UAN, Pemerintah selayaknya menuai kritikan tajam. Banyak mudarat dari UAN tetapi untuk pengendalian mutu masih tetap diperlukan. Sudah barang tentu dengan formula perubahan wacana yang mendasar. Keputusan Pemerintah untuk tetap mengadakan Ujian Nasional langsung mendapat tanggapan kontra dari salah seorang anggota dewan dari Komisi X dan Koordinator Koalisi Pendidikan ( Kompas, 20/1/2004). Mereka memberikan argumen yang berlainan terhadap kebijakan Pemerintah namun tidak memberikan solusi atas sikap pemerintah bagaimana mengendalikan mutu pendidikan. Sementara Pemerintah memandang bahwa UAN masih sangat diperlukan sebagai alat kontrol mutu pendidikan karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas. Pada awal standard kelulusan dicanangkan pada angka 3,01 untuk tahun ajaran 2002/2003, Pemerintah tidak mendapat tanggapan kontra. Hal demikian bisa dipahami bahwa standar 3,01 dimungkinkan masih bisa diraih oleh hampir semua siswa. Tetapi pada tahun berikutnya dengan terbitnya keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional dengan standar 4,01 muncullah berbagai pendapat kontra dan kritikan tajam. Dan demonstrasi menentang keputusan Mendiknas pun tak terelakkan. Asumsi yang mendasari kesemuanya itu pada umumnya adalah kekhawatiran banyaknya siswa yang akan tidak lulus, bila bercermin pada perolehan hasil ujian nasional pada tahun 2002/2003. Standar UAN yang sekarang dipatok dengan angka 4,25 sebetulnya tidak matching dengan kurikulum 1994 yang berlaku. Angka tersebut masih jauh berada di bawah standar kenaikan kelas, yaitu 6,00. Logikanya standar UAN yang diberlakukan sekarang tidak perlu diributkan. Kalau kita sudah terbiasa dengan dengan angka 6,00 mengapa harus takut dengan angka 4,01 dan 4,25? Simpulannya tentu ada yang tidak beres dengan sekolah kita. Di sini kita semua harus introspeksi seperti apakah sekolah kita ini?. Tanpa diragukan semua akan mengatakan sekolah kita mutunya rendah. Biang kenaikan standar kelulusan UAN adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus seratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari prosentase kelulusannya. Sehingga sekolah berusaha meluluskan semua siswanya tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Maka terjadilah manipulasi nilai yang mencengangkan karena rentang nilai ujian nasional dengan ujian sekolah terlalu lebar. Kondisi tersebut harus segera diperbaiki dengan kebijakan yang merangsang motivasi untuk berkompetisi antarsiswa maupun antarguru (Indra Jati Sidi, Kompas : 3/3/04). Problematika Sekitar UAN Tetapi penyelenggaraan UAN yang dimaksudkan untuk pemetaan dan memperbaiki mutu pendidikan sulit dipertanggungjawabkan karena cakupan mata pelajaran (mapel) yang diujikan hanya tiga mata pelajaran untuk setiap jurusan. Adapun untuk SMA jurusan IPA terdiri atas Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika sedangkan untuk IPS yaitu Bahasa dan sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Ekonomi. Bahkan bisa dikatakan dengan adanya UAN arah pendidikan menjadi bias. Fakta di lapangan menunjukkan banyak sekolah yang mengkonsentrasikan diri hanya pada mapel UAN. Semua sekolah menyiapkan diri menyambut UAN dengan mengadakan pengayaan untuk mapel UAN pada sore hari. Keadaan tersebut tidak menguntungkan bagi pengembangan sains karena UAN tidak memasukkan mapel sains seperti Fisika, kimia dan Biologi. Ketiadaan hubungan antara mapel sains dengan UAN menyebabkan sekolah lebih memilih mengabaikan keberadaan ketiga mapel tersebut. Kecenderungan demikian didukung oleh anggapan bahwa mutu sekolah seolah-olah ditentukan oleh mapel UAN. Sedangkan masalah penilaiann mapel sains yang diserahkan kepada sekolah gampang diatur. Konskuensi logis terhadap guru sains, secara psikologis merasa dimarjinalkan. Pengaruhnya terhadap proses pembelajaran sangat besar karena guru merasa tidak ada tuntutan akuntabilitas. Tidak ada dukungan motif yang kuat untuk apa sains diajarkan, kecuali hanya sekedar untuk mengisi jadwal kelas. Masalah nilai bisa diatur. Kondisi demikian diperparah oleh perilaku permisif oleh semua warga sekolah lantaran orientasi sekolah pada target kelulusan siswa. Jargon penilaian "gampang diatur" menjerumuskan sekolah dengan laporan-laporan palsu kepada masyarakat. Sekolah sebagai pemegang otoritas kelulusan lebih memilih resiko minimal terhadap masyarakat. Strategi yang digunakan adalah menyiapkan nilai mapel yang tidak di-UAN-kan di atas ambang nilai 4,25. Dengan demikian kelulusan siswa hanya tergantung dari mapel UAN, dan sekolah tidak merasa punya beban. Pengaruh mapel UAN menjerumuskan arah karier hidup siswa. Anggapan yang berkembang mapel UAN merupakan doktrin terpenting bagi siswa. Bila ada salah satu mapel yang gagal ibarat hidup sudah gagal. Padahal siswa berkembang dengan potensi yang dimilikinya, dan memilih jalan hidup sesusai dengan potensinya. Untuk apa belajar ekonomi sampai puyeng, kalau siswa mencintai seni atau untuk apa belajar bahasa Indonesia setengah mati kalau siswa lebih tertarik menjadi olahragawan dari pada Linguist. Toh dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang ia kuasai ia bisa berkomunikasi melalang ke seluruh penjuru Nusantara. Dan hasil UAN tidak bermanfaat bagi siswa SMA yang punya minat ke Perguruan Tinggi. Tampak tidak adanya kontinyuitas antara SMA dan perguruan tinggi, mengapa harus mengikuti seleksi lagi untuk mapel yang sama. Nota bene naskah mapel yang dibuat para ahli berdasarkan standar nasional, jadi bukan karena scope pelaksanaan yang bersamaan secara nasional. Bila memang sudah berstandar nasional tentunya tidak perlu lagi adanya seleksi untuk mapel yang sama agar tidak terjadi inefisiensi. Ironis memang, nilai cost yang dikeluarkan begitu tinggi sama sekali kurang bermanfaat, hanya sekedar bahan pertimbangan kelulusan. Masuk akal juga bila ada sementara pihak yang menyebut UAN bernuansa proyek. Pelaksanaan UAN Dana ratusan milyard rupiah untuk penyelenggaraan UAN bisa diminimal-kan dengan cara desentralisasi. Contoh simpel dan konkrit yang menyangkut UAN adalah dana penggandaan naskah dan koreksi lembar jawab. Pengelolaan kedua hal tersebut bisa diserahkan kepada sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan Pemerintah Pusat hanya menyediakan master soal dalam bentuk disket sedangkan untuk pencetakannya dilakukan oleh sekolah dengan subsidi dari pemerintah. Kemudian untuk koreksi lembar jawab tidak perlu dilakukan terpusat di Propinsi, karena sebetulnya sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten pun mampu melaksanakan tugas tersebut. Baru dari dua poin itu saja sudah bisa dilakukan efisiensi jutaan rupiah. Agar UAN berfungsi seperti yang diharapkan oleh pemerintah sebagai pengendali mutu yang bermuara pada pengembangan SDM Indonesia, hendaknya UAN punya ruh yang mampu memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antar siswa, serta guru-gurunya. Bagi siswa jurusan IPA, mapel UAN seolah tidak menyentuh esensi apa yang selama ini dipelajari. Ciri khas jurusan yang menjadi kebanggaanya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi, tak begitu bermakna bila dibanding dengan mapel UAN. Makna mengapa siswa mengambil jurusan IPA merupakan pilihan azasi yang berkait dengan pilihan hidup. Untuk itu UAN harus bisa dimaknai oleh siswa. Dengan demikian ada salah satu alasan bagi siswa mengapa harus berpacu belajar sains. UAN Diperlukan Pengalaman menarik di sekolah, ditemukan bahwa ada seorang siswa hanya lulus pada UAN ulangan tidak lulus pada UAN utama, tetapi ia berhasil diterima masuk di perguruan tinggi (PT) melalui jalur PMDK. Setelah beberapa semester sekolah mengecek keberadaan mahasiswa tersebut apakah kena DO atau tidak, tetapi malah mengherankan bahwa mahasiswa tersebut punya indek prestasi yang bagus. Lalu apa kaitannya dengan UAN? Bila UAN dengan mapel yang sekarang diujikan, sebaiknya sistem tidak lulus ditiadakan karena hanya menghambat karier siswa. Hasil UAN tidak perlu dijadikan tolok ukur kelulusan sekolah tetapi dijadikan acuan indeks peringkat sekolah. Sehingga tidak diperlukan batas ambang, berapapun hasil UAN yang ada ditulis pada ijazah. Namun hanya dengan tiga mapel, hasil UAN tidak valid untuk menggambarkan prestasi sebuah sekolah. Pengertian yang dimaksud dengan sistem tidak lulus ditiadakan adalah berapapun nilai UAN yang diperoleh oleh siswa, tidak mempengaruhi siswa untuk tidak lulus. Tetapi bila hal ini diterapkan, tentunya sistem tidak naik kelas juga tidak ada. Sehingga yang ada adalah siswa naik kelas dan lulus. Pengaruhnya terhadap siswa, memungkinkan ia mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Karena sejak awal ia sudah punya pilihan mapel sesuai dengan potensi dirinya, dan tentunya ia dengan senang hati mempelajari mapel tersebut secara sungguh-sungguh. Dampak negatifnya akan ada mapel yang diabaikan, sehingga nilainya sangat rendah. Tetapi ke depan ia akan menjadi seorang spesialis yang professional bukan generalis yang canggung. Sebaliknya dengan adanya UAN sebagai pertimbangan kelulusan, siswa suka atau tidak suka, mendapat manfaat atau tidak bagi kehidupannya kelak, siswa terpaksa belajar karena takut gagal, menghambat karier hidupnya. Siwa tidak punya pilihan lain untuk belajar sesuai dengan potensi yang dimiliki. UAN sebagai alat kontrol sekolah pada era otonomi masih diperlukan sepanjang tidak digunakan sebagai penentu kelulusan namun berfungsi layaknya instrumen penelitian. Tetapi mapel UAN diperluas. Dari data yang diperoleh bisa digunakan sebagai bahan rekomendasi terhadap Depdiknas dalam pengambilan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan mutu. Dari hasil tersebut bisa juga diperoleh peringkat kedudukan sekolah yang satu dengan yang lain. Akibatnya sekolah secara moral tetap terikat komitmen pada standar baku yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Dan kekhawatiran terjadinya rentang mutu sekolah yang jauh antara satu dengan yang lain bisa dihindari. Sekaligus melindungi hak guru sebagai pemegang otoritas evaluasi seperti tercantum pada pasal 58 UU Sisdiknas. Alasan lain UAN tetap diperlukan adalah sebagai alat seleksi ke PT, oleh sebab itu bukan sebagai bahan pertimbangan kelulusan. Namun dengan tiga mapel UAN tersebut tidaklah representatif, harus ditambah sesuai dengan kebutuhan di PT. Dan sudah barang tentu tidak semua siswa melanjutkan ke ke PT, konskuesinya juga tidak semua siswa mengikuti UAN. Karena menyangkut dengan institusi lain, koordinasi antara Departemen Pendidikan dan PT diperlukan. Saya sependapat dengan wacana tentang Ujian Akhir Nasional perlu dibuat standarisasi pendidikan. (Kompas, 16/3/2003). Diasumsikan pengaruhnya terhadap sekolah akan sangat besar, yaitu adanya persaingan antar sekolah. Mereka akan berpacu menggenjot siswanya belajar semaksimal mungkin dengan harapan untuk mendapatkan peringkat atas. Namun hal ini pun juga tidak punya makna bila kecurangan-kecurangan tetap muncul di sekolah (kompas, 29/1/2005). Dan ini bukan sebuah dilemma tetapi sebuah persoalan yang menarik untuk selalu dicermati. UAN sebagai alat pengendali mutu sulit diterima keabsahannya. Desain formula UAN diperlukan yang memungkinkan mampu mewadahi berbagai kepentingan. Dan UAN tetap diperlukan dengan berbagai prasarat yang menyertainya.
Seputar UNAS UAN Menjadikan Arah Pendidikan SMA Menjadi Bias, Tetapi Masih Diperlukan Pada masa reformasi penyelenggaraan UAN dianggap semacam ritual yang mubasir. Karena bertekad melaksanakan UAN, Pemerintah selayaknya menuai kritikan tajam. Banyak mudarat dari UAN tetapi untuk pengendalian mutu masih tetap diperlukan. Sudah barang tentu dengan formula perubahan wacana yang mendasar. Keputusan Pemerintah untuk tetap mengadakan Ujian Nasional langsung mendapat tanggapan kontra dari salah seorang anggota dewan dari Komisi X dan Koordinator Koalisi Pendidikan ( Kompas, 20/1/2004). Mereka memberikan argumen yang berlainan terhadap kebijakan Pemerintah namun tidak memberikan solusi atas sikap pemerintah bagaimana mengendalikan mutu pendidikan. Sementara Pemerintah memandang bahwa UAN masih sangat diperlukan sebagai alat kontrol mutu pendidikan karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas. Pada awal standard kelulusan dicanangkan pada angka 3,01 untuk tahun ajaran 2002/2003, Pemerintah tidak mendapat tanggapan kontra. Hal demikian bisa dipahami bahwa standar 3,01 dimungkinkan masih bisa diraih oleh hampir semua siswa. Tetapi pada tahun berikutnya dengan terbitnya keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional dengan standar 4,01 muncullah berbagai pendapat kontra dan kritikan tajam. Dan demonstrasi menentang keputusan Mendiknas pun tak terelakkan. Asumsi yang mendasari kesemuanya itu pada umumnya adalah kekhawatiran banyaknya siswa yang akan tidak lulus, bila bercermin pada perolehan hasil ujian nasional pada tahun 2002/2003. Standar UAN yang sekarang dipatok dengan angka 4,25 sebetulnya tidak matching dengan kurikulum 1994 yang berlaku. Angka tersebut masih jauh berada di bawah standar kenaikan kelas, yaitu 6,00. Logikanya standar UAN yang diberlakukan sekarang tidak perlu diributkan. Kalau kita sudah terbiasa dengan dengan angka 6,00 mengapa harus takut dengan angka 4,01 dan 4,25? Simpulannya tentu ada yang tidak beres dengan sekolah kita. Di sini kita semua harus introspeksi seperti apakah sekolah kita ini?. Tanpa diragukan semua akan mengatakan sekolah kita mutunya rendah. Biang kenaikan standar kelulusan UAN adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus seratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari prosentase kelulusannya. Sehingga sekolah berusaha meluluskan semua siswanya tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Maka terjadilah manipulasi nilai yang mencengangkan karena rentang nilai ujian nasional dengan ujian sekolah terlalu lebar. Kondisi tersebut harus segera diperbaiki dengan kebijakan yang merangsang motivasi untuk berkompetisi antarsiswa maupun antarguru (Indra Jati Sidi, Kompas : 3/3/04). Problematika Sekitar UAN Tetapi penyelenggaraan UAN yang dimaksudkan untuk pemetaan dan memperbaiki mutu pendidikan sulit dipertanggungjawabkan karena cakupan mata pelajaran (mapel) yang diujikan hanya tiga mata pelajaran untuk setiap jurusan. Adapun untuk SMA jurusan IPA terdiri atas Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika sedangkan untuk IPS yaitu Bahasa dan sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Ekonomi. Bahkan bisa dikatakan dengan adanya UAN arah pendidikan menjadi bias. Fakta di lapangan menunjukkan banyak sekolah yang mengkonsentrasikan diri hanya pada mapel UAN. Semua sekolah menyiapkan diri menyambut UAN dengan mengadakan pengayaan untuk mapel UAN pada sore hari. Keadaan tersebut tidak menguntungkan bagi pengembangan sains karena UAN tidak memasukkan mapel sains seperti Fisika, kimia dan Biologi. Ketiadaan hubungan antara mapel sains dengan UAN menyebabkan sekolah lebih memilih mengabaikan keberadaan ketiga mapel tersebut. Kecenderungan demikian didukung oleh anggapan bahwa mutu sekolah seolah-olah ditentukan oleh mapel UAN. Sedangkan masalah penilaiann mapel sains yang diserahkan kepada sekolah gampang diatur. Konskuensi logis terhadap guru sains, secara psikologis merasa dimarjinalkan. Pengaruhnya terhadap proses pembelajaran sangat besar karena guru merasa tidak ada tuntutan akuntabilitas. Tidak ada dukungan motif yang kuat untuk apa sains diajarkan, kecuali hanya sekedar untuk mengisi jadwal kelas. Masalah nilai bisa diatur. Kondisi demikian diperparah oleh perilaku permisif oleh semua warga sekolah lantaran orientasi sekolah pada target kelulusan siswa. Jargon penilaian "gampang diatur" menjerumuskan sekolah dengan laporan-laporan palsu kepada masyarakat. Sekolah sebagai pemegang otoritas kelulusan lebih memilih resiko minimal terhadap masyarakat. Strategi yang digunakan adalah menyiapkan nilai mapel yang tidak di-UAN-kan di atas ambang nilai 4,25. Dengan demikian kelulusan siswa hanya tergantung dari mapel UAN, dan sekolah tidak merasa punya beban. Pengaruh mapel UAN menjerumuskan arah karier hidup siswa. Anggapan yang berkembang mapel UAN merupakan doktrin terpenting bagi siswa. Bila ada salah satu mapel yang gagal ibarat hidup sudah gagal. Padahal siswa berkembang dengan potensi yang dimilikinya, dan memilih jalan hidup sesusai dengan potensinya. Untuk apa belajar ekonomi sampai puyeng, kalau siswa mencintai seni atau untuk apa belajar bahasa Indonesia setengah mati kalau siswa lebih tertarik menjadi olahragawan dari pada Linguist. Toh dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang ia kuasai ia bisa berkomunikasi melalang ke seluruh penjuru Nusantara. Dan hasil UAN tidak bermanfaat bagi siswa SMA yang punya minat ke Perguruan Tinggi. Tampak tidak adanya kontinyuitas antara SMA dan perguruan tinggi, mengapa harus mengikuti seleksi lagi untuk mapel yang sama. Nota bene naskah mapel yang dibuat para ahli berdasarkan standar nasional, jadi bukan karena scope pelaksanaan yang bersamaan secara nasional. Bila memang sudah berstandar nasional tentunya tidak perlu lagi adanya seleksi untuk mapel yang sama agar tidak terjadi inefisiensi. Ironis memang, nilai cost yang dikeluarkan begitu tinggi sama sekali kurang bermanfaat, hanya sekedar bahan pertimbangan kelulusan. Masuk akal juga bila ada sementara pihak yang menyebut UAN bernuansa proyek. Pelaksanaan UAN Dana ratusan milyard rupiah untuk penyelenggaraan UAN bisa diminimal-kan dengan cara desentralisasi. Contoh simpel dan konkrit yang menyangkut UAN adalah dana penggandaan naskah dan koreksi lembar jawab. Pengelolaan kedua hal tersebut bisa diserahkan kepada sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan Pemerintah Pusat hanya menyediakan master soal dalam bentuk disket sedangkan untuk pencetakannya dilakukan oleh sekolah dengan subsidi dari pemerintah. Kemudian untuk koreksi lembar jawab tidak perlu dilakukan terpusat di Propinsi, karena sebetulnya sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten pun mampu melaksanakan tugas tersebut. Baru dari dua poin itu saja sudah bisa dilakukan efisiensi jutaan rupiah. Agar UAN berfungsi seperti yang diharapkan oleh pemerintah sebagai pengendali mutu yang bermuara pada pengembangan SDM Indonesia, hendaknya UAN punya ruh yang mampu memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antar siswa, serta guru-gurunya. Bagi siswa jurusan IPA, mapel UAN seolah tidak menyentuh esensi apa yang selama ini dipelajari. Ciri khas jurusan yang menjadi kebanggaanya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi, tak begitu bermakna bila dibanding dengan mapel UAN. Makna mengapa siswa mengambil jurusan IPA merupakan pilihan azasi yang berkait dengan pilihan hidup. Untuk itu UAN harus bisa dimaknai oleh siswa. Dengan demikian ada salah satu alasan bagi siswa mengapa harus berpacu belajar sains. UAN Diperlukan Pengalaman menarik di sekolah, ditemukan bahwa ada seorang siswa hanya lulus pada UAN ulangan tidak lulus pada UAN utama, tetapi ia berhasil diterima masuk di perguruan tinggi (PT) melalui jalur PMDK. Setelah beberapa semester sekolah mengecek keberadaan mahasiswa tersebut apakah kena DO atau tidak, tetapi malah mengherankan bahwa mahasiswa tersebut punya indek prestasi yang bagus. Lalu apa kaitannya dengan UAN? Bila UAN dengan mapel yang sekarang diujikan, sebaiknya sistem tidak lulus ditiadakan karena hanya menghambat karier siswa. Hasil UAN tidak perlu dijadikan tolok ukur kelulusan sekolah tetapi dijadikan acuan indeks peringkat sekolah. Sehingga tidak diperlukan batas ambang, berapapun hasil UAN yang ada ditulis pada ijazah. Namun hanya dengan tiga mapel, hasil UAN tidak valid untuk menggambarkan prestasi sebuah sekolah. Pengertian yang dimaksud dengan sistem tidak lulus ditiadakan adalah berapapun nilai UAN yang diperoleh oleh siswa, tidak mempengaruhi siswa untuk tidak lulus. Tetapi bila hal ini diterapkan, tentunya sistem tidak naik kelas juga tidak ada. Sehingga yang ada adalah siswa naik kelas dan lulus. Pengaruhnya terhadap siswa, memungkinkan ia mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Karena sejak awal ia sudah punya pilihan mapel sesuai dengan potensi dirinya, dan tentunya ia dengan senang hati mempelajari mapel tersebut secara sungguh-sungguh. Dampak negatifnya akan ada mapel yang diabaikan, sehingga nilainya sangat rendah. Tetapi ke depan ia akan menjadi seorang spesialis yang professional bukan generalis yang canggung. Sebaliknya dengan adanya UAN sebagai pertimbangan kelulusan, siswa suka atau tidak suka, mendapat manfaat atau tidak bagi kehidupannya kelak, siswa terpaksa belajar karena takut gagal, menghambat karier hidupnya. Siwa tidak punya pilihan lain untuk belajar sesuai dengan potensi yang dimiliki. UAN sebagai alat kontrol sekolah pada era otonomi masih diperlukan sepanjang tidak digunakan sebagai penentu kelulusan namun berfungsi layaknya instrumen penelitian. Tetapi mapel UAN diperluas. Dari data yang diperoleh bisa digunakan sebagai bahan rekomendasi terhadap Depdiknas dalam pengambilan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan mutu. Dari hasil tersebut bisa juga diperoleh peringkat kedudukan sekolah yang satu dengan yang lain. Akibatnya sekolah secara moral tetap terikat komitmen pada standar baku yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Dan kekhawatiran terjadinya rentang mutu sekolah yang jauh antara satu dengan yang lain bisa dihindari. Sekaligus melindungi hak guru sebagai pemegang otoritas evaluasi seperti tercantum pada pasal 58 UU Sisdiknas. Alasan lain UAN tetap diperlukan adalah sebagai alat seleksi ke PT, oleh sebab itu bukan sebagai bahan pertimbangan kelulusan. Namun dengan tiga mapel UAN tersebut tidaklah representatif, harus ditambah sesuai dengan kebutuhan di PT. Dan sudah barang tentu tidak semua siswa melanjutkan ke ke PT, konskuesinya juga tidak semua siswa mengikuti UAN. Karena menyangkut dengan institusi lain, koordinasi antara Departemen Pendidikan dan PT diperlukan. Saya sependapat dengan wacana tentang Ujian Akhir Nasional perlu dibuat standarisasi pendidikan. (Kompas, 16/3/2003). Diasumsikan pengaruhnya terhadap sekolah akan sangat besar, yaitu adanya persaingan antar sekolah. Mereka akan berpacu menggenjot siswanya belajar semaksimal mungkin dengan harapan untuk mendapatkan peringkat atas. Namun hal ini pun juga tidak punya makna bila kecurangan-kecurangan tetap muncul di sekolah (kompas, 29/1/2005). Dan ini bukan sebuah dilemma tetapi sebuah persoalan yang menarik untuk selalu dicermati. UAN sebagai alat pengendali mutu sulit diterima keabsahannya. Desain formula UAN diperlukan yang memungkinkan mampu mewadahi berbagai kepentingan. Dan UAN tetap diperlukan dengan berbagai prasarat yang menyertainya.
Meningkatkan IQ Dan EI Melalui Matematika
Sumber : www.duniaguru.com,2006
Oleh: Sri Kurnia Dewi SPd(Guru SMU 2 Barabai - Banjarmasin)
Sistem pendidikan berubah lagi yaitu dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi. Sebenarnya secara materi/bahan tidak jauh berbeda. Yang membedakan dengan kurikulum terdahulu adalah cara atau metode pengajaran dan penekanan pada tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dengan kurikulum berbasis kompetensi anak didik sangat diharapkan memiliki kemampuan dasar yang termuat di dalamnya, juga memberikan wawasan yang luas, kuat serta mendasar pada anak didik, yang pada gilirannya mereka mampu mengembangkan pengetahuan dan penalaran mereka untuk menganalisa dan menyikapi situasi kondisi kehidupan yang mereka hadapi. Proses pendidikan sekarang tidak hanya bertujuan mempersiapkan anak didik untuk suatu pekerjaan tetapi jauh lebih luas yaitu memberikan kemampuan/kecerdasan, baik intelektual, emosional dan spiritual sehingga dapat menjadi pribadi sosial yang sukses dalam hidup. Dalam istilah umumnya membekali anak didik dengan life skill kemampuan untuk hidup.
Matematika sebagai salah satu komponen dari serangkaian mata pelajaran di sekolah mempunyai peranan penting. Matematika tidak hanya sebagai ilmu tetapi juga sebagai dasar logika penalaran dan penyelesaian kuantitatif yang dipergunakan dalam idang ilmu lain. Sehingga tidak heran matematika diberikan di hampir semua jenjang pendidikan bahkan termasuk dalam pelajaran yang diujikan secara nasional pada setiap akhir jenjang pendidikan.
Sebenarnya pun pada kurikulum terdahulu sudah termuat tujuan agar anak didik mempunyai pengetahuan mendasar yang dapat dikatakan sejalan dengan program kurikulum berbasis kopetensi dengan maksud membekali anak dengan life skill. Seperti pada kurikulum matematika SD (GBPP) yang menyebutkan tujuan khusus diberikannya matematika di sekolah dasar adalah:
a Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari hari.
b. Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika.
c. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut.
d. Membentuk sikap logis, kritis dan disiplin.
Matematika berbeda dengan ilmu lain, materi matematika bersifat hirarkis (berurutan dan berhubungan). Dalam mempelajarinya matematika harus kontinyu, rajin latihan dan disiplin. Seorang siswa sekolah Dasar yang menguasai matematika SD dengan baik dapat dengan mudah mencerna matematika SMP dan SMU atau sebaliknya, siswa Sekolah Dasar yang tidak menguasai dasar-dasar berhitung (matematika) SD akan banyak mengalami kesulitan dalam belajar matematika SMP dan SMU. Kelalaian mengusai dasar-dasar berhitung membuat orang mengalami kesulitan pada pelajaran selanjutnya.
Konsep Dasar
Penggalakan kualitas pendidikan matematika amat penting dimulai pada tingkat SD sebab disitulah dasar dari segalanya. Karena itu bagi guru SD sangat diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman konsep dasar matematika yang benar dan kuat pada anak didik. Kreatifitas guru dalam proses pendidikan sangat diperlukan di samping upaya-upaya menumbuhkan aspek intelektual, emosional dan spiritual harus tetap dilakukan dalam setiap pengajaran termasuk dalam pengajaran matematika. Hendaklah guru dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baik dalam proses pendidikan sehignga anak didik tumbuh minatnya dan termotivasi, jangan sampai anak didik beranggapan matematika itu menjemukan padahal yang lebih mereka tidak sukai adalah pengalaman mereka ketika mengikuti pelajaran matematika itu di sekolah daripada matematika itu sendiri.
Dalam mengajar sebuah konsep guru dapat mencari cara yang menarik agar anak didik berminat, bersemangat dan termotivasi dalam mempelajari matematika. Misalnya di SD yang sebagian besar materi matematikanya mencakup bilangan pecahan, dalam pelajaran ini guru dapat membuat permainan dalam kelompok dimana ada seorang ibu yang berusaha membagi sepotong kue (sejumlah uang) untuk ketiga anaknya sehingga setiap anak mendapat bagian yang sama. Atau dapat saja guru membuat skenario bahwa setiap anak diminta menyumbangkan seperempat (1/4) dari uangnya untuk saudara mereka yang sedang kena musibah banjir, merekapun menghitung berapa besarnya 1/4 dari uang mereka. Dengan demikian kita memberi pengalaman yang efektif pada mereka di samping mengasah intelektualnya (IQ), kita juga meningkatkan kecerdasan emosional (EI), mereka diajak berempati pada saudara saudara mereka yang sedang kena musibah, dan saling menolong itu memang kewajiban seorang muslim, diharapkan dengan begitu dapat mempertajam kecerdasan nilai spiritual mereka.
Pengembangan Kemampuan
Melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran matematika, anak didik diharapkan mengembangkan kemampuan untuk menemukan, memeriksa, menggunakan dan dapat membuat generalisasi, meskipun kita menyadari bahwa anak didik memerlukan waktu untuk menyelidiki lalu menemukan berbagai pola dan hubungan. Hal ini berarti pengembangan konsep, ketepatan istilah dan penggunaannya serta penekanan pada struktur matematika dan hubungannya antara pokok bahasan, harus diperhatikan dengan teliti oleh guru dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Mempersiapkan anak didik agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, krisis, cermat, kreatif, jujur dan efektif serta disiplin dengan, efektif serta disiplin, dengan kata lain mereka mempunyai kecerdasan inteletual, emosional dan spiritual. Harapan ini tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat, tetapi perlu waktu panjang dan terus menerus berksinambungan dalam suatu proses pendidikan yang dijalani dalam beberapa tahap/jenjang pendidikan.
Mengingat peran guru sangat penting dalam proses pendidikan dan perkembangan anak didik, maka kita sebagai guru juga perlu untuk terus meningkatkan wawasan pengetahuan melalui pelatihan, diskusi antar guru untuk saling berbagi pengalaman, dan rajin membaca untuk menambah wawasan. Selain itu juga perlu meningkatkan sikap cerdas baik intelektual, emosional dan spiritual, karena kita juga adalah pribadi sosial yang dihadapkan pada situasi kondisi kehidupan yang selalu berkembang di samping mempunyai tugas sebagai pendidik.
Sumber: Banjarmasin Post
Ilmu Matematika dan Perkembangannya

Oleh: DR. Anton Abdulbasah Kamil
SEJAK Peradaban manusia bermula, Matematika memainkan peranan yang sangat vital dalam kehidupan sehari hari. Berbagai bentuk simbol digunakan untuk membantu perhitungan, pengukuran, penilaian dan peramalan. Dari penemuan penemuan situs purbakala, para ahli arkeologi telah menemukan penggunaan sistem penjumlahan di Afrika, dan diperkirakan telah terwujud sejak 8.500 SM dengan menggunakan tulang sebagai alat perhitungan.
Sedangkan sistim Arab menggunakan simbol 0,1,2,�,9 yang merupakan dasar kepada pembentukan sistim perpuluhan yang digunakan sekarang. Perkataan algorithm merupakan perwujudan dari nama ahli matematika Arab, Al-Khowarismi pada akhir abad ke 8, yang telah memberi dimensi baru dalam metoda penyelesaian pada matematika kompleks secara numerik. Perkembangan peradaban matematika ini telah banyak mencetuskan pemikiran dan ide ide ke arah pelaksanaan peralatan modern, seperti komputer dan sistim komunikasi.
Walaupun peradaban manusia berubah dengan pesat, namun bidang matematika terus relevan dan menunjang kepada perubahan ini. Matematika merupakan subjek yang sangat penting di dalam sistim pendidikan di seluruh negara di dunia ini. Negara yang mengabaikan pendidikan matematika sebagai prioritas utama akan tertinggal dari segala bidang, dibanding dengan negara negara lainnya yang memberikan tempat bagi matematika sebagai subjek yang sangat penting. Seperti kita ketahui di negara kita, sejak sekolah dasar sampai universitas syarat penguasaan matematika jelas sangat dibutuhkan, terutama dalam bidang sains dan tehnik. Tidak tertutup juga untuk ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi yang memerlukan analisis kuantitatif untuk membantu membuat keputusan yang lebih akurat berdasarkan data. Pelajar pelajar yang mempunyai nilai yang baik dalam matematika, biasanya tidak akan mempunyai masalah apabila dia akan melanjutkan studi di perguruan tinggi, baik itu bidang sains, tehnik maupun sosial. Untuk bidang sains, tentulah Matematika dan Statistik adalah ratunya. Secara umumnya, sistim pendidikan tidak akan mantap jika pelajar pelajar di sekolah dan mahasiswa mahasiswa di perguruan tinggi lemah dalam menguasai ilmu matematika.
Status ahli Matematika zaman dahulu adalah tinggi dan selalu menjadi panutan masyarakat. Nama tokoh-tokoh seperti Al-Khowarismi, Al-Khasi, Euclid, Pascal, Leibnitz, Chebychev, Markov, merupakan sebagian dari deretan nama-nama yang diakui oleh masyarakat pada zamannya sampai sekarang. Ahli matematika mempunyai keahlian di berbagai bidang dan mudah untuk menangani dan melaksanakan tugas yang diberikan. Kita tidak sangsi bahwa sumbangan Matematika terhadap perkembangan Ilmu dan Teknologi sangat besar sekali. Boolean Aljabar untuk komputer berdigital modern, Splines untuk merubah bentuk 3 dimensi, Fuzzy untuk peralatan elektronik, metoda numerik untuk bidang tehnik, rantai markov untuk bidang finansial dan ekonomi adalah beberapa contoh penggunaan matematika dalam bidang ilmu dan teknologi.
Perkambangan
Bagaimana dengan perkembangan ilmu matematika di tanah air?, Departemen Pendidikan sudah tentu memberi penekanan yang serius terhadap pendidikan matematika di berbagai tingkat pendidikan, sejak Sekolah Dasar sampai Universitas. Walau bagaimanapun kecemerlangan dalam bidang matematika oleh sejumlah pelajar tidak abadi di dalam bidang tersebut, karena kebanyakan dari mereka akan memilih bidang lain yang lebih menjanjikan untuk masa depan mereka. Kebanyakan dari mereka yang memilih matematika pada waktu masuk universitas adalah sisa sisa.
Akhirnya dampak yang dihadapi adalah jumlah mahasiswa yang pandai dalam matematika terbatas, sehingga peremajaan guru-guru matematika yang pandai di sekolah dan dosen-dosen di perguruan tinggi sangat terbatas. Kemudian kurangnya kerjasama antara Industri dengan Jurusan Matematika di Universitas pun menjadi kendala yang serius, hal ini disebabkan salah satunya adalah kurangnya ahli Matematika dan Statistik yang bergelar Ph.D yang dapat menjelaskan dan memahami apa yang bidang Industri perlukan.
Semua ini berakibat kepada lulusan dari Jurusan Matematika dan Statistik itu sendiri yang tidak mampu bersaing untuk peluang pekerjaan di tanah air, karena pemahaman dan aplikasi matematika dalam alam pekerjaan belum memasyarakat sehingga belum difahami sepenuhnya oleh majikan. Di Republik Korea, Inggeris, bahkan dinegara-negara bekas komunis seperti Republic Ceko dan Hungaria, lulusan Matematika dan Statistik sangat mudah diterima di berbagai sektor pekerjaan, termasuk bidang tehnik, manajemen dan perbankan.
Di Republik Korea jurusan Matematika dan Statistik sudah jauh melibatkan diri dalam penelitian-penelitian BioMolecular dan Nano Technology yang merupakan ilmu yang akan populer di masa yang akan datang. Jauh jauh hari mereka sudah menjalin kerjasama dengan industri, sehingga para lulusan tidak perlu takut menganggur. Hampir semua universitas di Korea mempunyai jurusan Matematika dan Statistik dan merupakan bidang yang sangat populer dan disukai.
Republik Ceko pun menempatkan Matematika dan Statistik sebagai primadona, ini terlihat disetiap universitas, walaupun dia universitas ekonomi atau universitas tehnik, mereka tetap menempatkan fakultas Matematika dan Statistik dalam rangking teratas.
Tidak jauh dari negara kita, negara jiran Malaysia pun telah mempersiapkan diri, pakar-pakar matematikanya banyak terlibat dengan aktivitas Multimedia Super Corridor dan menjadi konsultan diberbagai industri, sehingga lulusan Matematika dan Statistik dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Hal ini juga dikarenakan pihak Industri dan Universitas sering melakukan penelitian bersama, sehingga pihak Industri mengerti betapa pentingnya Matematika dan Statistik untuk kemajuan usaha mereka.
Berdasarkan kajian diatas terlihat bahwa kesan yang jelas adalah negara kekurangan tokoh-tokoh matematika, selepas kepergian beberapa pionir seperti Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, Prof. Dr. P.A. Suryadi dan beberapa yang lainnya. Sekarang sangat kurang tokoh matematika kita yang bisa menembus arena Internasional. Jumlahnya malah jauh kalah oleh negara Bangladesh yang notabene ekonominya lebih miskin daripada negara kita. Dengan jumlah yang terbatas ini memaksa mereka untuk lebih berkonsentrasi di jurusan dan universitasnya masing-masing.
Dalam beberapa aspek, ahli matematika di tanah air juga perlu merenung terhadap kelemahan mereka sendiri. Jangan merasa puas di dalam kotak kita sendiri dan jarang mencoba untuk melihat perkembangan di luar. Pernahkah kita membantu industri, khususnya industri kecil? Apakah sumbangan kita terhadap kemajuan pendidikan Matematika di tanah air? Dapatkah kita membuat metode pengajaran Matematika yang inovatif dan menarik? dan lainnya, dimana semua ini bisa dilaksanakan dengan kekuatan ilmu matematika yang kita ada.
Penelitian
Di zaman yang amat kompetitif ini, kita perlu lebih proaktif dan bekerjasama. Keahlian kita perlu ditonjolkan dan kerjasama perlu diwujudkan dengan ilmuwan lainnya juga dengan pihak luar, khususnya dengan pihak industri. Kita harus pastikan bahwa bidang matematika itu penting, relevan dengan arah pembangunan negara kita. Untuk memperoleh pelajar yang bermutu di dalam bidang matematika ini, kita juga melihat permasalahan dalam kekuatan guru matematika di sekolah serta metoda pengajarannya. Kita harus pastikan bahwa mutu program matematika di universitas adalah baik , sehingga akan menghasilkan tenaga pendidik matematika tanah air yang berkualitas.
Untuk memajukan aktivitas R&D negara, tumpuan tidak seharusnya diberikan kepada penelitian terapan saja. Sejarah telah menunjukkan bahwa dalam semua ciptaan baru, semuanya bermula dari hipotesis, andaian, impian yang menggunakan kemampuan penelitian dasar, ataupun penelitian fundamental. Penelitian Matematika sudah tentu termasuk dalam golongan penelitian fundamental ini.
Di Jepang dan Korea, kebanyakan universitas terkemuka memberi tumpuan utama dalam penelitian fundamental ini dan biaya penelitian yang diperoleh adalah sangat besar. Sepatutnyalah pihak pemerintah sudah mulai memberi perhatian serius terhadap kepentingan penelitian dasar, mengingat Indonesia sangat kaya dengan sumber alam dan bisa dikelola oleh pakar-pakar ilmuwan Indonesia sendiri. Perlu juga diberikan perhatian kepada para peneliti tentang sikap dalam menggunakan biaya penelitian semata mata untuk keperluan penelitian itu sendiri bukannya semata mata untuk kepentingan pribadi.
Ini adalah satu kendala mengapa R&D negara kita kalah jauh oleh negara jiran Malaysia yang notabene masih banyak peneliti-peneliti yang jujur dan berdedikasi tinggi. Apabila komitmen ini oleh pihak pemerintah dilaksanakan, peneliti peneliti Matematika perlu mengambil peluang yang ada untuk meningkatkan lagi aktivitas penelitian masing-masing. Kita yakin bahwa dengan kemampuan yang ada dan fasilitas yang kondusif, pakar Matematika negara mampu bersaing di arena Internasional dan juga dapat meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa Matematika adalah suatu bidang yang penting dan relevan.
Langkah lain yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya Universitas melangkah lebih maju ke arah Research University, dimana pengambilan jumlah mahasiswa pascasarjana lebih tinggi dan hampir sama dengan jumlah mahasiswa S1. Dosen-dosennya mempunyai kelayakan yang tinggi dan mempunyai prestasi penelitian yang cemerlang, mampu memperoleh sponsor penelitian yang besar, menerbitkan karya penulisan yang bermutu dalam jurnal-jurnal internasional atau textbook, dan menjadi rujukan peneliti peneliti lain baik peneliti lokal maupun peneliti internasional. Jumlah pakar matematika yang bergelar PhD perlu ditingkatkan, kehadiran mengikuti seminar dan konferensi internasional, kerjasama dengan pakar Matematika dari luar Negeri, dan kegiatan PostDoctoral Research harus dijadikan agenda utama.
Akhirnya sebagai penutup marilah kita renungkan bersama sama, Adakah kita sanggup melihat bahwa ilmu yang amat berguna ini tidak dapat diapresiasikan oleh masyarakat di negara kita ini? Masihkah kita ingin mendengar rintihan pelajar, bahwa mata pelajaran matematika ini sangat membosankan dan membebankan? Sanggupkah kita melihat negara kita tidak mampu menghasilkan produk yang inovatif dan terkini, karena kurangnya input dari ahli matematika?. Kita perlu bekerjasama untuk meningkatkan ilmu matematika sebagai subjek pilihan dan relevan untuk kemajuan bangsa dan negara.***
Penulis adalah seorang ekonometrikawan, staf pengajar dan ketua program studi Matematika & Ekonomi, Universiti Sains Malaysia. Anggota International Society on Multiple Criteria Decision Making, International Federation of Operational Research Society dan Asian Academy of Applied Business.

Sumber: http://zaki.web.ugm.ac.id
Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan Dan Implikasinya Pada Pembelajaran Matematika

Oleh: Rusdy A. Siroj
Abstrak: Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar murid-murid belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi behavior memandang bahwa proses belajar terjadi melalui ikatan stimulus-respon, sedangkan psikologi gestalt berpendapat proses pemerolehan pengetahuan didapat dengan memandang sensasi secara keseluruhan sebagai suatu objek yang memiliki struktur atau pola-pola tertentu, dan ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.

Kata-kata kunci: Pengetahuan, Matematika, Behavior, Gestalt, Konstruktivis
1. Pendahuluan
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku. Kedua,
perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar. Dengan demikian, seseorang dikatakan belajar apabila setelah melakukan kegiatan belajar ia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu perubahan. Misalnya, ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, keterampilannya meningkat, sikapnya semakin positif, dan sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan tingkah laku tanpa usaha dan tanpa disadari bukanlah belajar.
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Hal ini berarti bahwa belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar —dalam makalah ini yang dimaksud adalah pengetahuan (Hudojo, 1990:2). Perolehan hasil belajar dapat dilihat, diukur, atau dirasakan oleh seseorang yang belajar atau orang lain, tetapi tidak demikian halnya dengan proses belajar bagi seseorang yang sedang belajar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah terjadinya proses belajar sehingga seseorang memperoleh pengetahuan?
Terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya sulit untuk diamati karena ia berlangsung di dalam mental. Namun demikian, kita dapat mengidentifikasi dari kegiatan yang dilakukannya selama belajar. Sehubungan dengan hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk mengguna-kan pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Misalnya Piaget (sebagai “bapak” psikologi kognitif), memandang bahwa pengetahuan terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi. Maksudnya, apabila pada seseorang diberikan suatu informasi (persepsi, konsep, dsb), dan informasi itu sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka informasi itu langsung berintegrasi (berasimilasi) dengan struktur kognitif yang sudah ada dan diperoleh pengetahuan baru. Sebaliknya, apabila informasi itu belum cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka struktur kognitif yang sudah ada direstrukturisasi sehingga terjadi penyesuaian (akomodasi) dan baru kemudian diperoleh pengetahuan baru. Sebagai contoh, pada anak yang telah memiliki pengetahuan tentang konsep segitiga, kemudian diberikan oleh guru persegi panjang. Karena konsep persegi panjang ini belum cocok dengan konsep segitiga yang telah dimiliki anak, maka konsep segitiga itu direstrukturisasi sehingga dapat bersesuaian dengan konsep persegi panjang. Setelah itu, pengetahuan tentang konsep persegi panjang tersebut dapat berintegrasi dengan pengetahuan yang telah ada dan diperoleh pengetahuan baru berupa konsep persegi panjang.
Untuk memahami lebih jauh bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya khususnya pengetahuan matematika, maka tulisan ini akan membahas beberapa pandangan psikologis yang berkaitan dengan hal itu. Ada tiga pandangan psikologi utama yang akan diuraikan dalam tulisan ini yaitu pandangan psikologi Behavioristik, Gestaltik, dan Konstruktivistik. Uraian dalam makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal untuk memahami, mendorong, dan memberikan arah terhadap kegiatan belajar-mengajar matematika di sekolah.
2. Kajian Literatur dan Pembahasan
2.1 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Psikologi Behavioristik
Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam Orton, 1991:39; Resnick, 1981:12), menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thorndike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) menge-mukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan --yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada dengan hukum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus—respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
Gagne—yang disebut Orton (1991:39) sebagai modern neobehaviourists— membagi belajar dalam delapan jenis, yaitu dimulai dari belajar yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah). Namun di dalam praktiknya, kedelapan tipe/jenis belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respon (Bell, 1981:108-123; Hudojo, 1990:25--30).
Hal tersebut dapat dijelaskan dari pendapat Gagne (dalam Hudojo, 1990:32), bahwa setiap jenis belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan. Tahap pertama pemahaman, setelah seseorang yang belajar diberi stimulus, maka ia berusaha untuk memahami karakteristiknya (merespon) kemudian diberi kode (secara mental). Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menguasai stimulus yang diberikan yaitu pada tahap kedua (tahap penguasaan). Pengetahuan yang diperoleh dari tahap dua selanjutnya disimpan atau diingat, yaitu pada tahap ketiga (tahap pengingatan). Terakhir adalah tahap keempat, yaitu pengungkapan kembali pengetahuan yang telah disimpan pada tahap ketiga.
Berdasarkan pandangan psikologi behavior di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal antara stimulus dan respon. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1998:4) bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh dari sekumpulan ikatan stimulus-respon, semakin sering asosiasi ini digunakan apalagi diberi penguatan, maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi. Jika dihubungkan dengan pengetahuan matematika, hal ini berarti semakin sering suatu konsep matematika (pengetahuan) diulangi maka konsep matematika itu akan semakin dikuasai. Sebagai contoh, apabila seorang anak telah mengetahui bahwa 3 x 4 sama dengan 12, kemudian anak tersebut sering ditanya tentang hal itu, maka ia akan semakin paham dan bahkan secara otomatis dapat menjawab dengan benar apabila ditanya, karena ikatan stimulus yaitu ”3 x 4 “ dengan responnya yaitu “12” akan semakin kuat.

2.2 Pemerolehan Pengetahuan Menurut Pandangan Psikologi Gestaltik
Psikologi gestalt dikembangkan di Eropa pada sekitar tahun 1920-an. Psikologi gestalt memperkenalkan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi (behaviorism). Teori gestalt dibangun dari data hasil eksperimen yang sebelumnya belum dapat dijelaskan oleh ahli-ahli teori asosiasi. Meskipun pada awalnya psikologi gestalt hanya dipusatkan pada fenomena yang dapat dirasa, tetapi pada akhirnya difokuskan pada fenomena yang lebih umum, yaitu hakikat belajar dan pemecahan masalah (Resnick & Ford, 1981:129-130).
Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi gestalt sebagai sesuatu yang penting. Menurut Kohler (dalam Orton, 1991:89) berpikir bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut prinsip tertentu. Katona, seorang ahli psikologi gestalt yang lain, juga tidak sependapat dengan belajar dengan pengkaitan stimulus dan respon. Berdasarkan hasil penelitiannya ia membuktikan bahwa belajar bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur, melainkan juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih sederhana (Resnick & Ford, 1981:143-144).
Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah (Orton, 1990:89). Para pengikut gestalt berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian maka strukturnya tidak jelas. Menurut Katona (dalam Resnick& Ford, 1981: 139) penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk dapat memahaminya dengan tepat. Untuk lebih memahami uraian di atas, perhatikan ilustrasi pada Gambar 1.
Gambar 1 Konfigurasi TitikDiadopsi dari Resnick & Ford (1981:130)
Pada setiap gambar di atas terdapat bundaran kosong menunjukkan posisi yang berbeda sesuai dengan konteks (organisasi perseptual). Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan gestaltist seseorang yang memperhatikan konfigurasi titik (bulatan) yang terdapat pada setiap gambar (a) sampai (d) tidak hanya sebagai kumpulan titik yang terpisah-pisah, tetapi titik itu teorganisir berdasarkan prinsip tertentu. Dengan demikian, orang akan memahami setiap gambar itu sebagai kumpulan titik yang secara keseluruhan membentuk; (a) layang-layang (diamond), (b) segiempat, (c) segitiga, dan (d) segidelapan.
Jadi, menurut pandangan psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami.

2.3 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Konstruktivistik
Matthews (dalam Suparno, 1997) secara garis besar membagi aliran konstruktivisme menjadi dua, yaitu konstruktivisme psikologi dan sosiologi. Kemudian konstruktivisme psikologi juga dibagi menjadi dua yaitu: (1) konstruktivisme radikal, yang lebih bersifat personal, individual, dan subyektif, dan aliran ini dianut oleh Piaget dan pengikut-pengikutnya; dan (2) konstruktivisme sosial, yang lebih bersifat sosial, dan aliran ini dipelopori oleh Vigotsky. Ernest (1996) secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah (weak constructivism). Selanjutnya, yang akan dibahas dalam makalah ini hanyalah konstruktivisme psikologi/radikal yang dipelopori oleh Piaget dan konstruktivisme sosial yang dipelopori oleh Vygotsky.
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme psikologi/radikal dalam belajar dipelopori oleh Piaget (Suparno, 1997). Piaget mempunyai perbedaan pandangan yang sangat mendasar dengan pandangan kaum behavior dalam pemerolehan pengetahuan. Bagi kaum behavior pengetahuan itu dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan stimulus-respon. Piaget berpandangan bahwa pemerolehan pengetahuan seperti itu ibarat menuangkan air dalam bejana. Artinya, pebelajar dalam keadaan pasif menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Bagi Piaget pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang/pebelajar terhadap lingkungan (Orton, 1991).
Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, Piaget (dalam Bell, 1981: Stiff dkk., 1993) berpendapat bahwa skemata yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb) atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata tersebut. Hal itu, dikarenakan informasi baru tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skemata yang telah ada. Jika informasi baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata yang lama, maka akan dibentuk skemata baru yang cocok dengan informasi itu. Sebaliknya, apabila informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skemta yang telah ada, maka skemata yang lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan informasi baru itu.
Dengan kalimat lain, pandangan Piaget di atas dapat dijelaskan bahwa apabila suatu informasi (pengetahuan) baru dikenalkan kepada seseorang dan pengetahuan itu cocok dengan skema/skemata (sruktur kognitif) yang telah dimilikinya maka pengetahuan itu akan diadaptasi melalui proses asimilasi dan terbentuklah pengetahuan baru. Sedangkan apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu tidak cocok dengan struktur kognitif yang sudah ada maka akan terjadi disequilibrium, kemudian struktur kognitif tersebut direstrukturisasi kembali agar dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi equilibrium, sehingga pengetahuan baru itu dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasikan menjadi pengetahuan skemata baru. Untuk memperjelas uraian di atas perhatikan ilustrasi berikut.
Misalkan, pada seorang anak bernama Muhsin telah terbentuk skemata tentang persamaan linear yaitu pengertian persamaan linear, bentuk umum persamaan linear (ax + b = c), dan teknik penyelesaiannya. Suatu ketika kepadanya diperkenalkan persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0. Karena pengetahuan yang terbentuk dalam skemata Muhsin adalah tentang persamaan linear dan tidak cocok dengan persamaan kuadrat, maka Muhsin akan mengalami disequilibrium. Agar skemata tentang persamaan kuadrat itu dapat dibentuk, maka skemata tentang persamaan linear yang telah ada direstrukturisasi sehingga persamaan kuadrat dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasi dan diadaptasi, sehingga terjadilah keadaan equilibrium. Akhirnya, terbentuklah skemata baru atau pengetahuan baru yaitu persamaan kuadrat.
Dengan demikian, asimilasi dan akomodasi merupakan dua aspek penting dari proses yang sama yaitu pembentukan pengetahuan. Kedua proses itu merupakan aktivitas secara mental yang hakikatnya adalah proses interaksi antara pikiran dan realita. Seseorang menstruktur hal-hal yang ada dalam pikirannya, namun bergantung pada realita yang dihadapinya. Jadi adanya informasi dan pengalaman baru sebagai realita mengakibatkan terjadinya rekonstruksi pengetahuan yang lama yang disebut proses asimilasi-akomodasi sehingga terbentuk pengetahuan baru sebagai skemata dalam pikiran sesorang.
Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner. Meskipun Bruner mengklaim bahwa ia bukan pengikut Piaget tetapi teori-teori belajarnya sangat relevan dengan tahap-tahap perkembangan berpikir seperti yang dikemukakan Piaget. Salah satu teori belajar Bruner yang mendukung paham konstruktivisme adalah teori konstruksi. Teori ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari itu. Hal ini perlu dibiasakan sejak anak-anak masih kecil (Bell, 1981:143).
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme sosial dipelopori oleh Vygotsky. Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial memandang bahwa pengetahuan matematika merupakan konstruksi sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan matematika adalah pengetahuan bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk membentuk pengetahuan subyektif matematika yang selanjutnya melalui publikasi akan terbentuk pengetahuan matematika; obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri merupakan masalah sosial (Ernest, 1991:42). Lebih lanjut, Ernest (1991: 43) menyatakan bahwa konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi. Pengetahuan obyektif matematika diinternalisasi dan dikonstruksi oleh siswa selama proses belajar matematika. Hudojo (2003: 1) menjelaskan proses rekonstruksi metematika yang dilakukan oleh siswa itu (menggabungkan pendapat Ernest, 1991dan Leiken & Zaslavsky, 1997) sebagai berikut. Pertama, pengetahuan obyektif matematika direpresentasikan siswa dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji/menyelidiki, menjelaskan, memperluas, mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi metematika konsepsi awal. Kedua, konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif matematika. Ketiga, pengetahuan subyektif matematika tersebut di”kolaborasi”kan dengan siswa lain, guru dan perangkat belajar (siswa-guru-perangkat belajar) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Keempat, matematika yang direkonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding dan direpresentasikan oleh kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi siswa setelah belajar sehingga menjadi pengetahuan obyektif matematika.
Untuk lebih memahami uraian di atas (siklus melingkar proses rekonstruksi matematika) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Proses Rekonstruksi Matematika oleh Siswa(Adopsi dari Hudojo 2003)
Dari uraian dan contoh serta dalam gambar di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan konstruktivisme radikal/personal maupun konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial.

2.3 Implementasi Pandangan Behavioristik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Para penganut aliran behaviorisme memandang terbentuknya pengetahuan karena terjadinya ikatan antara peristiwa-peristiwa (stimulus) yang dirangsangkan kepada seorang pebelajar dengan tanggapannya (respon) terhadap rangsangan itu. Semakin sering ikatan stimulus (S) dan respon ( R) dipergunakan maka akan semakin kuatlah ikatan itu. Jadi, kegiatan belajar sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan, dipandang sebagai sistem respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Semakin sering sistem respon ini dilakukan, maka akan semakin dikuasai pengetahuan yang diperoleh. Oleh karena itu, guru-guru yang mengikuti faham behavioristik ini lebih banyak menggunakan pendekatan pembelajaran latihan dan drill. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
Sebagai konsekuensi faham ini, guru-guru matematika yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Kemudian tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Sebagai contoh, misalkan bahan yang akan diajarkan adalah definisi relasi ekivalen. Pertama, diajarkan definisi refleksi, kemudian definisi simetri. Selanjutnya, dijelaskan kaitan antara definsi refleksi dan definsi simetri dan didapat definisi transitif. Akhirnya, diajarkan kaitan ketiga definisi, refleksi, simetri, dan transitif untuk mendefinisikan relasi ekivalen.
Dalam proses pembelajaran, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah dan ekspositori. Dalam proses pembelajaran seperti itu guru merupakan sentral, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid yang mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

2.5 Implementasi Pandangan Gestaltik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran manusia menginterpretasikan semua sensasi/informasi. Sensasi/informasi yang masuk dalam pikiran seseorang selalu dipandang memiliki prinsip pengorganisasian/struktur tertentu. Artinya, pengenalan terhadap suatu sensasi tidak secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks yang baru dan lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian, akan terbentuk suatu pengetahuan baru.
Dalam kaitan dengan pembelajaran matematika, uraian di atas dapat diperjelas dengan ilustrasi berikut. Andaikan seorang guru meminta siswanya untuk menentukan jumlah n suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + n.. Menurut pandangan gestalt, agar siswa dapat menjawab dengan benar ia harus memahami struktur masalah tersebut. Untuk mengarahkan siswa pada pengenalan struktur masalah yang akan diselesaikan, guru dapat membantunya dengan memberikan masalah yang lebih sederhana yaitu jumlah 10 suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + 10. Dengan demikian, diharapkan siswa dengan mudah dapat melihat strukturnya yaitu 10 + 1 = 9 + 2 = 8 + 3 = 7 +4 = 6 +5. Sehingga 1 + 2 + 3 + … + 10 = (10 + 1) + (9 + 2) + (8 + 3) + (7 + 4) + (6 +5) = 11 + 11 + 11 + 11 +11 = 5 x 11 = 10/2 x (10 +1). Akhirnya, siswa akan menemukan bahwa 1 + 2 + 3 + … + n = (n + 1) + (n-1 + 2) + (n-2 + 3) + … + ((n - n + 1) + n) =n (n +1).
Guru-guru matematika yang menganut pandangan gestal ini, akan mendesain proses pembelajaran matematika sedemikian rupa sehingga anak dapat belajar matematika dengan pengertian yaitu didasarkan pada pengorganisasian komponen-komponen materi yang akan dipelajari dan berhubungan secara terstruktur. Berarti kegiatan pembelajaran lebih berpusat pada murid. Tujuan pembelajaran lebih beorientasi pada proses dibandingkan dengan hasil akhir. Pendekatan pembelajaran matematika yang dapat memenuhi pandangan gestaltist ini adalah penemuan (reinvent/discovery) atau dengan pemecahan masalah.

2.6 Implementasi Pandangan Konstruktivistik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pendekatan Matematika
Berdasarkan pandangan konsruktivistik tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pebelajar untuk membangun pengetahuannya. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan (skemata) yang telah dimiliki pebelajar dan ini berlangsung secara mental. Dengan demikian, hakikat dari pembelajaran matematika adalah membangun pengetahuan matematika.
Sebagai implikasi dari hakikat belajar matematika itu maka proses pembelajaran matematika merupakan pembentukan lingkungan belajar yang dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi (Nickson dalam Grows, 1992:106). Menurut Hudojo (1998:7-8) ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstrukstivisme adalah sebagai berikut.
(1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
(2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
(3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep matematika melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
(4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
(5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
(6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa mau belajar.
3 Simpulan dan Saran
Dalam era globalisasi saat ini, dunia terasa semakin sempit. Jarak dan ruang yang membatasi antarnegara terasa hilang. Arus informasi mengalir cepat seolah tanpa hambatan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di belahan bumi barat akan segera diketahui dan ditransformasi di belahan bumi bagian timur dan seterusnya.
Selain itu, globalisasi juga telah menghantarkan suasana kehidupan semakin rumit (complicated), cepat berubah dan sulit diprediksi (unpredictable). Kondisi ini membawa dampak persaingan yang sangat ketat untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Siapa yang memiliki keunggulan kompetitif, dialah yang akan mendapatkan kemudahan hidup.
Agar dapat menghadapi dan mengikuti kondisi seperti di atas, pendidikan (khususnya pembelajaran matematika) harus memberi bekal yang cukup pada generasi baru anak Indonesia saat ini maupun di masa datang. Mereka harus dibekali dengan berbagai kemampuan yang handal, yaitu antara lain kemampuan memperoleh, menganalisis, dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pengajaran matematika di sekolah harus didesain sedemikian rupa sehingga memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka secara maksimum. Dengan memahami bagaimana proses pemerolehan pengetahuan bagi setiap orang yang belajar seperti telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran matematika yang proses pembelajarannya berpusat pada guru, bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur (pandangan behaviorist) tidaklagi dapat dipertahankan. Karena seperti apa yang kita ketahui dan kita rasakan saat ini ternyata hasilnya tidak dapat memenuhi tuntutan keadaan sekarang maupun masa akan datang; dan (2) paradigma pembelajaran matematika kini dan yang akan datang harus lebih ditumpukan pada pandangan gestaltist dan constructivist. Dengan mendasarkan pada pandangan ini maka pembelajaran lebih berpusat pada peserta didik, bersifat analitik, dan lebih berorientasi pada proses pembentukan pengetahuan dan penalaran.


Pustaka Acuan
Bell, H. F. 1981. Teaching and Learning Matehmatics (In Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown Company.
Ernest, Paul. 1996. “Varieties of Constructivism: A Framework For Comparison”.
In Seteffe, L.P. & Nesher, Pearla (Ed). Theories of Matehmatical Learning.
New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates, Publisher.
----------------1991. The Philosophy of Mathematics Education. Hamisphere:
The Parmer Press
Grows, D.A. 1992. Handbook af Research on Mathematics Teaching and Learning.
New York: Macmillan Publishing Co.
Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP
Malang
--------------------- 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
Konstruktivistik (Makalah disjikan dalam Seminar Nasional Pendidikan
Matematika PPS IKIP Malang). Malang.
--------------------- 2003. Guru Matematika Konstruktivis (Constructivist Mathematics
Teacher). (Makalah disajikan dalam seminar Nasional Pendidikan
Matematika tanggal 27-28 Maret 2003 di Universitas Sanata Darma):
Yogyakarta.
Orton, Anthony. 1991. Learning Mathematics: Issue, Theory and Classroom
Practice. Iowa: Cassel
Resnick, B.L. & Ford, W.W. 1981. The Psycology of Matehamtics for Instruction.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta
Stiff, V.L, Johnson, L.J, and Johnson, R.M. 1993. “Cognitive Issue in Mathematics
Education”. In Wilson. I & Patricia. S (Ed). Reseach Ideas for The Classroom: High School Mathematics. New York: Macmillan Publishing Company.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
*) Tenaga pengajar pada program studi pendidikan matematika Universias Muhammadiyah Palembang dan Mahasiswa S-3 Pendidikan Matematika pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

Sumber: www.honolulu.hawaii.edu



Reorientasi Pembelajaran Matematika



Oleh: M Iqbal RidhaIstilah orientasi untuk tulisan ini barangkali kurang mengena karena tidak membahas secara mendalam berbagai permasalahan kompleks pada pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita. Akan tetapi apa pun alasannya, tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya berbagi dari berbagai temuan mengenai kualitas bermatematika siswa-siswa kita, terutama di tingkat sekolah dasar dan menengah yang secara umum masih jauh dari harapan disertai dengan pencarian akar masalah dan solusinya.
Para guru yang telah terbiasa terjun di lapangan dan berinteraksi langsung dengan siswa sangat merasakan kondisi ini karena kenyataan yang memprihatinkan ini telah berlangsung sekian lama. Oleh karena itu, wajar apabila timbul dugaan bahwa akar masalahnya belum juga mendapatkan perhatian serius, apalagi telah diatasi. Kualitas matematika yang rendah ini, sebenarnya bertolak belakang dengan tuntutan zaman yang sangat menghendaki kemampuan yang baik dalam memahami dan menerapkan konsep-konsep matematika dalam kehidupan nyata.
Perkembangan pengetahuan dan teknologi yang menopang perkembangan budaya dan kehidupan manusia di berbagai belahan dunia sejak masa lalu, kini, dan masa yang akan datang dipengaruhi oleh bidang kemajuan dalam bidang matematika. Oleh karena itu, wajar apabila pada tingkat materi-materi pelajaran di sekolah pun konsep-konsep matematika melekat pada berbagai pelajaran, seperti pelajaran geografi, fisika, kimia, biologi, dan ekonomi sehingga penguasaan konsep-konsep matematika merupakan prasyarat untuk dapat memahami dan mengembangkan cabang ilmu-ilmu yang lain.
Kebutuhan akan pemahaman dan penerapan konsep-konsep matematika dalam berbagai lapangan lehidupan ini belum disadari dengan baik, karena kenyataan menunjukkan bahwa minat siswa-siswa kita dalam pelajaran matematika relatif rendah sehingga sangat jarang ditemukan siswa kita yang memahami konsep dan penerapan matematika dengan baik. Kenyataan ini tentu mengkhawatirkan di tengah ketertinggalan kita dalam bidang iptek dibandingkan dengan negara-negara lain.
Gejala demikian seharusnya lebih mendorong kita untuk lebih berani melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran matematika yang berlansung hingga saat ini. Misalnya, melakukan pengembangan kurikulum yang dapat merespons tuntutan zaman, yakni yang mendukung arah orientasi pembelajaran matematika pada penerapan matematika dalam kehidupan nyata sehingga penguasaan konsep matematika oleh para siswa kita dimaksudkan selain sebagai bekal dalam melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tingi, juga dapat digunakan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Selain itu dengan menghubungkan konsep-konsep matematika dengan kehidupan nyata akan membuat proses pembelajaran matematika menjadi lebih menarik, lebih nyata, dan berguna. Dengan demikian diharapkan dapat semakin menambah minat dan rasa keingintahuan siswa kita terhadap pelajaran matematika. Penumbuhan minat siswa terhadap pelajaran matematika sangat penting untuk mendapat prioritas karena rendahnya prestasi siswa kita pada pelajaran ini secara umum berawal dari minatnya yang sangat rendah yang mengantarkan pada gairah belajar yang rendah pula. Lalu apa yang menyebabkan minat siswa-siswa kita itu sedemikian rendah? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini dengan tepat sangat tergantung dari sisi mana kita menilai karena banyak sisi permasalahan yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian. Namun berdasarkan temuan di lapangan secara umum dapat disimpulkan, bahwa rendah bahkan musnahnya minat siswa untuk menekuni bidang studi matematika di antaranya karena adanya image yang mengganggu pikiran sebagian besar siswa kita, yaitu matematika dianggap sebagai pelajaran yang superrumit, rajanya pelajaran studi dan jelimet sehingga berjumpa dengan pelajaran matematika seperti bertemu dengan hantu yang menyeramkan.
Mengubur dalam-dalam image itu merupakan salah satu upaya yang perlu gencar dilakukan, diganti dengan image yang lebih tepat yakni "matematika dalam pelajaran yang enak dipelajari dan berguna dalam kehidupan". Akan tetapi, apabila dalam praktiknya siswa kita menemukan kesulitan-kesulitan dalam memahami sebagian konsep-konsep matematika yang memang relatif kompleks, solusinya adalah kita jadikan keadaan ini sebagai bagian dari proses pembinaan pada skala sikap dan kepribadian, yaitu dengan menghubungkan konsep-konsep matematika dengan konsep iman dan takwa. Misalnya, konsep latihan kesabaran dan tidak mudah putus asa sehingga selalu berusaha sampai terpecahkan masalahnya dengan cara diskusi dan bertukar pikiran dengan teman-temannya. Atau, kita olah menjadi bagian pembelajaran untuk menghayati keagungan dan keluasan ilmu Sang Pencipta (Al-Khalik) yang mengatur alam raya yang sangat rumit ini dengan tertib dan sempurna berdasarkan prinsip-prinsip matematika.***
Penulis alumni Dept. Math ITB & Koodinator guru matematika SMU Al Ma'soem Full Day.***




Sumber: Harian Pikiran Rakyat - Sabtu, 27 September 2003

Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme



Oleh: Hamzah*)
Abstrak: Tulisan ini ditujukan untuk mengarahkan guru dan pembaca pada pembelajaran matematika dengan teori belajar konstruktivisme. Teori belajar konstruktivisme memandang anak sebagai mahluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Guru, yang dipandang sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, seyogianya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk menerima pelajaran, termasuk memilih metode yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, guru seharusnya mengetahui hakikat matematika itu sendiri, hakikat anak, dan cara mengajarkan matematika menurut teori yang diterapkan. Guru yang tidak mengetahui ketiga hal tersebut di atas bagaikan tidak mempunyai dasar dan tujuan yang jelas dalam mengajar. Akibatnya, anak dapat diarahkan ke mana arah tujuan pembelajaran matematika yang dikehendaki guru.
Kata Kunci: Pembelajaran matematika, teori belajar, konstruktivisme, tingkat kesiapan anak, tahap perkembangan anak.
1. Pendahuluan
Apakah matematika itu? Hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para matematikawan tentang apa yang disebut matematika itu. Sedangkan sasaran penelaahan matematika itu sendiri sebagaimana kita tahu, tidaklah konkrit melainkan abstrak. Oleh karena itu, untuk menjawab apa matematika itu? Sejumlah tokoh memberi definisi, komentar, atau pandangan.
Romberg (dalam Jackson, 1992: 750) mengarahkan hasil penelaahannya tentang matematika kepada tiga sasaran utama. Pertama, para sosiolog, psikolog, pelaksana administrasi sekolah dan penyusun kurikulum memandang bahwa matematika merupakan ilmu yang statik dan disipilin ketat. Kedua, selama kurun waktu dua dekade terakhir ini, matematika dipandang sebagai suatu usaha atau kajian ulang terhadap matematika itu sendiri. Kajian tersebut berkaitan dengan apa matematika itu? bagaimana cara kerja para matematikawan? dan bagaimana mempopulerkan matematika?
Selain itu, matematika juga dipandang sebagai suatu bahasa, struktur logika, batang tubuh dari bilangan dan ruang, rangkaian metode untuk menarik kesimpulan, esensi ilmu terhadap dunia fisik, dan sebagai aktivitas intelektual.
Agak berbeda dengan pendapat di atas, Ernest (1991: 42) melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial yang memenuhi tiga premis sebagai berikut: (i) The basis of mathematical knowledge is linguistic language, conventions and rules, and language is a social constructions; (ii) Interpersonal social processes are required to turn an individual's subjective mathematical knowledge, after publication, into accepted objective mathematical knowledge; and (iii) Objectivity itself will be understood to be social.
Selain Ernest, terdapat sejumlah tokoh yang memandang matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial. Misalnya, Dienes (dalam Ruseffendi, 1988: 160) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu seni kreatif. Oleh karena itu, matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni.
Bourne (dalam Romberg, 1992: 752) juga memahami matematika sebagai konstruktivisme sosial dengan penekanannya pada knowing how, yaitu pebelajar dipandang sebagai mahluk yang aktif dalam mengskostruksi ilmu pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan pengertian knowing that yang dianut oleh kaum absoluitis, di mana pebelajar dipandang sebagai mahluk yang pasif dan seenaknya dapat diisi informasi dari tindakan hingga tujuan (Dewey dalam Romberg, 1992: 752).
Kitcher (dalam Jackson, 1992: 753) lebih menfokuskan perhatiannya kepada komponen dalam kegiatan matematika. Dia mengklaim bahwa matematika terdiri atas komponen-komponen: (1) bahasa (language) yang dijalankan oleh para matematikawan, (2) pernyataan (statements) yang digunakan oleh para matematikawan, (3) pertanyaan (questions) penting yang hingga saat ini belum terpecahkan, (4) alasan (reasonings) yang digunakan untuk menjelaskan pernyataan, dan (5) ide matematika itu sendiri. Bahkan secara lebih luas matematika dipandang sebagai the science of pattern (Steen dalam Romberg, 1992: 754).
Sejalan dengan kedua pandangan di atas, Sujono (1988: 5) mengemukakan beberapa pengertian matematika. Di antaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. Bahkan dia mengartikan matematika sebagai ilmu bantu dalam mengiterpretasikan berbagai ide dan kesimpulan. Pengertian matematika sebagai ilmu tentang struktur yang terorganisir juga dikemukakan oleh Ruseffendi (1988: 261).
Pengertian yang lebih plural tentang matematika dikemukakan oleh Freudental (1991: 1). Dia mengatakan bahwa mathematics look like a plural as it still is in French Les Mathematiques. Indeed, long ago it meant a plural: four arts (liberal ones worth being pursued by free men). Mathematics was the quadrivium, the sum of arithmetic, geometry astronomy and music, held in higher esteem than the (more trivial) trivium: grammar, rhetoric and dialectic. …As far as I am familiar with languages, Ducth is the only one in which the term for mathematics is neither derived from nor resembles the internationally sanctioned Mathematica. The Ducth term was virtually coined by Simon (1548 - 1620): Wiskunde, the science of what is certain. Wis en zeker, sure and certain, is that which does not yield to any doubt, and kunde means, knowledge, theory.
Dari sisi abstaraksi matematika, Newman (dalam, Jackson, 1992: 755) melihat tiga ciri utama matematika, yaitu; (1) matematika disajikan dalam pola yang lebih ketat, (2) matematika berkembang dan digunakan lebih luas dari pada ilmu-ilmu lain, dan (3) matematika lebih terkonsentrasi pada konsep.
2. Perumusan Masalah
Masalah utama yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah faktor-faktor apa saja yang turut berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam belajar matematika dengan teori belajar konstruktivisme?
3. Tujuan Penulisan
Tulisan ini dimaksudkan untuk menambah bahan bacaan bagi pendidik, peserta didik, orangtua, pengguna dan pencinta matematika, serta pemerintah dalam rangka membantu anak didik mempelajari dan memahami matematika. Selain itu, tulisan ini diarahkan untuk menambah hasanah keilmuan tentang matematika sekolah yang selama ini cenderung kurang disenangi, ditakuti, dihindari, dan bahkan kadang-kadang dibenci oleh sejumlah anak melalui teori belajar konstruktivisme.
4. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
5. Hakikat Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kcil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalahperan aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
6. Mengapa Matematika Diajarkan di Sekolah?
Salah satu pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum mengajarkan matematika di sekolah adalah mengapa matematika perlu diajarkan di sekolah? Untuk menjawab pertanyaan ini sejumlah pakar dalam pembelajaran matematika memberikan pendapat, pandangan, atau komentar sebagi berikut.
Jackson (1992 : 756) mengatakan bahwa secara umum matematika adalah “penting bagi kehidupan masyarakat.” Oleh karena itu, matematika dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Sejalan dengan pandangan ini, Dreeben (dalam Romberg, 1992: 756) mengungkapkan bahwa matematika diajarkan di sekolah dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka panjang (long-term functional needs) bagi siswa dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa seseorang harus mempunyai kesempatan yang banyak untuk belajar matematika, kapan dan di mana saja sesuai dengan kebutuhan akan matematikanya sendiri.
Sebaliknya, kaum absolutis berpendapat bahwa algoritma matematika telah disusun sedemikian rupa dan dilengkapi dengan alat hitung yang canggih (seperti kalkulator dan komputer). Oleh karena itu, anak maupun masyarakat tidak perlu belajar banyak tentang matematika (Burke dalam Romberg, 1992: 757; Finn dalam Romberg, 1992: 757).
Sujono (1988: 15) mengajukan beberapa alasan mengapa matematika perlu diajarkan di sekolah. Pertama, matematika menyiapkan siswa menjadi pemikir dan penemu. Kedua, matematika menyiapkan siswa menjadi warga negara yang hemat, cermat, dan efisien. Selain itu, matematika membantu siswa untuk mengembangkan karakternya.
Sementara itu, Thorndike (dalam Jackson, 1992: 758) mengatakan bahwa matematika sangat penting diajarkan di sekolah karena matematika merupakan bagian penting dari batang tubuh pembelajaran itu sendiri.
Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, Freudental (dalam Romberg, 1992: 758) mengatakan bahwa tujuan diajarkannya matematika di sekolah adalah untuk melengkapi apa yang telah dimiliki oleh para ahli matematika. Pemahaman yang lebih umum dikemukakan oleh Jacobs (dalam Jackson, 1992 : 758) dengan mengatakan bahwa matematika diajarkan di sekolah karena dia merupakan kegiatan atau aktivitas manusia.
Pandangan yang lebih khusus dikemukakan oleh Stanic (dalam Romberg, 1992: 759). Dia menegaskan bahwa tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah untuk meningkatkan kemampuan berfikir siswa. Selain itu, peningkatan sikap kreativitas dan kritis juga dapat dilatih melalui pembelajaran matematika yang sistematis dan sesuai dengan pola-pola pembelajarannya.
Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah, di satu sisi merupakan hal yang penting untuk menigkatkan kecerdasan peserta didik. Namun, di sisi lain terdapat pakar yang menilai bahwa pembelajaran matematika di sekolah hanyalah merupakan kebutuhan yng bersifat pelengkap dari apa yang telah dikembangkan oleh para ilmuan dalam matematika.
7. Bagaimana Cara Mengajarkan Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme?
Secara umum, pembelajaran berdasarkan teori belajar konstruktivisme meliputi empat tahap: (1) tahap persepsi (mengungkap konsepsi awal dan membangkitkan motivasi belajar siswa), (2) tahap eksplorasi, (3) tahap diskusi dan penjelasan konsep, dan (4) tahap pengembangan dan aplikasi konsep (Horsley, 1990: 59).
Sejalan dengan pandangan di atas, Tobin dan Timon (dalam Lalik, 1997: 19) mengatakan bahwa pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme meliputi empat kegiatan, antara lain (1) berkaitan dengan prior knowledge siswa, (2) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experiences), (3) terjadi interaksi sosial (social interaction) dan (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making).
Petunjuk tentang proses pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme juga dikemukakan oleh Dahar (1989: 160), sebagai berikut: (1) siapkan benda-benda nyata untuk digunakan para siswa, (2) pilihlah pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, (3) perkenalkan kegiatan yang layak dan menarik serta beri kebebasan anak untuk menolak saran guru, (4) tekankan penciptaan pertanyaan dan masalah serta pemecahannya, (5) anjurkan para siswa untuk saling berinteraksi, (6) hindari istilah teknis dan tekankan berpikir, (7) anjurkan mereka berpikir dengan cara sendiri, dan (8) perkenalkan kembali materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa tahun lamanya.
Beberapa uraian di atas dapat memberi pandangan kepada guru agar dalam menerapkan prinsip belajar konstruktivisme, benar-benar harus memperhatikan kondisi lingkungan bagi anak. Di samping itu, pengertian tentang kesiapan anak untuk belajar, juga tidak boleh diabaikan. Dengan kata lain, bahwa faktor lingkungan sebagai suatu sarana interaksi bagi anak, bukanlah satu-satunya yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh bagi guru.
Yager (1991: 55) mengajukan pentahapan yang lebih lengkap dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Hal ini dapat menjadi pedoman dalam pembelajaran secara umum, pembelajaran dalam Ilmu Pengetahuan Alam dan pembelajaran Matematika. Cakupan tersebut didasarkan pada tugas guru yang tidak mengajarkan mata pelajaran pendidikan agama dan olah raga merupakan guru kelas.
Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering dijumpai sehari-hari oleh siswa dan mengaitkannya dengan konsep yang akan dibahas. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengillustrasikan pemahamannya tentang konsep tersebut.
Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan pada tahap ini akan terpenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena dalam lingkungannya.
Tahap ketiga, siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasi siswa, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya, siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari.
Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun melalui pemunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu dalam lingkungan siswa tersebut.
8. Contoh-contoh Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Teori Belajar Konstruktivisme
(1) Nilai Tempat dan Sistem Desimal.
Perhatikan dialog antara guru dan siswa dalam penelitian yang telah dilakukan oleh FitzSimons (1992: 79).
Guru : What is 10 to the power of 3?Siswa : 1000Guru : And 10 to the power of 2?Siswa : 100.Guru : So 10 to the power of 1 must be?Siswa : 10Siswa : What is 10 to the power of 0?Guru : Let's find what is 10 to the power of 0? What's happen? You know that the power of 10 decreases one by one do you? What's happen in case of 100…? Siswa : Most of the children did not give responds.Guru : The noughts keep getting crossed off. What does that mean? When the noughts keep getting crossed off? What are we really doing?Siswa : We are taking a short cut.Guru : We are taking a short cut?Siswa : We are dividing by tenGuru: : So what is 10 to the power by 0?Siswa : One.Guru : OK. What is 10 to the power of -1?Siswa : Is it -1? No…, it can't because the left-hand side is 01. It must be point one. Every one seems to be happy when someone say 0.1 or 1/10".
(2) Menghitung Nilai Rata-Rata
Contoh lain yang dapat dikembangkan oleh guru adalah menentukan rata-rata hitung. Perhatikan langkah-langkah pembelajarannya.
(a) Siapkan beberapa menara blok yang tingginya berbeda-beda sebagai benda kongkrit bagi anak. Misalnya pada gambar berikut ini
(b) Minta anak untuk memotong beberapa menara blok yang lebih tinggi sesuai dengan keinginannya.
(c) Tempelkan potongan menara blok yang tertinggi kepada menara blok yang terpendek. Selanjutnya, potong sebagian menara blok yang lebih tinggi dan letakkan atau tempelkan pada menara blok yang kurang tinggi. Lakukan hal ini seterusnya hingga semua menara blok adalah sama tingginya. Tinggi menara blok tersebut yang sudah rata disebut rata-rata tingggi. Hasilnya seperti berikut.
(4) Ulangi kegiatan di atas, dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu setiap menara blok dipotong atau dipisahkan secara vertikal. Hal ini dilakukan secara berturut-turut. Selanjutnya, susun hasil potongan dengan cara melintang (horizontal), yaitu melengketkan pada kertas atau buku matematika anak. Sehingga hasilnya seperti berikut ini.
Setelah hal ini dilakukan oleh anak, ajak mereka untuk berpikir bagaimana jika menara blok tersebut dibagi oleh lima orang anak sama banyak? Dari sini siswa diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri tentang konsep pembagian, yaitu 25/5 = 5. Dengan demikian, rata-rata tinggi menara blok tersebut adalah 5.
Dengan pendekatan seperti di atas, pada akhirnya anak dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui aktivitas yang dilakukan. Dengan kata lain, tanpa mereka diajar secara paksa, anak akan memahami sendiri apa yang mereka lakukan dan pelajari melalui pengalamannya.
9. Simpulan dan Saran9.1 Simpulan
Menurut pandangan teori belajar konstruktivisme, pembelajaran matematika menuntut kemampuan guru yang lebih profesional dalam bidangnya. Misalnya bagaimana cara guru menciptakan kondisi pembelajaran yang dimulai dari isu-isu yang relevan dengan lingkungan anak. Selain itu, guru dituntut untuk terampil memilih topik yang dapat membangkitkan motivasi anak selama pembelajaran berlangsung.
Pengetahuan guru tentang hakikat matematika, hakikat anak dan tujuan pembelajaran matematika di sekolah sangat penting. Guru yang tidak mengetahui ketiga hal tersebut di atas bagaikan tidak mempunyai dasar dan tujuan yang jelas dalam mengajar. Akibatnya, anak dapat diarahkan ke mana arah tujuan pembelajaran matematika yang dikehendaki guru.
Berbagai hal yang telah disebutkan di atas belum cukup untuk membangkitkan semangat dan minat anak dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan sendiri termasuk matematika, jika tidak ditunjang atau dibarengi oleh keberadaan benda-benda nyata (konkrit) yang dapat dimanipulasi sendiri oleh anak.
9.2 Saran
Berdasarkan uraian dan simpulan tentang pembelajaran matematika dengan teori belajar konstruktivisme, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut. Kepada guru disarankan agar dalam mengajarkan matematika di sekolah hendaknya terlebih dahulu memahami dengan baik hakikat anak dan hakikat matematika itu sendiri serta menggunakan teori belajar yang relevan dengan kedua hal tersebut. Ketiga hal ini sangat penting untuk mengantarkan anak mencintai matematika. Kepada orangtua disarankan agar membantu anak, utamanya mempersiapkan benda-benda nyata di rumah yang dapat dimanipulasi oleh mereka dalam rangka memahami konsep matematika. Terakhir, kepada pemerintah disarankan agar terus memberi dukungan materil dan moril kepada guru dalam menerapkan dan mengembangkan setiap metode dan teori belajar yang dapat meningkatkan prestasi belajar anak, khususnya dalam mata pelajaran matematika.
Pustaka Acuan
Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.Ernest, P. 1991. The Philosophy of Methematics Education. London: Falmer.
FitzSimons, G. 1992. Contructivism in Vocational and Further Education Classes. In M Horne and M. Supple (Eds.). Mathematics Meeting the Challenge (pp.77 - 82). Melbourne: The Mathematical Associtiaon of Victoria.
Freudental, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Hanbury, L. 1996. Constructivism: So What? In J. Wakefield and L. Velardi (Eds.). Celeberating Mathematics Learning (pp.3 - 8). Melbourne: The Mathematical Assciation of Victoria.
Horsley, S.L. 1990. Ementary School Science for the 90S. Virginia: Association Supervision and Curriculum Development.
Hudoyo, H. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.
Hudoyo, H. 1998. Pembelajaran Matematioka Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Era Globaliasasi. PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan..
Jackson, P.W. 1992. Handbook of Reseasrch on Curriculum. New York: A Project of American Educational Research Association.
Lalik, B. 1997. Perubahan Konsepsi Siswa pada Pembelajaran Topik Pernapasan di SD. Tesis PPS IKIP Bandung. Tidak Diterbitkan.
Poedjiadi, A. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu bagi Pendidik. Bandung: Yayasan Cendrawasih.
Romberg, T.A. 1992. Problematic Features of the School Mathematics Curriculum, in J. Philip (Ed.). Handbook of Reseasrch on Curriculum (pp.749 - 788). New York: A Project of American Educational Research Association.
Ruseffendi, E.T. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sujono. 1988. Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suparno, P. 1996. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Susan, C., Marilyn, L. dan Tony, T. 1995. Learning to Teach in the Secondary School. London: Routledge.
Tanjung, R.M. 1998. Efektivitas pembelajaran Biologi yang Berdasarkan pada Prinsip Belajar Konstruktis. Makalah Komprehensif. PPS IKIP Malang. Tidak Diterbitkan.
Tasker, R. 1992. Effective Teaching: What Can a Constructivist View of Learning Offer. The Australian Science Teacher JouTyrnal. 38 (1), 25 - 34.
Tytler, R. 1996. Constructivism and Conceptual Change View of Learning in Science. Majalah Pendidikan IPA: Khasanah Pengajaran IPA. Bandung: IMAPIPA.
Wheatley, G.H. 1991. Constructivist Perspective on Science and Mathematics Learning. Science Education Journal. 75 (1), 9 - 21.
Yager, R. 1991. The Constructivist Learning Model: Toward Real Reform in Science Education. Journal of Science Teacher. 58 (6), 52 - 57.
___________________
*) Drs. Hamzah, M.Ed. adalah dosen pada FMIPA Universitas Negeri Makssar sedang mengikuti pendidikan S3 program studi Pendididikan matematika PPs UPI Bandung.


Sumber: Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No 40, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas

Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan Kendala yang Muncul di Lapangan

Asmin
*)
Abstrak: Proses belajar mengajar yang berkembang di kelas pada umumnya ditentukan oleh peranan guru dan siswa sebagai individu-individu yang terlibat langsung di dalam proses tersebut. Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik, setiap siswa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran baru yang tercipta melalui pemecahan masalah matematika realistik sehingga terbentuk suatu lingkungan belajar yang kondusif sedemikain rupa sehingga setiap individu dalam kelas dapat berfungsi dan dipandang sebagai sumber informasi atau sebagai sumber belajar. Hal ini dapat dimungkinkan dengan mengembangkan pola matematisasi horizontal yaitu transformasi masalah ke dalam model untuk pengetahuan matematika formal dan matematisasi vertikal berupa representasi hubungan-hubungan dalam rumus, yang menyesuaikan model matematika dalam pengunaan yang berbeda-beda.
Kata Kunci: Pembelajaran, Matematika Realistik (PMR), Proses belajar mengajar.
1. Pendahuluan
Tujuan pendidikan nasional seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).
Berbicara soal mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki jangkauan dan kajian yang sangat luas, terutama kajian pendidikan yang menyangkut pembelajaran di sekolah-sekolah. Jika dirunut ke belakang, maka dapat dispesifikkan lagi sampai kepada pembelajaran dari salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif bagi pencerdasan dan pencerahan kehidupan bangsa sekaligus turut memanusiakan bangsa Indonesia dalam arti dan cakupan yang lebih luas. Salah satu yang ingin dikaji yakni, Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang muncul di lapangan.
Masalah klasik dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi murid serta kurangnya motivasi dan keinginan terhadap pembelajaran matematika di sekolah.
Matematika yang diajarkan di sekolah terdiri dari elemen-elemen dan sub-sub bagian matematika yang dipisahkan atas pembagian yang terdiri dari: (1) arti/hakekat kependidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan daya nalar serta pembinaan kepribadian siswa; (2) adanya kebutuhan yang nyata berupa tuntutan perkembangan riel dari kepentingan hidup masa kini dan masa mendatang yang senantiasa berorientasi pada perkembangan pengetahuan seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dalam hal ini, pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah saat ini merupakan basic yang sangat penting dalam keikutsertaannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah barang tentu, pencapaian target “mencerdaskan kehidupan bangsa”, akan tetap segar bugar dan tegar menyongsong persaingan di era globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diaplikasikan pada persaingan era industrialisasi pada semua aspek kehidupan yang relevan dengan kemajuan informasi dan komunikasi yang berkembang dengan pesatnya.
Menurut laporan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999 yang merupakan kriteria acuan, rendahnya daya saing murid Indonesia di ajang international (Indonesia diperingkat ke 34 dari 38 negara) menunjukkan betapa lemahnya kemampuan penguasaan matematika di negara kita ini.
Menurut Suyatno (1988), dalam pengajaran matematika, penyampaian guru cenderung bersifat monoton, hampir tanpa variasi kreatif, kalau saja siswa ditanya, ada saja alasan yang mereka kemukakan, seperti matematika sulit, tidak mampu menjawab, takut disuruh guru ke depan, dan sebagainya. Sementara itu Syarien (1991) berpendapat adanya gejala matematika phobia (ketakutan anak terhadap matematika) yang melanda sebahagian besar siswa, sebagai akibat tak kenal maka tak sayang.

2. Kajian Literatur
2.1 Pendidikan Matematika Realistik dan Pembentukan Kemampuan Berpikir Siswa
Masalah klasik yang selalu muncul adalah keluhan masyarakat bahwa proses pembelajaran matematika di sekolah masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik, yakni seorang guru secara aktif mengajarkan matematika, kemudian memberikan contoh dan latihan, di sisi lain siswa berfungsi seperti mesin, mereka mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru.
Menurut Soedjadi (1992) dalam upaya pembenahan sangat perlu keberanian, kejujuran untuk melihat kenyataan yang memang terjadi di lapangan tanpa harus mencari siapa yang salah serta dengan tulus ikhlas mengakui kelemahan yang ada, sekaligus dengan cermat tepat mengarahkan pembenahan kepentingan kualitas siswa sebagai generasi muda kita. Peningkatan kualitas peserta didik tidak dapat dilakukan dengan menutup mata pada kenyataan keanekaragaman lingkungan masyarakat Indonesia. Kita harus mampu menatap keluar, namun juga harus tanggap di dalam. Menatap keluar berarti kita harus mampu mengikuti perkembangan dan perubahan di berbagai negara yang intisarinya dapat dipetik dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
Pada umumnya guru menguasai matematika hanya pada taraf penerapan, sehingga guru hanya mampu sampai taraf pengguna matematika. Akibatnya, ia tidak akan mampu berperanserta mengembangkan ilmu matematika menembus daerah ketidaktahuannya. Putman (1987) berpendapat bahwa salah satu aspek penting dalam pengajaran matematika adalah agar siswa mampu mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam berbagai keterampilan serta mampu menggunakannya sebagai strategi untuk memecahkan berbagai masalah.
Kesempatan diskusi di kelas jarang dilakukan serta interaksi dan komunikasi kurang digalakkan. Seiring dengan proses pembelajaran seperti itu, menurut de Lange (2001) , bahwa tujuan pemberian materi matematika masih berdasarkan 'matematika untuk matematikawan' bukan 'matematika untuk anak-sekolah' yang seyogyanya fokus dan penerapannya harus disesuaikan dengan apa yang pernah dialami murid setiap harinya. Menurut Zulkardi (1999), hal ini bertentangan dengan kebutuhan masyarakat informasi saat ini di mana melek matematika (mathematics literacy) adalah tujuan yang amat penting. Implikasinya, bahwa tujuan, materi dan proses belajar matematika sekolah di Indonesia perlu direformasi.

2.2 Pemikiran yang Melandasi Pengajaran Matematika Realistik
Pengembangan Matematika realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap matematika (Freudenthal, 1991) yang berpandangan sebagai berikut: (1) matematika harus dikaitkan dengan hal yang nyata bagi murid, dan (2) matematika harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia.
Pertama, untuk mulai dari fenomena atau kejadian yang real bagi murid maka prinsip Freudenthal's didactical phenomenology bahwa belajar harus mulai dari suatu masalah kontekstual yang pada akhirnya memunculkan konsep matematika yang dipelajari harus digunakan. Kedua, dengan menggunakan prinsip guided reinvention melalui progressive mathematizations, murid digiring secara didaktik dan efisien dari suatu level berfikir ke level berikutnya melalui matematisasi. Kedua prinsip ini dan prinsip self developed models (Gravemeijer, 1994) dioperasionalisasikan ke dalam lima karakteristik dasar dari Realistic Mathematic’s Education (de Lange, 1987; Gravemeijer, 1994) sebagai berikut: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2) menggunakan model, (3) menggunakan kontribusi murid, (4) interaktivitas, (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya.
De Lange (1993) menggarisbawahi masalah utama dalam mengimplementasikan yaitu bagaimana melatih guru untuk menggunakan materi baru dan mengajar dengan materi tersebut menggunakan pendekatan baru. Hal ini tampaknya kompleks karena adanya beberapa perubahan yaitu: (1) materi matematika berbeda dengan yang sebelumnya; (2) peranan guru berubah dari mengajar ke tidak mengajar; dan (3) materi evaluasi difokuskan pada soal-soal level menengah dan atas meskipun tidak melupakan level bawah. Perubahan ini harus diperhitungkan bila pendekatan RME akan diimplementasikan di Indonesia.
Pada tahun 1998, de Lange mengajukan alasan mengapa PMR cukup potensial untuk diterapkan di sekolah. Alasannya bahwa proses pengembangan konsep PMR dan berbagai gagasan matematika bermula dari dunia nyata dan pada akhirnya perlu merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika tersebut ke dalam bentuk alam yang nyata. Artinya, yang dilakukan dalam proses matematika adalah mengambil sesuatu dari bentuk dunia nyata di bawa ke dalam model matematisasi, dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke bentuk alam nyata. Hal ini digambarkan dalam model sebagai berikut.

Sejalan dengan itu, menurut Soedjadi (2001) Realistic Mathematics Education (RME) memiliki filsafat dasar yaitu bahwa “matematika adalah aktivitas manusia”, dan tidak lagi dipandang “siap pakai”. Filsafat ini mengakibatkan perubahan yang amat mendasar tentang proses pembelajaran matematika. Tidak lagi hanya pemberian informasi dalam pembelajaran matematika, tetapi harus mengubah menjadi aktivitas manusia untuk memperoleh pengetahuan matematika. Selanjutnya RME memiliki prinsip: 1) Reinvention dan progressive matematization, 2) Didactical phenomenology dan 3) Self-developed model. Karakteristiknya meliputi: 1) Menggunakan konteks, 2) Menggunakan model, 3) Menggunakan konstribusi siswa, 4) Interaksi, dan 5) Interwining.
Implementasi pendidikan matematika realistik di Indonesia harus dimulai dengan mengadaptasikan PMR sesuai dengan karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Pengimplementasian PMR di kelas harus didukung oleh sebuah perangkat yang dalam hal ini adalah buku ajar yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Menurut Suharta (2001) bahwa implementasi PMR di kelas meliputi tiga fase yakni: fase pengenalan, fase eksplorasi dan fase meringkas.
Pada fase pengenalan, guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya
Pada fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Pada saat siswa sedang bekerja, mereka mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman atau ide, mendiskusikan pola yang dibentuk saat itu, serta berupaya membuat dugaan. Selanjutnya dikembangkan strategi-strategi pemecahan masalah yang mungkin dilakukan berdasarkan pada pengetahuan informal atau formal yang dimiliki siswa. Di sini guru berupaya meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan mengelilingi siswa, melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa, dan memberi motivasi kepada siswa untuk giat bekerja. Dalam hal ini, peranan guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan. Bagi siswa yang berkemampuan tinggi, dapat diberikan pekerjaan yang lebih menantang yang berkaitan dengan masalah.
Pada fase meringkas, guru dapat mengawali pekerjaan lanjutan setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam pemecahan masalah. Sebelumnya mendiskusikan pemecahan-pemecahan dengan berbagai strategi yang mereka lakukan. Dalam hal ini, guru membantu siswa meningkatkan kinerja matematika secara lebih efisien dan efektif. Peranan siswa dalam fase ini sangat penting seperti: mengajukan dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi, alternatif-alternatif pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan mereka, dan membuat keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep-konsep awal/utama atau pengetahuan matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.

2.3 Strategi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia
Selter dalam Zuklardi (2001) menekankan bahwa semua aktivitas PMR dimediasi melalui guru, khususnya melalui teacher's beliefs tentang bagaimana mengorganisir dan memfasilitasi murid belajar matematika. Dalam konteks ini, LPTK (pre-service atau in-service) memainkan peranan penting. Salah satu strategi kunci dalam situasi ini adalah melibatkan mereka, guru atau calon guru, dalam pengembangan profesi mereka (professional development) menggunakan strategi berikut: (1) kuliah alau training singkat (untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru atau calon guru), (2) pengembangan kurikulum (dengan mengadaptasi materi pembelajaran inovasi langsung ke kelas atau sekolah); dan (3) teknologi (untuk menyediakan media infonnasi yang kaya dan pendekatan baru itu).
2.4 Kurikulum PMR
Pendidikan Matematika Realistik mulai diperkenalkan dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia, yang tidak lain merupakan pengembangan gagasan pemikiran dari Freudenthal (1905-1990). Ide penerapan PMR pertama kali diperkenalkan di Negeri Belanda sekitar tahun 1970 oleh Institut Freudenthal, yang mengacu pada pemikiran Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini bermakna bahwa, matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti, manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan masalah-masalah realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak hanya mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).
Pertanyaan mendasar yang ingin dikemukakan adalah “bagaimana memperkenalkan PMR kepada guru-guru di sekolah dan bagaimana upaya pengimplementasiannya secara efektif di sekolah?”
Menurut Hadi (2001), pertanyaan tersebut menyangkut pendesainan program pengembangan profesional guru, dan sebagai konsekuensinya perlu disediakan materi kurikukum yang berbasis PMR sebagai bagian yang tak terpisahkan dari program tersebut. Persoalannya kemudian adalah masih belum tersedia materi kurikulum yang berbasis PMR dan relevan dengan kurikulum yang saat ini berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut ada dua altematif, yaitu apakah mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia atau mengadaptasi materi PMR yang sudah ada dengan menyesuaikan konteksnya dengan konteks Indonesia. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga, yang relevan adalah mengadaptasi. Materi PMR yang dipilih diambil dari MiC (Mathematics in Contect) yaitu materi PMR untuk kelas 5/6 s.d. 8/9 yang dikembangkan oleh University of Wisconsin dan Institut Freudenthal. Pertanyaan-pertanyaan operasional berikutnya adalah: (1) Dalam konteks Indonesia, bagaimanakah mengadaptasi materi PMR dari MiC? (2) Dalam implementasinya, bagaimanakah mengenalkan PMR kepada guru matematika? (3) Upaya pengelolaan yang bagaimana seharusnya dilakukan dalam mempersiapkan guru agar mampu mengajarkan PMR secara tepat dan efektif di sekolah?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut di atas, kiranya dibutuhkan pemikiran yang lebih luas dan usaha yang tepat dalam mempersiapkan kurikulum PMR yang sesuai untuk kondisi pedidikan dan budaya masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini PMR merupakan teori baru bagi sebagian besar orang di Indonesia, terutama para guru.
Pada dasarnya guru-guru matematika, dapat dikategorikan sebagai kelompok yang tidak memiliki ide atau pengertian apapun tentang PMR. Oleh karena itu, tidak rasional mengharapkan mereka terlalu dini mampu menerapkan PMR di kelas sebelum mereka mengenal secara baik apa dan bagaimana PMR itu.
Menurut Sembiring (2001) dalam RME permasalahan disajikan sedemikian rupa sehingga dimungkinkan muncul beberapa alternatif pemecahan soal. Dengan demikian diharapkan para siswa, atau kelompok siswa, datang dengan berbagai alternatif pemecahan soal. Ini mendorong adanya diskusi. Cara kerja seperti ini akan menumbuhkan percaya diri dan sekaligus menanamkan prinsip demokrasi pada diri siswa. Jadi melalui RME kita menanamkan pemahaman demokrasi.
Menurut Soedjadi (1994) bahwa kurikulum matematika yang ada sekarang ini jelas terlihat penekanannya terletak kepada apa yang harus diajarkan, tetapi kurang mengarahkan kepada bagaimana megajarkan materi ajaran itu. Pada dasarnya kurikulum dibuat untuk dapat memenuhi tuntutan kehidupan maupun tuntutan perkembangan ilmu yang demikian pesat serta perkembangan teknologi yang sudah langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan matematika realistik dalam perkembangan suatu bangsa di masa depan akan semakin penting, baik dalam makna formal (penataan nalar dan pembentukan sikap mental) maupun dalam makna material (terutama penggunaan matematika realistik). Perkembangan ilmu dan teknologi semakin menuntut pemilihan materi matematika yang tepat untuk melayaninya. Ini jelas menuntut fleksibilitas kurikulum. Dalam pada itu kurikulum sekolah di suatu negara dapat melepaskan diri dari keadaan nyata lingkungan masyarakat negara itu. Indonesia yang satu tetapi bineka ini memerlukan kurikulum yang tidak melupakan mereka yang terbelakang sekaligus tidak membiarkan Indonesia selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum PMR yang berani jauh ke depan tanpa selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum yang berani jauh ke depan tanpa melupakan kenyataan yang kini ada. Memperhatikan hal-hal tersebut maka kurikulum matematika realistik sekolah di Indonesia harus diorientasikan kepada upaya mengangkat keterbelakangan dan mengejar ketertinggalan.
Mengapa kurikulum PMR perlu diorientasikan kepada upaya itu? Memperhatikan pengalaman, pengamatan dan hasil penelitian sporadis, jelas terlihat bahwa ada wilayah/sekolah yang sudah siap untuk cepat maju tetapi juga ada wilayah/sekolah yang memang secara nyata belum siap untuk maju cepat. Kenyataan demikian memerlukan rumusan kemampuan, yang perlu sesuai dengan lingkungan yang menuntut tingkah penalaran yang beragam. Berikut ini dikemukakan bagaimana orientasi kurikulum matematika sekolah itu perlu dijabarkan secara lebih jelas.
Organisasi kurikulum atau bentuk kurikulum menentukan bahan pelajaran, urutan, dan cara penyampaiannya kepada siswa. Subjek berarti pengalaman manusia yang disususn secara logis dan sistematis, atau diartikan juga mata pelajaran. Subjek kurikulum adalah bentuk kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran.
Apabila kurikulum matematika realistik itu dipandang sebagai suatu sistem, maka kurikulum matematika mempunyai 4 komponen utama yakni: (1) tujuan, (2) kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tersebut, (3) pengetahuan, yakni bahan pelajaran matematika realistik yang diperoleh dan digunakanan dalam proses belajar, dan (4) penilaian atau evaluasi hasil belajar matematika realistik yang gunanya untuk mengetahui hingga mana tujuan itu tercapai.
Keempat komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Tujuan yang telah ditetapkan itu menentukan bahan pelajaran apa yang harus dipilih yang dapat membawa siswa ke arah tujuan yang ditentukan. Bahan pelajaran matematika menentukan kegiatan belajar matematika yang harus dialami siswa. Jadi lebih dahulu harus dirumuskan tujuan, barulah kemudian bahan pelajaran matematika dan kegiatan belajarnya. Tujuan juga menentukan penilaian, apa yang dinilai dalam matematika dan bagaimana cara menilainya. Menilai pengetahuan matematika tidak sama caranya dengan menilai sikap atau keterampilan. Yang dinilai bukan hanya tujuan, melainkan juga bahan pelajaran dan kegiatan belajar. Jika komponen tujuan tidak tercapai, mungkin kesalahannya terletak pada komponen-komponen lainnya.
Dalam pembelaajran matematika realistik harus diperhatikan keseimbangan antara kononen-komponen itu. Pada experince atau capacity curriculum misalnya, terlampau mengutamakan kegiatan atau pengalaman belajar dan kurang mementingkan unsur pengetahuan, sedangkan subject curriculum mengutamakan aspek pengetahuan dan kurang mementingkan kegiatan atau pengalaman belajar. Gambaran komponen tujuan ini sebagai berikut.
Kurikulum PMR tidak hanya mengenai bagaimana mengorganisasikan dan mengintegrasikan bahan pelajaran matematika realistik itu sendiri, tetapi juga penilaian terhadap hasil diagnosis mengenai kelemahan atau kekuatan komponen-komponen kurikulum, sehingga dapat diketahui komponen mana yang perlu diperbaiki, misalnya mengajar, dan bahan pelajaran tidak sesuai dengan tingkat kematangan siswa.
Salah satu unsur pokok dalam pengajaran matematika realistik adalah matematika itu sendiri. Guru matematika realistik harus mengetahui objek yang akan diajarkan yaitu matematika secara umum yang bersifat nyata. Apakah matematika itu? Matematika adalah pengetahuan mengenai kuantitatif dan ruang, salah satu cabang dari sekian banyak cabang ilmu, yang sistematis, teratur dan eksak. Matematika adalah angka-angka dan perhitungan yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Matematika menolong manusia menafsirkan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan-kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem numerik Matematika membahas fakta-fakta dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang dan bentuk.
Matematika adalah queen of science (ratunya ilmu). Walau reputasinya tidak bernoda dalam hal metode, validitas dan logikanya, namun masih mempunyai problem dalam hal dasar logika. Matematika hanya dikembangkan secara sebagian-sebagian dan terus menerus mengalami perubahan, baik metode maupun isinya. Walaupun matematika jauh lebih eksak dari ilmu-ilmu sosial, dan lebih eksak dari ilmu-ilmu fisik, matematika tidaklah eksak secara absolut. Bagi seseorang yang telah diindoktrinasi dalam hal kebenaran absolut dan kesempurnaan matematika, jika melakukan studi tentang ahli-ahli dan sejarah matematika, bisa kehilangan harapan, tetapi bisa menemukan cahaya terang.
Orientasi pengajaran matematika kita saat ini cenderung sangat prosedural. Secara gamblang seorang guru menyatakan bahwa selama ini mereka (para guru matematika) mengajarkan siswa-siswa menghafalkan rumus-rumus atau prosedur matematik tertentu. Kehadiran PMR dirasakan dapat memperbaiki kondisi tersebut, yaitu mengubah pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
Agar pembelajaran bermakna bagi siswa maka pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik. Kemudian siswa diberi kesempatan menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri dengan skema yang dimiliki dalam pikirannya. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi, dan mencari strateginya yang sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi dan tidak serta merta siswa telah melakukan aktivitas konstruksi. Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitsnya melakukan refleksi, interpretasi, dan internalisasi. Rekonstruksi itu dimugkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok kecil maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Guru membimbing mereka untuk menarik kesimpulan bagi diri masing-masing-masing. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau reinvention. Mula-mula matematisasi berlangsung secara horizontal dan dengan bimbingan guru siswa melakukan matematisasi vertikal (Marpaung: 2001).

2.5 Mempersiapkan Materi Kurikulum PMR
Penerapan PMR secara tepat guna di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dan ketersediaan materi kurikulum berbasis PMR. Untuk itu diperlukan materi kurikulum dengan konteks Indonesia.
Menurut Hadi (2001) mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia akan memakan waktu yang panjang karena harus melalui rangkaian: (1) olah fikir (pengembang mendesain materi PMR yang relevan dengan kurikulum yang berlaku); (2) ujicoba dengan kelompok kecil siswa (oleh pengembang sendiri); (3) revisi berdasarkan hasil uji coba skala kecil; (4) uji coba oleh guru di kelas; dan (5) revisi berdasarkan hasil uji coba di kelas.
Apabila rangkaian evaluasi dan revisi terhadap draft materi kurikulum PMR tersebut dilaksanakan secara baik, akan menghasilkan materi yang userfriendly baik bagi siswa maupun guru. Walaupun demikian, ini tidak menjamin bahwa materi tersebut akan mendorong peningkatan prestasi siswa dalam belajar matematika. Ini akan dibuktikan setelah guru dan siswa menggunakan materi tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Berkaitan dengan pengembangan materi kurikuluni PMR beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian: (1) konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa; (2) bahasa yang digunakan harus sederhana dan jelas; dan (3) gambar harus mendukung konsep.
Apabila upaya mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dianggap tidak efisien dalam jangka pendek, dapat dilakukan adaptasi terhadap materi PMR yang sudah ada. Ini jauh lebih mudah dibanding mengembangkan sendiri. Namun beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian:
(1) Tidak setiap konteks dapat langsung diadopsi, mengingat perbedaan budaya dan pengalaman siswa kita dengan siswa luar negeri. Bahkan untuk konteks yang sudah dikenal siswa, pengalaman sebelumnya tentang konteks tersebut dapat mempenganthi mereka dalam menyelesaikan soal.
(2) Apabila konteks yang ingin diadaptasi dirasakan oleh pengembang cukup dikenal, persoalan selanjutnya adalah pengadaptasian dan penerjemahan soal yang menyertai konteks tersebut. Penerjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia harus menyampaikan pesan yang sama agar tidak membingungkan.
(3) Sedapat mungkin konteks dapat menjelaskan pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan lisan. Hal ini terutama penting untuk ukuran kelas yang besar (40 s.d. 45 siswa per kelas). Karena kalau konteks masih memerlukan penjelasan lisan dari guru akan memakan waktu yang lama sebelum siswa-siswa siap bekerja menyelesaikan soal dalam materi kurikulum (buku siswa).
(4) Gambar dapat mempengaruhi siswa. Beberapa siswa menggunakan/menafsirkan gambar untuk menyelesaikan soal. Karena penafsiran yang keliru terhadap gambar yang menyertai soal, jawaban siswa menjadi salah.

2.6 Panguasaan Materi Ajar PMR
Menurut Putman (1987), tujuan pengajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar. Salah satu aspek penting dalam pencapaian transfer belajara matematika itu agar siswa menguasai konsep-konsep matematika, dan keterampilan PMR sehingga dapat diaplikasikan dalam pemecahan masalah. Dari semua aspek yang telah dikemukakan di atas, tidaklah mengherankan jika dijumpai kenyataan bahwa penguasaan materi ajar PMR dari peserta didik masih perlu dikemas dengan lebih menarik. Lebih dari itu, adanya kenyataan bahwa peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal atau masalah yang sedikit saja keluar dari kurikulum atau dari buku paket. Menurut Soejadi (1992) bahwa kelemahan bermatematika siswa di jenjang SD yang sering diungkapkan oleh beberapa pihak, antara lain: (1) tidak dapat dengan cepat mengerjakan perkalian,dan pembagian; (2) mengerjakan pecahan; (3) memahami geografi; (4) menyelesaikan soal ceritera
Kelemahan-kelemahan tentang hal-hal yang mendasar di SD berpengaruh terhadap panguasaan materi ajar di SLTP dan juga di SMU; selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kemampuan melakukan analisis. Penguasaan materi ajar yang tidak mantap mengakibatkan gejala umum yaitu terlupakan dalam satu minggu.
Menurut Suharta (2001), dalam pengajaran matematika realistik dibutuhkan upaya: (1) penemuan kembali terbimbing dan matematisasi progresif; (2) fenomena didaktik; dan (3), mengembangkan model-model sendiri.
Dalam hal pertama, pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengalami sendiri proses penemuan matematika. Prinsip ini dapat memberikan inspirasi yang menerapkan prosedur pemecahan informal, di mana melalui matematisasi, siswa harus diberikan kesempatan untuk melakukan proses penemuan kembali (reinvention) konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya. Hal ini dapat dicapai bilamana pengajaran matematika realistik yang dilakukan menggunakan situasi yang kondusif berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika realistik bagi siswa.
Dalam hal kedua, pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistik harus menetapkan aspek aplikasi, dan mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif. Dalam hal ini siswa akan menggunakan pengetahuan matematika informal yang mereka miliki untuk memecahkan masalah matematika realistik yang mereka hadapi. Strategi-strategi informal yang dikemukakan siswa akan bervariasi, dan dengan demikian strategi-strategi informal yang diberikan oleh guru tidak sama dengan yang dikemukakan siswa, berarti akan ada peningkatan pengetahuan bagi siswa. Seorang guru matematika harus mampu mengakomodasi strategi-strategi informal yang dikemukakan oleh siswa dan dipergunakan sebagai alat untuk menuju pengetahuan matematika formal.
Dalam hal ketiga, pemecahan masalah matematika realistik harus mampu dijembatani melalui pengembangan model-model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau dari pengetahuan matematika informal ke bentuk pengetahuan matematika formal. Artinya, model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan masalah yang mampu menciptakan kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktivitas di bawah bimbingan guru. Melalui matematisasi horizontal, model tentang masalah berubah menjadi model untuk pengetahuan matematika formal, dan melalui matematisasi vertikal berubah menjadi model pengetahuan matematika formal.
Menurut Suwarsono (2001), kekuatan-kekuatan yang diperlukan untuk mengatasi kerumitan mengimplementasikan PMR di sekolah antara lain:
(1) Pemahaman tentang PMR dan upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar, mengenai berbagai hal, misalnya mengenai siswa, mengenai guru, mengenai peranan soal, peranan konteks, peranan alat peraga (manipulative materials), pengertian belajar, dan lain-lain.
(2) Pencarian soal-soal yang kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut masing-masing harus dapat diselesaikan dengan bermacam cara.
(3) Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan setiap soal juga merupakan tantangan tersendiri.
(4) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, dengan melalui soal-soal yang kontekstual, proses matematisasi horisontal, dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu. Dalam hal ini diperlukan microdidaktics.
(5) Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan PMR.
(6) Penilaian dalam PMR lebih rumit daripada dalam pembelajaran yang konvensional (Lihat Verhage & de Lange, 1996).
(7) Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip PMR.

2.7 Matematisasi Horizontal dan mateamtisasi Vertikal dan kaitannya dengan Berpikir Lateral dan Berpikir Vertikal
Dalam pengajaran matematika realistik ini dapat dilakukan dua pendekatan yaitu melalui matematisasi horizontal dan vertikal (Treffers:1991). Ia mengatakan sebagai berikut: “Matematisasi horizontal adalah pemodelan situasi masalah yang dapat didekati dengan makna matematika. Atau dengan kata lain: menggiring dari dunia yang dirasakan kepada dunia lambang. Sepanjang pembagian tersebut kita mengamati bahwa dalam dunia konkrit berupa dunia yang dirasakan, hal tersebut bukan suatu indikasi tingkat kemutlakan tetapi sesuatu yang bersifat relatif. Misalnya, dari bagian-bagian dunia lambang dapat menjadi bagian dari dunia yang dapat dirasakan, dan dalam kenyataannya dapat bersifat pribadi. Matematisasi vertikal diarahkan pada perluasan dan bangunan keterampilan dan pengetahuan yang dirasakan di dalam sistem materi pokok yang terdapat dalam dunia lambang”.
Sementara menurut de Lange (1996), matematisasi horizontal mencakup: proses informal siswa untuk menyelesaikan sebuah soal, membuat model matematika, melakukan translasi antara modus yang ditampilkan, membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain. Sedang matematisasi vertikal mencakup: proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula, pembuktikan keteraturan, mendesain model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan berbagai persoalan matematika realistik, prosedurnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Contoh matematisasi horizontal adalah: pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika.
Contoh matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam rumus, penghalusan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi memiliki nilai yang sama dalam PMR (Valden Heuvel-Panheuizen, dalam Suharta: 2001), dan hal ini digambarkan sebagai berikut:


Dalam PMR kedua jenis matematisasi tersebut berkaitan dengan cara berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Kedua pemikiran itu disebut sebagai berpikir lateral dan berpikir vertikal. Perbedaan kedua cara berpikir itu, menurut de Bono (1987) adalah sebagai berikut: Yang menjadi permasalahan dalam berpikir vertikal adalah kebenaran, sedangkan yang menjadi permasalahan dalam berpikir lateral adalah kekayaan ragam pemikiran. Berpikir vertikal menyeleksi jalur jalan dengan menyampingkan jalur jalan lainnya. Sebaliknya, berpikir lateral tidak menyeleksi tetapi berupaya merintis jalur jalan lainnya. Dalam berpikir vertikal kita memilih pendekatan yang paling memberi harapan pada suatu masalah, cara terbaik untuk mencari suatu situasi. Dalam berpikir lateral kita sedapat-dapatnya mengembangkan sebanyak mungkin pendekatan alternatif. Dengan berpikir vertikal kita mencari berbagai pendekatan sampai menemukan pendekatan yang memberi harapan. Dengan berpikir lateral kita berupaya mengembangkan terus sebanyak mungkin pendekatan, bahkan setelah kita menemukan sesuatu yang memberi harapan. Dengan berpikir vertikal kita mencoba memilih pendekatan yang terbaik, tetapi dengan berpikir lateral kita mengembangkan berbagai pendekatan demi pengembangan pendekatan. Dengan berpikir vertikal, kita bergerak ke suatu arah yang sudah ditetapkan dengan jelas ke arah pemecahan masalah. Kita menggunakan beberapa pendekatan yang nyata atau beberapa teknik yang nyata. Dengan berpikir lateral kita bergerak demi gerakan itu sendiri.

2.8 Kekuatan dan Kelemahan Matematika Realistik
Mengungkap berbagai kekurangan sama artinya mengemukakan berbagai kelemahan yang muncul di depan mata kita, sebagai suatu kenyataan apa adanya, hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran matematika yang telah berjalan pada kurun waktu yang lampau secara mutlak dipersalahkan atau sama sekali tidak memberi manfaat secara nyata kepada peserta didik. Namun, pemaparan berbagai kelemahan itu lebih diartikan sebagai titik tolak untuk mengambil tindakan positip sebagai upaya memberikan antisipasi berupa tindakan konkrit bertahap yang harus ditempuh selama pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Menurut Mustaqimah (2001) keunggulan dan kelemahan PMR adalah sebagai berikut:
Keunggulan
Kelemahan
1. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya

2. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya
4. Memupuk kerja sama dalam kelompok
5. Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya
6. melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat
7. Pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang berbicara
1. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya
2. Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah
3. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai
4. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu
5. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi/memberi nilai


2.9 Problem Solving Matematika Realistik
Dalam pembelajaran matematika realistik, salah satu hal yang penting dikuasai oleh seorang guru adalah bagaimana siswa mampu memecahkan masalah matematika yang sedang dihadapinya. Menurut Hudoyo (1981), pengajaran matematika akan dapat berlangsung efektif jika guru yang mengajarkan matematika memiliki keterampilan dalam proses pengerjaan matematika di kelas. Penyelesaian masalah dalam matematika realistik tidak terlepas dari bagaimana strategi belajar mengajar menyelesaikan masalah (problem solving) yang senantiasa muncul di kelas. Mungkin mengherankan untuk diketahui bahwa dalam mempelajari sifat-sifat masalah sedikit kegunaannya dalam menjelaskan pengertian problem (masalah). Pengertian problem terdapat dalam sikap orang menghadapi situasi yang mungkin merupakan problem atau bukan problem bagi mereka.
Namun demikian, apakah situasi tertentu dalam matematika realistik itu merupakan problem atau bukan bagi seorang siswa, tergantung pada bagaimana siswa menghadapi situasi itu. Dengan demikian dapat kita definisikan problem itu sebagai berikut: suatu situasi merupakan suatu problem bagi seseorang, jika orang itu menyadari eksistensinya situasi itu, perlu menghendaki tindakan, dia mau atau perlu bertindak, dia melakukan tindakan, dan dia tidak segera mampu menyelesaiakan problem itu. Dengan demikian problem solving dalam matematika adalah penyelesaian dari satu situasi dalam matematika yang dipandang sebagai satu peroblem matematika (Murtadho dan Tambunan: 1987).
Apabila definisi problem di atas dipertahankan, maka himpunan soal-soal latihan matematika realistik di sekolah harus diberi nama soal-soal latihan (exercises), bukan problem. Dalam hal ini, apakah soal-soal latihan matematika itu merupakan problem atau tidak, bergantung bagaimana siswa memandangnya dan tergantung pula bagaimana dia menyelesaikannya.
Yang perlu kita kritisi adalah kebanyakan soal-soal latihan dalam buku-buku teks matematika dirancang untuk latihan (drill) dan praktek rutin, walau banyak dari latihan dan praktek itu (tentu yang lebih sulit) benar-benar merupakan problem bagi hampir semua siswa. Di samping itu, tidak terlalu penting jika latihan, soal latihan, dan praktik itu disebut problem dan prosedur penyelesaiannya disebut keterampilan problem solving. Bagaimanapun juga, yang terpenting adalah guru matematika dan siswa mengetahui perbedaan antara belajar keterampilan matematika dengan menyelesaiakan soal-soal latihan dan belajar pendekatan umum terhadap problem solving matematika realistik dengan cara menyelesaiakan situasi yang benar-benar merupakan problem.
Secara umum para guru matematika percaya bahwa problem solving adalah aktivitas instruksional yang sangat penting dalam pengajaran matematika realistik, sebab tujuan belajar (learning objective) yang melalui penyelesaian problem dan melalui belajar prosedur problem solving umum, sangat nyata pentingnya dalam masyarakat. Penemuan-penemuan penelitian menunjukkan bahwa strategi umum problem solving yang dipelajari dalam kelas matematika, dapat ditransfer dan digunakan ke situasi problem solving lainnya. Prinsip-prinsip yang dipelajari dan diaplikasikan dalam problem solving lebih banyak kemungkinannya ditransfer ke situasi problem solving lainnya daripada prinsip-prinsip yang tidak diaplikasikan dalam penyelesaian problem-problem.
Problem solving matematika realistik dapat menolong siswa meningkatkan kemampuan menganalisis dan dapat menolong mereka menggunakan kemampuan ini dalam situasi berbeda-beda. Penyelesaian problem dapat juga menolong siswa belajar fakta matematika keterampilan konsep dan prinsip-prinsip dengan mengilustrasikan pemakaian objek-objek matematika realistik dan interelasi objek-objek itu.
Karena problem solving adalah aktivitas yang mempesonakan hampir semua siswa, maka penyelesaian problem dalam pelajaran matematika realistik dapat meningkatkan motivasi, yaitu dapat membuat matematika realistik lebih menarik siswa. Akan tetapi problem solving dapat pula menurunkan motivasi, jika kecepatan, ketepatan, format, kenecesan, dan mencari jawaban yang benar, menjadi tujuan pengajaran problem solving di sekolah. Problem solving itu sulit dan dapat memfrustasikan siswa jika guru tidak menunjukkan kesabaran, pengertian, dan memberikan esistensi yang tidak mendorong siswa. Apabila guru mengerjakan problem solving dengan menciptakan lingkungan kelas yang menyenangkan dan mendukung, siswa dapat merasakan kepuasan mencari penyelesaian yang kreatif dan asli dari problem-problem matematika realistik tersebut.
Problem solving adalah proses dasar dalam matematika realistik dan merupakan sebagian karya para matematikawan yang jumlahnya banyak sekali. Oleh karena itu, siswa dapat mempelajari hakikat metematika dan aktivitas pakar matematika lebih baik, jika mereka menyelesaikan problem matematika secara realistik. Karena meneruskan warisan kebudayaan adalah tujuan yang penting dari sistem pendidikan, maka objek (fakta, keterampilan, konsep, prinsip-prinsip) dan metode (strategi problem solving) matematika realistik, yang merupakan bagian yang penting dari warisan ini harus diteruskan kepada siswa.
Problem dapat berasal dari berbagai sumber. Banyak problem yang dapat dikembangkan dari buku-buku teks yang sedang dipelajari. Yang lain dapat dikembangkan dari model-model situasi hidup di luar kelas. Yang lain lagi, dapat dikembangkan melalui penelitian berbagai keingintahuan akan matematika atau teka-teki matematika yang bersifat reaksional. Pengembangan problem matematika ini dapat dilakukan dengan cara: (1) mengembangkan problem dari materi dasar, (2) mengembangkan problem dengan teknik variasi, (3) pengembangan problem dari situasi hidup, dan (4) mengembangkan problem dari keingintahuan dan teka-teki matematika.

3. Simpulan
Dari kajian di atas disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menerapkan pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pematematisasian pengalaman hidup sehari-hari dan mengaplikasikannya dalam dua real yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
(2) PMR berdasarkan pada ide teori Real Mathematics Educatiom (RME) yang menerapkan konteks dunia real, dan menggunakan model matematika, memproduksi hasil dan mengembangkan kemampuan siswa melalui interaksi guru dengan cara yang ramah, dan bersifat komunikatif.
(3) Model PMR akan membantu siswa membentuk sendiri pemahaman matematikanya dengan bantuan guru.
(4) Untuk melakukan perubahan pada diri siswa guru harus ikut melakukan perubahan dalam kepribadiannya, serta pengetahuan guru tentang alur belajar siswa juga harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
(5) Kita harus mampu menyiapkan materi kurikulum PMR yang memenuhi standar kualitas sebagaimana yang tercermin dalam ajaran-ajaran PMR, dan tidak sepadat materi yang terdapat dalam kurikulum sekarang ini.
(6) PMR akan lebih efektif diterapkan pada kelas yang tidak terlalu besar, berkisar 25-30 siswa yang ada di dalamnya.
(7) Pendekatan realistik yang menuntut kontribusi siswa, seyogianya memberi kesempatan bagi siswa untuk melakukan refleksi, sementara guru harus berperan sebagai model dalam merefleksi yang dilakukan secara efektif dan konsisten.

Pustaka Acuan
De Bono, Edward. 1987. Berpikir Lateral. Buku Teks Kreativitas. Jakarta: Erlangga
De Lange, J. 1996. “Using Applying Mathematics in Education: Dalam International Handbook of Mathematics Education, Part One, Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
--------------. 1997. Mathematics, insight and meaning. Utrecht: OW & OC.
Freudenthal, H. 1991. Revisiting mathematics education. China Lectures. Dordrecht: Kluwer
Academic Publisher.
Gravemeijer. 1994. Developing Realictics Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press/Freudenthal Institute.
Hadi, Sutarto. 2001. PMRI: beberapa catatan sebelum melangkah lebih jauh. Makalah Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Mastiqomah, Siti., Rumgayatri., dan Ratini. 2001. Pengalaman Dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika Secara realistik di MIN Yogyakarta II. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Murtadho, Sutrisman & Tambunan, G. (1987) Pengajaran Matematika. Jakarta: Karunika.
Putman, Ralp T. 1987. Mathematics Knowledge For Under Standing And Problem Solving. International Journal Of Educational Research. 11. (16). P. 67-70
Sembiring, R. K. 2001. Mengapa Memilih RME/PMRI. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context.” Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000).
Soedjadi. 1994 Orientasi Kurikulum Matematika Serkolah di Indonesia Abad 21. pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. Jakarta: Grasindo.
----------. 2001. Pembelajaran Matematika Berjiwa RME (suatu pemikiran rintisan ke arah upaya baru). Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Suyatno, M. 1988. “Minat siswa terhadap matematika perlu ditumbuhkan”. Jakarta: Kompas. Tanggal 1 Februari
Syarien, Syafrinal. 1991. “Ada Gejala ‘matematika phobia”. Hasil Konferensi Nasional Matematika IV di Universitas Indonesia..” Bandung: Pikiran Rakyat tanggal 15 Juli
Undng-Undang Sistem Pedidikan Nasional (UU RI Nomor 2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika,
Zulkardi. 2001. Efektiviitas Ligkungan Belajar Berbasis Kuliah Singkat dan Situs Web sebagai suatu Inovasi Dalam Menghasilkan Guru RME di Indonesia. Makalah disajikan pada seminar nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
TIMSS. 1999. International Students Achievement in Mathematics. http://timss:bc.edu/timss1999i/pdf/T99i math 01.pdf
*) Asmin, adalah dosen FMIPA Universitas Negeri Medan, kandidat Doktor di Uiversitas Negeri Jakarta
Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.044 - September 2003, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas

























Overview RME Apa RME?
Realistic mathematics education (RME) adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang dikembangkan pertama kali di negeri Belanda. Teori ini berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus di hubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui process matematisasi baik horizontal maupun vertikal .
Apa karakteristik RME?
RME mempunyai lima karakteristik: (1) menggunakan konteks yang real terhadap siswa sebagai titik awal untuk belajar; (2) menggunakan model sebagai suatu jembatan antara real dan abstrak yang membantu siswa belajar matematika pada level abtraksi yang berbeda (3) menggunakan produksi siswa sendiri atau strategy sebagai hasil dari mereka "doing mathematics"; (4) interaksi adalah penting untuk belajar matematika antara guru dan siswa, siswa dan siswa; dan (5) keterkaitan anatara unit-unit matematika dan masalah-masalah yang ada dalam dunia ini.
Materi RME
Bagaimana menggunakan materi RME?
Persiapan yang baik bagi seorang guru adalah menyiapkan materi pelajaran dengan mengerjakan semua soal secara berurutan seperti seorang siswa. Ini dikatakan dengan konsep "guru sebagai siswa" (teacher as learner). Catat semua solusi yang anda gunakan. Setelah itu, baca petunjuk guru yang biasanya berisi contoh solusi dan petunjuk. Dengan membandingkan solusi yang kamu gunakan dengan solusi yang ada pada petunjuk guru, engkau akan mendapatkan pemahaman yang tiggi akan materi tersebut dan akan apa yang dialami siswa anda di kelas. Mungkin juga anda akan menemukan strategy berbeda yang menambah kaya pengetahuan anda sebagai guru.
Bagaimana mengenalkan lesson materials?
Beri informasi kepada siswa bahwa materi RME mungkin sangat berbeda dari buku-buku yang telah mereka gunakan dulu. Saat mengenalkan materi coba untuk mengikuti ide berikut ini:
· Materi RME lebih dari sekedar komputasi. Hal ini akan membantu siwa untuk mengembangkan daya pikir dan kemampuan berargumentasi yang dapat mereka gunakan selama hidupnya. Katakan pada siswa bahwa gambar-gambar dan alat-alat yang mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah atau soal juga sangat berbeda dari yang biasa mereka gunakan tetapi akan membantu untuk matematika lebih jelas bagi mereka.
· Kebanyakan soal-soal dapat diselesaikan dan dijelaskan dengan lebih dari satu cara. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan perbedaan strategy dan kemudian menentukan mana yang terbaik untuk suatu masalah atau sola Jelaskan bahwa sesekali anda akan bertanya siswa tertentu untuk turut serta aktif dengan menjelaskan idenya dan pada kesempatan lain anda akan meminta siswa untuk mendengarkan dan menganalisa pendapat kawannya tersebut.
· Untuk memberikan kesempatan siswa menjelaskan pemikirannya dan mengerti pemikiran seseorang, para siswa akan sesekali kerja dengan kawan sebangkunya atau kelompok kecil.
· Jelaskan bahwa siswa mungkin akan suprise tehadap variasi soal atau materi yang dipakai.
Metode
Bagaimana memulai pelajaran RME?
Gunakan ide berikut bila memulai pelajaran menggunakan metode realistik:
· Materi RME lebih dari sekedar menghitung tetapi membangun kemampuan berfikir dan berargumentasi yang dapat dipakai oleh siswa selamanya. Materi yang dipakai berbeda dengan materi lama.
· Kebanyakan soal dapat diselesaikan lebih dari satu strategi atau solusi. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan perbedaan strategi memutuskan mana yang terbaik untuk soal itu. Dalam diksusi guru akan menanya siswa tertentu untuk menjelaskan idenya dan dilain waktu siswa tertentu akan diminta mendengarkan dan menganalisa jawaban temannya.
· Siswa bisa bekerja sendiri atau berdua atau dalam grup kecil untuk mendapat kesempatan lebih banyak menjelaskan pikiran dan pengertiannya.
Bagaimana mengelola kelas?
Suksenya implementasi materi RME tergantung pada kemampuan guru untuk membuat suatu iklim dimana siswa mau mencoba berfikir dengan cara baru dan mengkomunikasikan apa yang dihasilkannya. Jika guru menghargai perbedaan jawaban siswa, maka siswa akan respek untuk mencoba idenya. Gunakan pengarahan seperti:Dengar penjelasan temanmu . Bagaiamana hal ini bisa berbeda dengan jawabanmu? Peran anda sebagia guru untuk memberi semangat atau motivasi interaksi diantara siswa. Jika mereka kesulitan di groupnya, maka diskusi kelas akan membantu. Terutama dalam hal evaluasi strategi mana yang paling cocok untuk suatu masalah.
Assessment in RME
How to conduct assessment in RME?
Doing assessment during the lesson, teachers may ask students to write an essay, to do experiment, collect data, and to design exercises that can be used in a test, or to design a test for other students in the classroom. Assessment can be continued by giving the students some problems as homework. But, in order to relate with the national standarized test, the assessment procedures should reflect the goals of the curriculum.
The following five principles of assessment as a guide in doing assessment in RME:
· The primary purpose of testing is to improve learning and teaching. It means assessment should measure the students during the teaching-learning process in addition to end of unit or course.
· Methods of assessment should enable the students to demonstrate what they know rather that what they do not know. It can be conducted by having the problems that have multiple solution with multiple strategies.
· Assessment should operationalize all of the goals mathematics education, lower, middle, and higher order thinking level.
· The quality of mathematics assessment is not determined by its accessibility to objective scoring. In this case, objective test and mechanical test should be reduced by providing the students with the tests in which we really can see whether they are understand the problems.
· The assessment tools should be practical, available to the applications in school cultures, and accessibility to outside resources.
Focus of the assessment in RME
· Observation. As students work individually, discuss their ideas with each other, or listen to other student's idea, watch for evidence of their understanding of and comfort with the mathematics. When possible, observe students as they make drawings or manipulate models because this process can provide insight into student's problem-solving strategies. Recording your observations as you make them helps ensure that you don't overlook something
· Interactive responses. Pay attention to how students respond to your questions and to those from other students. Record how they clarify and revise their ideas as part of a discussion. Consider how effectively student can extend their understanding by building on each other's ideas and whether students need or take advantage of your probing questions and hints.
· Products. Look for clarity and quality of thought in the students' solution to problems completed in class and as home work, their group and individual projects, and their writing. Consider students' preferred methods of solving problems and note whether they use informal or formal strategies.
Assessment opportunities and materials
Ongoing assessment opportunities. Some of the problems within sections allow teachers to informally assess students. The summary at the end each section includes problems that allow students to apply what they have learned to a new problem context and these problems can be useful for informal assessment.
End-of-unit assessment opportunities. More formal assessment opportunities are provided in this part.
Scoring
In RME , the process and product are important. The methods of scoring problems depend on the types of the questions in each problem. Most questions requires students to explain their reasoning or justify their answer. For these questions, consider the reasoning the students uses to solve the problems as well as the correctness of the answers. A holistic scoring scheme can be used to evaluate an entire task. For example, after reviewing student's work, you may assign key words such as beginning, developing, proficient, or enlightened to describe their mathematical problem-solving, reasoning, and communication.
Student self-evaluation
Self-evaluation encourages students to reflect on their progress in learning mathematical concepts, their developing abilities to use mathematics, and their attitudes toward mathematics. The following examples illustrate possible ways to incorporate student self-evaluation as one component of your assessment plan:
· Give a writing assignment entitled What I Know now about [a math concept] and What I Think about it. Student's responses will indicate their attitude toward mathematics, as well as their knowledge about concept
· Interview individuals or small groups about what they have learned, what they think is important, and why.
Portfolio assessment
A portfolio is a collection of student-selected pieces that is representative of a student's work and shows a change in the student's understanding overtime. It may also include teacher's comments about the pieces or more general comments about the student's mathematical experience and understanding.
Teacher-created assessment
Although the lessons contains assessment materials, you may want to create assessments that reflect your students' needs and interests and any extension activities they may have completed. Consider the following questions:
· Does the activity allow students to demonstrate their knowledge instead of identifying what they don't know?
· Is the problem or activity meaningful to the student?
· Does the activity require students to integrate several different concepts or make generalization?
· Are the assessment activities engaging for students? Are the context varied? are the first few questions in the activity designed to build students' confidence?
· Is the activity embedded in a rich context that allows students to reason, make connections, and communicate mathematically?


PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN RAKYAT, AGAMA
DAN SOSIAL BUDAYA

A. UMUM

Pembangunan kesejahteraan rakyat dan sosial budaya sebagai bagian integral dari pembangunan daerah, meliputi pembangunan sub bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial, kesehatan, kependudukan, agama, ilmu pengetahuan dan tehnologi, kebudayaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga, serta sub bidang pemberdayaan perempuan dan anak.
Permasalahan-permasalahan pendidikan, saat ini yang mencuat di permukaan dan perlu segera mendapat perhatian meliputi : kualitas tenaga pendidik belum dapat memenuhi tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyaknya sarana dan prasarana pendidikan yang kurang mendukung proses belajar mengajar, masih lemahnya minat baca masyarakat. Permasalahan lainnya adalah belum mantapnya program wajib belajar 9 tahun, meningkatnya jumlah anak yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah dan tinggi atau putus sekolah sebagai akibat krisis ekonomi, masih rendahnya kesejahteraan guru terutama guru wiyata bhakti/tidak tetap, dan belum meratanya kesempatan pendidikan, serta kesenjangan kemampuan antar lembaga pendidikan. Selain itu masih belum di temukannya sumber-sumber pembiayaan untuk menyelenggarakan sekolah gratis pada jenjang pendidikan dasar.
Pada sub bidang ketenagakerjaan, permasalahan yang terjadi adalah pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dibandingkan dengan kesempatan kerja yang ada dan terlebih lagi dengan meningkatnya pemutusan hubungan kerja berakibat pada meningkatnya angka pengangguran. Di samping itu, masalah lainnya adalah masih kurangnya kualitas sumber daya manusia yang profesional untuk dapat mengakses pasar tenaga kerja primer, belum efektifnya pelaksanaan perlindungan terhadap tenaga kerja dan rendahnya motivasi untuk membuka lapangan kerja secara mandiri serta masihnya adanya perusahaan yang memberikan upah dibawah UMR.
Untuk sub bidang kesejahteraan sosial, permasalahan pokok yang ada adalah belum efektifnya penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang selama ini dilakukan, di sisi lain jumlah masyarakat PMKS makin meningkat. Masalah lainnya adalah masih rendahnya kepedulian masyarakat dalam ikut mengatasi PMKS, serta meningkatnya jumlah, jenis dan kualiatas patologi sosial.
Permasalahan yang terjadi pada sub bidang kesehatan meliputi, masih kurangnya sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan, masih kurangnya cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu dan kurang optimalnya sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, masih redahnya kesehatan lingkungan dan kesadaran hidup bersih dan sehat dari masyarakat, masih rendahnya masyarakat dalam memanfaatkan asuransi kesehatan, serta masih kurangnya tenaga medis.
Sedangkan untuk sub bidang kependudukan, permasalahan yang terjadi berupa masih tingginya pertumbuhan penduduk di Kota Semarang, masih tingginya jumlah keluarga pra sejahtera dan sejahtera I, belum memadainya kualitas data dan sistem informasi kependudukan, serta belum lengkapnya sarana dan prasarana untuk kelancaran pelayanan administrasi kependudukan.
Pada sub bidang agama, permasalahan yang ada berupa pemanfaatan agama untuk mengejar kehidupan duniawi, masih adanya kecenderungan penghayatan agama yang terjebak pada ritual keagamaan dan kurang mampu menjalankan esensi kehidupan beragama dalam konteks sosial, serta masih kurangnya toleransi umat beragama yang berakibat rawannya konflik antar umat beragama dan intern umat beragama itu sendiri.
Untuk sub bidang ilmu pengetahuan dan teknolongi, permasalahan yang muncul meliputi masih banyak program-program penelitian dan pengembangan yang dilakukan kurang memperhatikan kebutuhan riil masyrakat, serta masih adanya produk penelitian yang tidak berkualitas. Masalah lainnya adalah kurang optimalnya pemanfaatan iptek, belum tersedianya bank data, sistem dokumentasi dan sistem informasi hasil penelitian, sehingga belum banyak pihak-pihak yang dapat memanfaatkan. Masih rendahnya pemahaman dan kepatuhan masyarakat terhadap hak atas kekayaan intelektual (HaKI).
Pada sub bidang kebudayaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa permasalahan-permasalahan yang terjadi berupa belum optimalnya partisipasi masyarakat terhadap perlindungan dan pelestarian budaya serta peninggalan sejarah, belum tersalurnya kreativitas para seniman dengan semestinya, serta masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan dan kesenian. Di samping itu masih kurang optimalnya pemanfaatan pusat-pusat pengembangan kebudayaan dan belum tersedia ruang untuk berkembangnya aliran-aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada sub bidang pemuda dan olah raga adalah belum optimalnya peranan organisasi kemasyarakatan kepemudaan (OKP), belum optimalnya wawasan kebangsaan oleh pemuda, makin besarnya kecenderungan pemuda yang terjerumus dalam penyalahgunaan napza dan pelanggaran hukum, masih terbatasnya prasarana dan sarana olah raga, serta belum optimalnya pembinaan, pembibitan dan pemanduan bakat prestasi olah raga.
Sedangkan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada sub bidang pemberdayaan perempuan, anak dan remaja meliputi, masih rendahnya akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya produksi, masih rendahnya partisipasi dalam politik. Masalah lain adalah masih terdapat kesenjangan gender dalam sistem pengupahan, masih rendahnya perlindungan perempuan dari tindak kekerasan dalam berbagai bidang kehidupan. Masih belum optimalnya peran organisasi perempuan dalam upaya pemberdayaan perempuan. Masalah anak yang muncul adalah belum optimalnya perlindungan anak sesuai dengan hak-hak anak, hal ini tercermin dari masih banyaknya tindak kekerasan terhadap anak, eksploitasi anak, pelecehan seksual terhadap anak serta belum sensitifnya pemerintah dan masyarakat terhadap hak-hak anak.

B. PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

1. Arah Kebijakan
Kebijakan pembangunan pendidikan diarahkan pada upaya perluasan dan pemeratan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat, peningkatan kualitas lembaga pendidikan dan mutu pendidikan, peningkatan kemampuan akademik dan profesionalisme tenaga pendidikan. Disamping itu kebijakan pembangunan ini juga diarahkan pada peningkatan kesejahteraan tenaga dibidang kependidikan, pemberdayaan lembaga pendidikan di sekolah maupun luar sekolah, pencapaian efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, serta adanya keterkaitan antar sekolah dan dengan kebutuhan tenaga kerja.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mampu menghadapi setiap perubahan dan di harapkan dapat membentuk manusia seutuhnya yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, mandiri, bertanggungjawab dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Sasaran pembangunan ini adalah terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas melalui peningkatan mutu pendidikan, perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi semua masyarakat, tercapainya efektif dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, serta tercukupinya sarana dan prasarana pendidikan.

3. Program Pembangunan
Program pembangunan dalam pendidikan adalah :
a. Program pengembangan pendidikan dasar dan menengah
Pelaksanaan program pembangunan ini di maksudkan untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan pemerataan pelayanan pendidikan khususnya tingkat dasar dan menengah, serta untuk meingkatkan kualitas pendidikan tingkat dasar dan menengah melalui optimalisasi pelaksanaan pendidikan 9 tahun jalur sekolah termasuk di dalamnya anak-anak yang mempunyai kekhususan, pemberian kesempatan bagi kelompok kurang beruntung yang antara lain dari masyarakat miskin, anak jalanan dan anak terlantar untuk mengikuti pendidikan, dasar dan menengah, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan; peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan; serta pengembangan budaya minat baca pada masyarakat.

b. Program pengembangan pendidikan tinggi
Maksud program pembangunan ini adalah untuk mendorong berkembangnya lembaga pendidikan tinggi dan meningkatnya kualitas dan kuantitas lulusan pendidikan tinggi melalui peningkatan kerjasama di berbagai bidang pembangunan antara pemerintah kota dengan lembaga pendidikan tinggi, memberikan fasilitas pengembangan perguruan tinggi baik kurikuler maupun non kurikuler, mendorong peningkatan produk perguruan tinggi yang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat serta dunia usaha.
c. Program pembinaan tenaga pendidik
Maksud program pembangunan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalisme tenaga pendidik melaui pendidikan formal pada jenjang yang lebih tinggi, pendidikan non formal dalam rangka peningkatan ketrampilan.

d. Program peningkatan kesejahteraan guru
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan guru pra sekolah, sekolah dasar dan menengah dibawah naungan Diknas dan Depag baik negeri maupun swasta termasuk guru wiyata bhakti dan tidak tetap melalui penggalian dana partisipasi anggota BP3, bantuan dari pemerintah dan donatur dalam rangka perbaikan kesejahteraan guru.

e. Program pendidikan luar sekolah
Maksud program pembangunan ini adalah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan bakat dan minat dalam rangka meningkatkan kemampuan dan ketrampilan berusaha secara profesional melalui pembinaan pendidikan anak usia dini dan pra sekolah, pembinaan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, memberikan ketrampilan berusaha secara profesional bagi calon atau tenaga kerja,standarisasi penyelenggaran pendidikan luar sekolah.


C. PEMBANGUNAN KETENAGAKERJAAN

1. Arah kebijakan
Kebijakan pembangunan ketenagakerjaan diarahkan pada peningkatan kualitas tenaga kerja dan kemandirian tenaga kerja termasuk tenaga kerja yang akan bekerja di daerah lain maupun di luar negeri, dengan memanfaatkan dan mengembangkan lembaga pelatihan termasuk Balai Latihan kerja (BLK), penyediaan lapangan kerja baik di sektor formal maupun non formal untuk mengurangi pengangguran dan membantu PHK, pengembangan bursa tenaga kerja terpadu bagi tenaga kerja terlatih, serta perlindungan tenaga kerja.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan ketenaga kerjaan adalah : (a) untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja; (b) mengurangi pengangguran; (c) perlindungan tenaga kerja dari pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan; (d) serta peningkatan kesejahteraan tenaga kerja.
Sedangkan sasaran yang akan dicapai dalam pembangunan ketenagakerjaan adalah meningkatnya profesionalisme, dan jiwa kewirausahaan, semakin luasnya penyerapan tenaga kerja, kesehatan dan keselamatan kerja, ketenangan bekerja dan berusaha.

3. Program Pembangunan
Program pembangunan ketenagakerjaan adalah :
a. Program perluasan lapangan kerja
Program ini dimaksudkan untuk membuka lapangan kerja dan akses lapangan kerja baik regional, nasional maupun luar negeri sebagai antisipasi meningkatnya angkatan kerja dan jumlah penggangur melalui penyediaan sistem informasi dan perencanaan tenaga kerja, mendorong terciptanya kesempatan berusaha, serta pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

b. Program peningkatan ketrampilan tenaga kerja
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketrampilan tenaga kerja untuk memenuhi tuntutan pasar kerja, serta untuk mengantisipasi persaingan tenaga kerja yang semakin ketat baik tenaga kerja lokal maupun dari luar daerah melalui peningkatan pelatihan ketrampilan bagi tenaga kerja.

c. Program perlindungan tenaga kerja
Program ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kondisi bagi terciptanya, kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan tenaga kerja, serta terciptanya hubungan kerja industrial dan hubungan kerja yang harmonis antara pengusaha dan pekerja. Selain itu program ini juga dimaksudkan untuk mendorong optimalisasi fungsi kelembagaan tenaga kerja di perusahaan yang mampu menjembatani kepentingan pengusaha dan pekerja melalui peningkatan peran dan fungsi kelembagaan tenaga kerja, peningkatan pengawasan ketengakerjaan baik pekerja dalam negeri maupun luar negeri, serta pengembangan asuransi ketenaga kerjaan dan penyusunan rancangan peraturan daerah perlindungan tenaga kerja informal.

d. Program Peningkatan Kerjasama
Program ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah-masalah ketenagakerjaan yang ada, baik perluasan lapangan kerja, ketrampilan tenaga kerja, maupun perlindungan tenaga kerja, bekerjasama dengan pihak swasta dan lembaga lain.

D. PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

1. Arah Kebijakan
Kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial diarahkan untuk mencegah, menanggulangi, dan mengurangi masalah-masalah sosial dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat penyandang masalah sosial seperti fakir miskin, tuna susila, gelandangan, pengemis, penjudi, korban napza, wanita rawan sosial, lanjut usia, anak terlantar, anak jalanan, serta keluarga penyandang masalah sosial psikologi.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat dalam menciptakan taraf kesejahteraan sosial masyarakat, mendorong kemampuan para penyandang masalah sosial untuk menolong dirinya sendiri keluar dari penyandang masalah sosial, serta menangani masyarakat yang terkena bencana.
Sedangkan sasaran pembangunan kesejahteraan sosial adalah berkurangnya masyarakat penyandang masalah sosial, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mengatasi penyandang masalah sosial, meningkatnya kesadaran masyarakat penyandang masalah sosial untuk menolong dirinya sendiri keluar dari masalah sosial, menolong masyarakat terkena bencana, serta mengefektifkan penanganan masalah sosial.

3. Program Pembangunan
Program pembangunan kesejahteraan sosial meliputi :
a. Program peningkatan kesejahteraan masyarakat
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi politik dan sosial, pemberantasan perjudian serta mencegah, menangulangi dan mengurangi masalah-masalah sosial.

b. Program pelayanan dan rehabilitasi sosial
Program ini dimaksudkan untuk mencegah, menanggulangi dan mengurangi masalah–masalah sosial melalui rehabilitasi dengan memberikan bekal ketrampilan sebagai bekal untuk hidup kembali bermasyarakat, menampung sementara masyarakat penyandang masalah sosial, melindungi anak, orang usia lanjut, dan perempuan dari tindakan kekerasan, dan pengembangan fasilitasi pelayanan sosial untuk memberikan fasilitas rehabilitasi sosial, mengembangkan program jaminan perlindungan dan asuransi sosial, serta pernikahan massal bagi pasangan suami istri yang belum menikah secara sah.

c. Program pengembangan partisipasi sosial masyarakat
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian dan peran serta masyarakat dalam mencegah dan menangani para penyandang masalah sosial melalui peningkatan pendayagunaan potensi sosial masyarakat yang meliputi relawan sosial, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga perlindungan sosial kemasyarakatan lainnya, dan dunia usaha, dalam mencegah dan menangani permasalahan sosial, mengembangkan hubungan kerjasama antar lembaga-lembaga sosial, masyarakat dan pemerintah.

d. Program penanggulangan bencana
Program ini dimaksudkan untuk menanggulangi, menyelamatkan dan menangani para korban bencana, serta mengembalikan fungsi sosialnya melalui penyediaan sarana dan prasarana bantuan korban bencana, penanganan korban bencana alam dan pembangunan kembali prasarana sosial yang rusak akibat bencana, pelatihan tenaga penyelamat baik dari aparat maupun sukarelawan dan penyediaan posko bencana.

E. PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA

1. Arah Kebijakan
Kebijakan pembangunan kependudukan dan keluarga sejahtera diarahkan pada pengendalian laju pertumbuhan dan persebaran penduduk serta mewujudkan keluarga sejahtera.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan kependudukan dan keluarga sejahtera adalah menurunkan laju pertumbuhan penduduk dan mewujudkan terbentuknya keluarga sejahtera lahir dan bathin. Sedangkan sasaran yang ingin di capai adalah terciptanya kondisi kependudukan yang terkendali dan kesejahteraan keluarga yang meningkat.

3. Program Pembangunan
Program pembangunan kependudukan dan keluarga sejahtera meliputi :
a. Program kependudukan
Program ini dimaksudkan untuk pengendalian laju pertumbuhan penduduk melalui transmigrasi, penanganan urbanisasi dan para eksodan, penduduk boro/musiman serta penglaju (komuter), pengembangan informasi kependudukan, serta peningkatan sistem administrasi kependudukan.
b. Program keluarga berencana
Program ini dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan mandiri melalui pembentukan keluarga kecil berkualitas, penggalangan jaringan kemitraan, pelayananan Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi, pengaturan kelahiran, pemberdayaan perempuan, penyiapan data mikro keluarga, serta peningkatkan kesadaran masyarakat untuk melaksanakan KB mandiri.

F. PEMBANGUNAN KESEHATAN

1. Arah Kebijakan
Arah kebijakan pembangunan kesehatan adalah membangun dan meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu juga diarahkan untuk meningkatkan angka harapan hidup dan kualitas sumber daya manusia.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan pada kesehatan adalah meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat, status kesehatan masyarakat, serta membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.
Adapun sasaran yang akan dicapai adalah : (1) pemenuhan secara bertahap sarana dan prasarana kesehatan guna menunjang pelayanan yang memadai; (2) peningkatan cakupan pelayanan kesehatan yang merata, luas dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat; (3) peningkatan kualitas manajemen pelayanan kesehatan; (4) peningkatan ketrampilan bagi tenaga kesehatan.

3. Program Pembangunan
Program-program pembangunan kesehatan meliputi :
a. Program pemerataan pelayanan kesehatan
Program ini dimaksudkan untuk memperbesar akses pelayanan kesehatan yang luas, merata dan terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat melalui pemerataan sarana dan prasarana kesehatan termasuk peralatan dan obat-obatan, serta pengobatan murah bagi masyarakat kurang mampu, pengembangan asuransi kesehatan antara lain melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).

b. Program perbaikan gizi masyarakat
Program ini dimaksudkan untuk mengurangi masyarakat yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) dan Kekurangan Energi Kronis (KEK) serta kekurangan zat gizi mikro melalui pemberian makanan tambahan anak sekolah, pengembangan pos pelayanan terpadu, peningkatan kesadaran ibu hamil tentang pentingnya gizi.

c. Program pencegahan dan pemberantasan penyakit
Program ini dimaksudkan untuk memutus mata rantai penyebaran dan perkembangbiakan melalui pemberantasan mikro organisme penyebab penyakit menular serta pelaksaan imunisasi.

d. Program pengawasan obat dan makanan
Maksud dari program ini adalah untuk melindungi masyarakat dari peredaran produk farmasi serta makanan yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan masyarakat melalui pengawasan peredaran obat dan makanan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya penggunaan obat terlarang.

e. Program pembinaan pengobat tradisional dan alternatif
Program ini dimaksudkan untuk memberikan alternatif pengobatan tradisional secara benar melalui pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengobatan tradisional serta pembudidayaan obat tradisional.

f. Program peningkatan kualitas tenaga kesehatan
Program ini untuk dimaksudkan meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara optimal melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan.

g. Program peningkatan kesehatan keluarga.
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian keluarga agar dapat meningkatkan, memelihara, dan melindungi kesehatan melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan sendiri yang apada akhirnya dapat menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKI), dan meningkatkan Umur Harapan Hidup.

G. PEMBANGUNAN AGAMA

1. Arah Kebijakan
Kebijakan pembangunan agama diarahkan pada pemanfaatan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral spiritual dan etika dalam kehidupan masyarakat, serta meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup beragama. Di samping itu kebijakan pembangunan ini diarahkan pada peningkatan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam upaya ikut mengatasi dampak negatif perubahan sosial untuk memperkuat jati diri.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan agama adalah meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama serta peningkatan kadar keimanan dan ketaqwaan.
Sedangkan sasarannya adalah terciptanya suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati satu sama lain, serta terwujudnya kerukanan antar umat beragama, intern umat beragama serta antara umat beragama dan pemerintah.

3. Program Pembangunan
Program pembangunan keagamaan meliputi :
a. Program kerukunan hidup beragama
Program ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan, melalui peningkatan pembinaan mental spiritual umat beragama, dan peningkatan kerjasama antar lembaga-lembaga agama

b. Program peningkatan pelayanan ibadah haji
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan kemudahan umat dalam melaksanakan ibadah haji, melalui peningkatan pengelolaan penyelenggaraan ibadah haji serta peningkatan sarana dan prasarana penyelenggaraan ibadah haji.

c. Program penguatan kelembagaan agama
Program ini dimaksudkan untuk memantapkan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam pembangunan manusia yang berkualitas, iman dan taqwa, melalui pengembangan kelembagaan agama dan peningkatan kualitas pengurus kelembagaan agama.

d. Program peningkatan sarana dan prasarana kehidupan beragama
Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan kemudahan umat beragama dalam melaksanakan ibadahnya dan mendorong partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan kehidupan beragama melalui pembangunan dan rehabilitasi tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat pendidikan agama.

H. PEMBANGUNAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

1. Arah Kebijakan
Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berperan dalam meningkatkan kemajuan masyarakat dan bangsa. Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya diarahkan pada upaya penemuan teknologi-teknologi baru yang mampu menjawab persoalan riil masyarakat; pengembangan teknologi tepat guna, serta pemanfaatan teknologi terapan termasuk teknologi lokal. Di sisi lain, arah kebijakan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimaksudkan untuk mampu memberikan penguatan dan kemudahan terhadap minat pengembangan iptek oleh masyarakat.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan tekhnologi adalah : (a) mendayagunakan institusi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengoptimalkan pengembangan penelitian dan pengembangan Iptek yang relevan dengan perkembangan pembangunan; (b) identifikasi dan dokumentasi potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah dimiliki; (c) implementasi produk-produk teknologi tepat guna, teknologi terapan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
Adapun sasaran yang akan dijangkau untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: (a) optimalisasi teknologi produksi; (b) pengembangan penelitian; (c) pengembangan dan implementasi teknologi tepat guna; (d) optimalisasi teknologi peningkatan kualitas dan tampilan kemasan produk. Sementara itu sasaran pembangunan ilmu pengetahuan adalah : (a) meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan di kalangan masyarakat; (b) fasilitasi penemuan dan penciptaan ilmu pengetahuan baru berbasis lokal; (c) pengembangan dan penguatan ilmu pengetahuan lokal; (d) pengembangan perpustakaan dan dokumentasi.

3. Program Pembangunan
a. Pengembangan penelitian
Program ini dimaksudkan untuk menemukan tehnologi baru, pengembangan tehnologi, menggali dan menganalisis akar permasalahan pembangunan, melalui penguatan lembaga penelitian, pengembangan jaringan kerjasama penelitian agar dapat menghasilkan produk-produk penelitian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta peningkatan kerjasama dibidang penelitian.

b. Implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi
Program ini dimaksud untuk memanfaatkan temuan-temuan penelitian dalam pelaksanaan kebijakan publik, penerapan tehnologi tepat guna yang mampu meningkatkan produktifitas masyarakat dan mampu meningkatkan kinerja pemerintahan dan masyarakat , melalui pemasyarakatan tehnologi tepat guna, penyebarluasan hasil temuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi, pemanfatan teknologi informasi guaa peningkatan pelayanan dan percepatan pelaksanaan administrasi pemeritahan dan pembangunan serta pemberian perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).

c. Pengembangan perpustakaan dan dokumentasi
Program ini dimaksudkan untuk menginventarisasi dan mendukumentasi penemuan-penemuan penelitian, produk hukum dan penyediaan buku-buku ilmu pengetahuan. Program ini juga dimaksukan untuk dapat meningkatkan minat baca masyarakat, mempermudah mendapatkan buku bacaan yang berkualitas yang pada akhirnya dapat meningkatkan Iptek, melalui peningkatan sarana prasarana perpustakaan dan peningkatan budaya baca.

I. PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

1. Arah Kebijakan
Arah kebijakan ini untuk memperkuat, mengembangkan dan melestarikan potensi budaya lokal dalam rangka membentuk karakteristik masyarakat kota. Mencegah masuknya budaya lain yang negatif atau yang tidak sesuai dengan budaya lokal. Di samping itu kebijakan ini dimaksudkan memberi ruang gerak bagi pengembangan kreasi dan inovasi masyarakat dalam kelestarian budaya dan pengembangan kesenian lokal serta memperdalam kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam kerangka pengembangan kemampuan masyarakat mengapresiasi perbedaan keanekaragaman budaya.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan ini adalah mewujudkan kelestarian dan pengembangan budaya lokal yang berkepribadian, dinamis, kreatif dan mampu bersaing dan mempunyai ketahanan terhadap pengaruh globalisasi yang negatif. Sasarannya adalah mendukung dan mengembangkan budaya daerah dan meningkatkan apresiasi budaya, serta memberi ruang gerak institusi penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

3. Program Pembangunan
Program pembangunan yang dilaksanakan adalah :
a. Peningkatkan pelestarian budaya dan pengembangan kesenian.
Program ini dimaksud untuk meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan dan pelestarian budaya lokal, kesenian, tradisi dan peninggalan sejarah dari nenek moyang melalui pementasan seni dan budaya lokal, membuka pendidikan seni , memasukan kurikulum ekstrakurikuler dalam pendidikan. .
b. Penguatan terhadap institusi kepercayaan terhadap Tuhan YME
Maksud dari program ini adalah untuk memberi ruang gerak bagi penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, agar mampu menjadi salah satu pilar budaya melalui penguatan institusi penganut kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, memberikan ruang gerak melalui peningkatan sarana dan prasarana , serta peningkatan peran dan fungsi institusi penganut kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

J. PEMBANGUNAN PEMUDA DAN OLAH RAGA

1. Arah Kebijakan
Arah kebijakan ini adalah untuk mengembangkan sikap dan perilaku pemuda yang iman dan taqwa, mandiri, inovatif, dan kreatif serta berwawasan kebangsaan. Di samping itu kebijakan ini untuk menciptakan dan mengembangkan budaya olah raga di lingkungan masyarakat, dengan harapan terwujudnya hidup sehat jasmani dan rohani.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan pembangunan ini adalah mewujudkan generasi muda yang iman dan taqwa, tangguh, berprestasi dan sportif. Tujuan lain dari program ini adalah membentuk masyarakat yang sehat jasmani dan rohani agar tercipta sifat solidaritas, cinta persatuan sebagai landasan semangat nasionalisme. Sedangkan sasarannya adalah mengembangkan organisasi-organisasi kepemudaan dan olah raga untuk mampu menjadi wadah kegiatan kepemudaan dan olah raga yang berkualitas, tercukupinya fasilitas kegiatan kepemudaan dan olah raga.

3. Program Pembangunan
Program-program pembangunan yang dilaksanakan adalah :
1. Peningkatan pembinaan pemuda
Maksud program ini adalah mendorong dan mengembangkan kegiatan positif generasi muda untuk membentuk watak dan perilaku positif dan responsif melalui penguatan organisasi dan SDM kepemudaan, mendorong kebebasan beraktivitas positif dan memberikan ruang aktivitas pemuda serta peningkatan wawasan kebangsaan bagi generasi muda.

2. Pembinaan keolahragaan
Program ini dimaksudkan untuk memasyarakatkan olah raga dalam rangka menciptakan hidup sehat, berprestasi, sportivitas, melalui pengembangan, penguatan kelembagaan, pembangunan fasilitas olahraga, pelaksanaan even olah raga dan pengembangan budaya olah raga .

K. PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK

1. Arah kebijakan
Program pemberdayaan perempuan diarahkan pada terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender baik di pemerintahan maupun di masyakarat. Di samping itu kebijakan pemberdayaan anak diarahkan untuk mewujudkan suatu kondisi yang peka terhadap setiap upaya untuk pemenuhan tumbuh kembang anak.

2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari pembangunan ini di maksud untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan terhadap semua aspek pembangunan, serta mewujudkan perlindungan anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak.
Sasarannya adalah terwujudnya kualitas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.

3. Program Pembangunan
a. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender
Program ini dimaksudkan agar dalam setiap proses dan tahap pembangunan senantiasa mempertimbangkan dimensi gender, melalui inventarisasi pengkajian dan revisi peraturan kebijakan yang terkait dengan gender, kontrol sosial terhadap ketidakadilan gender.

b. Peningkatan perlindungan perempuan dan anak
Maksud dari program ini adalah untuk meningkatkan perlindungan atas hak perempuan sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak melalui penguatan kelembagaan organisasi sosial, penggalangan partisipasi masyarakat dalam mengatasi masalah perempuan dan anak, serta penegakkan hukum terhadap pelanggaran

c. Penguatan organisasi perempuan
Program di maksud mengarah pada tercapainya kemampuan dan kemandirian organisasi perempuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan melalui penguatan institusi perempuan, menciptakan ruang aktivitas organisasi perempuan dan kesetaraan hak dan kewajiban.

lanjut >

HALAMAN DEPAN
KONTAK REDAKSI
PR CYBER MEDIA
PR CETAK TERBARU
TOPIK
?
BERITA UTAMA
? TAJUK RENCANA
? BANDUNG RAYA
? DAERAH
? NUSANTARA
? EKONOMI
? KAMPUS
? OLAHRAGA
? ARTIKEL
? APA SIAPA
? SURAT PEMBACA

LAINNYA
?
SEKILAS BANDUNG
? LINTAS DAERAH
? EKONOMI SINGKAT
? OLAHRAGA RINGKAS

ARSIP
?
EDISI 2003-2004

WEBMAIL



BANDUNG RAYA
Senin, 20 Desember 2004

Forum GURUProfesionalisme Guru, Harapan dan KenyataanOleh P. RUSPENDI
PROGRAM 100 hari Mendiknas, Bambang Sudibyo, salah satunya mencanangkan guru sebagai profesi seperti halnya wartawan, dokter, dan profesi lainnya. ("PR", 20 November 2004). "Sebagai suatu profesi, nantinya akan ada kode etik yang harus dipenuhi para guru. Jika melanggar, akan ada konsekuensi. Guru juga terdorong menjalankan tugasnya dengan baik, dan kode etik juga akan melindungi profesi guru," kata pengamat pendidikan UPI Bandung, Prof. Said Hamid Hasan.
Memosisikan guru sebagai profesi, suatu hal yang mendesak diberlakukan di Indonesia. Pasalnya, menempatkan guru seperti itu akan memperbaiki nasib para guru yang selama ini sering termaginalkan. Guru juga akan menjadi lebih bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.
Masalahnya, bagaimana guru mengantisipasi tuntutan seperti itu, sehingga dapat mengembangkan profesinalismenya. Menurut "Journal Education Leadership" (Maret 1994), ada lima ukuran seorang guru dinyatakan profesional: Pertama, memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Kedua, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarkan. Ketiga, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi. Keempat, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugas dan kelima, seyogianya menjadi bagian dari masyarakat belajar di lingkungan profesinya.
Sedangkan "Malcon Allerd" mengatakan, selain kelima aspek itu, sifat dan kepribadian guru amat penting artinya bagi proses pembelajaran adalah adaptabilitas, entusiasme, kepercayaan diri, ketelitian, empati, dan kerjasama yang baik.
Guru juga dituntut untuk mereformasi pendidikan, bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin sumber-sumber belajar di luar sekolah, perombakan struktural hubungan antara guru dan murid, seperti layaknya hubungan pertemanan, penggunaan teknologi modern dan penguasaan iptek, kerja sama dengan teman sejawat antar-sekolah, serta kerja sama dengan komunitas lingkungannya (Kompas, 12 September 2001).
Gambaran itu menunjukkan, betapa tingginya tuntutan profesionalisme seorang guru. Bisa dipastikan, dengan tingkat penghasilan seperti saat ini, rasanya sulit mengikuti tuntutan itu. Kalau kita percaya pada 'Abraham Moslow' kebutuhan utama seseorang manusia survival biologis, maka seorang guru juga akan mengutamakan keberlangsungan hidup ketimbang memikirkan profesionalismenya. Ini menyebabkan kontradiksi antara idealita dengan realita seorang guru.
Bagaimana bisa profesional kalau kondisi mereka seperti saat ini. Ironi kalau kita telanjur mengatakan guru jabatan profesional, tapi perlakuan kepadanya jauh dari itu. Kalau kita telanjur mengatakan guru jabatan profesional, mereka harus diperlakukan secara profesional pula.
Kurang profesional
Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru kurang profesional dalam memangku jabatannya. Pertama, faktor internal biologis. Guru manusia yang juga butuh kesehatan dan nutrisi seimbang melalui pola makan yang sehat agar bisa produktif. Sesuai anjuran para ahli, pola makan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Bisa disimpulkan, bagaimana mungkin para guru bisa sehat (produktif dan profesional), kalau hanya sekali makan telur atau lauk.
Kedua, faktor internal psikologis. Di samping punya tanggung jawab terhadap anak didik dan lembaga pendidikan, guru juga punya tanggung jawab terhadap keluarga (anak, suami/istri). Dengan penghasilan minim, ia akan mengalami ketidakpastian kesejahteraan hidup diri dan keluarganya. Sehingga satu per satu akan muncul kebutuhan atau dorongan lain.
Keadaan munculnya dua kebutuhan atau lebih saat bersamaan, akan menimbulkan konflik. Kurt Lewin (1890-1947) membedakan tiga macam konflik. Konflik yang dialami para guru adalah konflik approach, yakni jika dua kebutuhan atau lebih muncul secara bersamaan dan keduanya mempunyai nilai positif bagi individu.
Jika muncul kebutuhan atau dorongan untuk bertindak tapi tidak dapat terpenuhi atau terhambat, akan menyebabkan frustrasi atau depresi. Gangguan frustrasi atau depresi secara fisik memang tidak tampak, namun siksaan bagi para pengidapnya sangat berat. Setiap detik penderita akan disesaki oleh kekhawatiran, ketakutan dan kengerian.
Hal yang tak kalah berat dialami penderita depresi, tidak hanya pikiran tapi juga fisik. Sakit kepala, sakit perut dan tubuh makin kurus, kegembiraan hidup musnah dan hidup terasa hambar (Kompas, 15 Februari 2003). Jadi bagaimana mungkin seorang guru harus berkarya, kalau setiap hari frustrasi atau depresi?
Ketiga, faktor eksternal psikologi. Gaji yang minim, penunjang profesionalitas juga minim. Kalau gaji minim tapi tanggung jawab berat, guru akan merasa tidak dihargai. Ada suatu kisah seorang guru di Jakarta yang harus mengajar anak-anak orang kaya. Murid-murid yang diajarnya sudah bisa komputer, internet, bahasa Inggris, dan berwawasan luas, disebabkanorang tuanya langganan koran. Akibatnya, sang guru merasa minder.
Tak kalah penting, yang perlu diperhatikan adalah proses rekruitmen guru. Proses rekruitmen guru tak sekadar mengisi kekurangan, tapi juga bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebab meski maraknya teknologi informasi mampu mengadakan sumber ajar yang besar, guru tetap memiliki peran strategis dalam dunia pendidikan.
Sebagaimana pernah disampaikan Ketua Umum PGRI, Muhammad Surya, pengembangan profesionalisme guru seharusnya sudah dimulai sejak masa perekrutan. Selain itu perlu didukung fasilitas yang memadai. Perbaikan kesejahteraan guru merupakan agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan, (Kompas, 30 Januari 2003).
Akhirnya, profesionalisme guru tidak hanya berpulang pada guru itu sendiri, tapi juga dukungan, penghargaan dan political will pemerintah sangat dinantikan. Tanpa usaha serius dari semua pihak, kondisi guru akan makin memprihatinkan dan profesionalisme sulit dicapai.***
Penulis, guru SMA Pasundan Majalaya.


SUPLEMEN


IKLAN










HALAMAN DEPAN
KE ATAS
PR CYBER MEDIA


-Hak Cipta ? 2002 - Pikiran Rakyat Cyber Media-
-
Sumber : pikiran rakyat, senin 20 Desambar 2004


Guru Harus Menjadi Model Dalam Penyampaian Materi

Oleh NEULIS RAHMAWATI BARLIAN, S.Pd.
Keberhasilan proses belajar mengajar (PBM) dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti metode mengajar, sarana-prasarana, materi pembelajaran, kurikulum, dll. Dari berbagai aspek itu, yang memegang peranan penting PBM adalah guru. Selengkap apa pun sarana-prasarana, kalau tidak ditunjang oleh kompetensi guru terhadap bidang studi yang diajarkan, tidak akan berhasil.
Bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kompetensi yang harus dimiliki guru bahasa Indonesia tidak hanya penguasaan teori-teori serta materi bahasa dan sastra Indonesia saja. Tetapi yang lebih utama, guru harus memiliki kompetensi sebagai model dalam menyampaikan materi bahasa dan sastra Indonesia karena tujuan utama pelajaran bahasa Indonesia yaitu terampil berbahasa.
Saya ingin berbagi pengalaman dengan guru bahasa dan sastra Indonesia berdasarkan pengalaman saya mengikuti pendidikan dan pelatihan membaca, menulis, dan apresiasi sastra (MMAS) yang diadakan oleh Departemen Pendidkan Nasional di Wisma Taruna Bandung pada 21 hingga 25 September 2004.
Diklat ini telah membuka mata dan hati saya untuk melaksanakan paradigma baru dalam mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia. Paradigma itu menuntut terampil berbahasa, menjadi model dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, serta dapat menyajikannya dengan cara yang menarik dan menyenangkan sehingga tujuan menjadikan siswa terampil berbahasa dapat dicapai.
Pelajaran bahasa adalah salah satu pelajaran yang kurang mendapat perhatian. Salah satunya disebabkan dalam menyajikan materi, guru belum mampu menjadi model dalam pelajaran itu. Padahal, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia sangat penting dalam kehidupan sebagai sarana menyampaikan ide, gagasan, dan pendapat dalam berkomunikasi sehri-hari.
Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia menyangkut empat aspek yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam menyampaikan empat aspek keterampilan tersebut, guru dituntut terampil dulu berbahasa, jangan sampai guru bahasa hanya bisa menyuruh siswa, membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra. Sedangkan gurunya sendiri tidak pernah melakukannya.
Seperti yang diungkapkan Erwan Juhara, guru harus jadi model PBM bagi murid-muridnya dalam angka eksistensi sastra, dalam kehidupan akademis, yang selanjutnya memanfaatkan dampak positifnya dalam penciptaan atmosfir sastra di masyarakat.
Contohnya, banyak guru tidak bisa menjadi model yang baik saat ia membina budaya baca sastra karena guru sendiri tidak pernah membaca karya sastra. Begitu pun dalam mengajarkan menulis, guru tidak memiliki karya dan pengalaman mengarang. Ada juga guru yang menyuruh muridnya menyaksikan pertunjukan karya sastra sementara ia tak tertarik menyaksikan karya sastra.
Seperti yang diungkapkan Taufik Ismail dalam membantu memperbaiki pengajaran membaca, mengarang, dan apresiasi sastra, dikenal "Paradigma Baru Pengajaran Sastra", yaitu siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira.
Sastra sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang membuat mereka antusias, dan yang mereka merasa perlu. Biasakan membaca karya sastra puisi, cerita pendek, novel, drama, dan esai. Bukan melalui ringkasan.
Kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan. Dalam membicarakan karya sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berpikir yang logis. Pengetahuan tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra, cukup sebagai informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra. Pengajaran sastra mestinya menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa.
Untuk melaksanakan paradigma di atas, guru harus menjadi model penikmat karya sastra, dengan menceritakan pengalamannya menikmati bahasa, isi sastra, sehingga kegemarannya membaca karya sastra tergambar dalam dirinya. Nilai positif dalam karya sastra dipraktikkan dalam sikap dan perilakunya sehari-hari sehingga dapat menjadi contoh yang akan menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa.
Sebelum siswa membacakan puisi, guru harus terlebih dahulu membaca puisi di depan para siswanya dengan suara, sikap, dan penjiwaan yang baik. Guru juga harus mampu membacakan cerita dengan intonasi dan bahasa yang tepat sehingga tokoh-tokohnya hidup dan mampu menarik perhatian siswa. Guru pun harus terampil menulis, menyajikan karya tulisnya.
Misalnya, tahap awal anak diberi kuis untuk melengkapi tanda baca, menempatkan huruf kapital, membagi paragraf, dan menyusun paragraf. Setelah itu, guru memberikan sebuah contoh karangan yang bagus, baru siswa disuruh mengarang dengan ekspresi diri yang melegakan perasaan, melalui imajinasi yang kaya, sesuai dengan fantasi siswa.
Teori-teori mengarang disampaikan pada saat memeriksa karangan siswa. Hal ini dilakukan supaya siswa tidak hanya menguasai teori-teori tetapi terampil menulis. Tidak hanya menulis karya sastra tetapi juga karya ilmiah, menulis laporan, dan menulis surat.
Untuk keterampilan berbicara, guru dituntut terampil berpidato, terampil membawakan acara, dan berbicara lainnya. Dalam menyampaikan materi ini, guru harus berdasarkan pengalamannya, bukan hanya berdasarkan teori-teori di buku saja.
Guru yang memiliki kompetensi berbahasa yang baik akan membantu keberhasilan PBM yang berpusat kepada siswa. Hal ini sesuai dengan konsep dasar life skill (kecakapan hidup), yang menyangkut kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan kerja.
Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 24 Kota Bandung





































Metoda Mengajar Berdasarkan Tipologi Belajar Siswa

Oleh: Adrian **)
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar ( learning ) dan pembelajaran ( intruction ). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Dalam proses belajar mengajar (PBM) akan terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Peserta didik adalah seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, sedang pendidik adalah seseorang atau sekelompok orang yang berprofesi sebagai pengolah kegiatan belajar mengajar dan seperangkat peranan lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen, yaitu peserta didik, guru (pendidik), tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar, seperti : perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (over behaviour) yang dapat diamati melalui alat indera oleh orang lain baik tutur katanya, motorik dan gaya hidupnya. Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal, untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik, salah satu diantaranya yang menurut penulis penting adalah metodologi mengajar. Mengajar merupakan istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Metodologi mengajar dalam dunia pendidikan perlu dimiliki oleh pendidik, karena keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) bergantung pada cara/mengajar gurunya. Jika cara mengajar gurunya enak menurut siswa, maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan, sehingga diharapkan akan terjadi perubahan dan tingkah laku pada siswa baik tutur katanya, sopan santunnya, motorik dan gaya hidupnya. Metodologi mengajar banyak ragamnya, kita sebagai pendidik tentu harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan hanya satu metode saja, tetapi harus divariasikan, yaitu disesuaikan dengan tipe belajar siswa dan kondisi serta situasi yang ada pada saat itu, sehingga tujuan pengajaran yang telah dirumuskan oleh pendidik dapat terwujud/tercapai. Karena begitu pentingnya metode mengajar dalam pembelajaran maka penulis tergugah untuk menulis dan menguraikannya sehingga makalah ini penulis beri judul "Metode Mengajar Berdasarkan Tipologi Belajar Siswa". B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka timbul masalah-masalah sebagai berikut : 1. Benarkah pendidikan dapat menumbuhkembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam kegiatan pengajaran ? 2. Adakah Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) ? 3. Apakah komponen-komponen dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) ? 4. Apakah tipe belajar siswa berbeda-beda ? 5. Apakah pendidik perlu mengenal tipe belajar siswa ? 6. Apakah tipe belajar siswa perlu di observasi ? 7. Apakah pendidik perlu memiliki berbagai macam metode mengajar ? 8. Apa hubungan metodologi mengajar dengan tipe belajar siswa ? C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, agar penguraian makalah lebih terarah dan terfokus maka penulis batasi pada point 4,5,6,7 dan 8 dari identifikasi masalah di atas yaitu : 1. Apakah tipe belajar siswa berbeda-beda ? 2. Apakah pendidik perlu mengenal tipe belajar siswa ? 3. Apakah tipe belajar siswa perlu di observasi ? 4. Apakah pendidik perlu memiliki berbagai macam metode mengajar ? 5. Apa hubungan metodologi mengajar dengan tipe belajar siswa ? D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, Identifikasi dan batasan masalah maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Apakah tipe belajar siswa berbeda-beda ? 2. Apakah pendidik perlu mengenal tipe belajar siswa ? 3. Apakah tipe belajar siswa perlu di observasi ? 4. Apakah pendidik perlu memiliki berbagai macam metode mengajar ? 5. Apa hubungan metodologi mengajar dengan tipe belajar siswa ? E. Tujuan Penulisan Makalah Penulisan makalah ini bertujuan untuk menginformasikan bagi para pembaca, bahwa betapa pentingnya metodologi mengajar dikuasai oleh pendidik, dan diusahakan metodologi yang dimiliki pendidik pada saat praktek disesuaikan dengan tipe belajar siswa, sehingga diharapkan materi yang kita sampaikan terekam dan tercerna oleh peserta didik, dan dapat ditunjukan oleh mereka pada sikap dan prilaku dalam kesehariannya. II. PEMBAHASAN A. Pengertian 1. Pengertian Tipe Tipe : sikap, gerak, gerik, lagak yang menandai ciri seseorang, atau gerakan tertentu yang diatur untuk menarik perhatian orang lain. 2. Pengertian Belajar ² Cronbach (1954) berpendapat : Learning is shown by a change in behaviour as result of experience ; belajar dapat dilakukan secara baik dengan jalan mengalami. ² Menurut Spears : Learning is to observe, to read, to imited, to try something themselves, to listen, to follow direction, dimana pengalaman itu dapat diperoleh dengan mempergunakan panca indra. ² Robert. M. Gagne dalam bukunya : The Conditioning of learning mengemukakan bahwa : Learning is a change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and wich is not simply ascribable to process of growth. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi. Dalam teori psikologi konsep belajar Gagne ini dinamakan perpaduan antara aliran behaviorisme dan aliran instrumentalisme. ² Lester.D. Crow and Alice Crow mendefinisikan : Learning is the acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar adalah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap-sikap. ² Hudgins Cs. (1982) berpendapat Hakekat belajar secara tradisional belajar dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam tingkah laku, yang mengakibatkan adanya pengalaman . ² Jung , (1968) mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu proses dimana tingkah laku dari suatu organisme dimodifikasi oleh pengalaman. ² Ngalim Purwanto, (1992 : 84) mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan pengalamannya.Oleh sebab itu apabila setelah belajar peserta didik tidak ada perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa belajarnya belum sempurna. Pada dasarnya prinsip belajar lebih dititikberatkan pada aktivitas peserta didik yang menjadi dasar proses pembelajaran baik dijenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah lanjutan Tingkat Atas (SLTA) maupun Tingkat Perguruan Tinggi. 3. Pengertian Siswa / Peserta Didik ² A person registrered in an education and pursuing a course of study (Seseorang yang terdaftar pada sebuah lembaga pendidikan dan mengikuti suatu jalur studi). Asa S. Knowles, Editor-in-Chief, The International Encyclopedia of Higher Education, Volume 1, 1977. ² A student is a man or woman, who knows how tp read books. (Seorang peserta didik adalah seorang pria atau wanita yang mengetahui cara membaca buku-buku). The Future of The Indian University ² Peserta didik (siswa) adalah seseorang atau sekelompok orang yang bertindak sebagai pelaku pencari, penerima dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkannya untuk mencapai tujuan (Aminuddin Rasyad, 2000 : 105) ² Peserta didik atau siswa atau murid atau terdidik. Siapa dan bagaimana peserta didik itu ? 1) Peserta didik sebagai individu / pribadi ( manusia seutuhnya ) : Individu ini diartikan "Seseorang yang tidak bergantung pada orang lain, dalam arti benar-benar seorang pribadi yang menentukan diri sendiri dan tidak dipaksa dari luar, juga mempunyai sifat dan keinginan sendiri ( Abu Ahmadi, 1991 ; 39 ) Untuk itu peserta didik harus dipandang secara filosofis, yaitu menerima kehadiran keakuannya, keindividuannya, sebagaimana mestinya ia ada ( eksistensinya ). 2) Peserta didik menurut tahap dan perkembangan umur a. 0 - 7 tahun masa kanak-kanak masa kanak-kanak adalah masa mulai bermain, berkawan, berkomunikasi dengan dunia luar. b. 7 - 14 tahun masa sekolah pada usia-usia 12 tahunan biasanya siswa memasuki masa kritis, dimana pendidik harus lebih memperhatikan dan memberi pengertian, serta bimbingan. c. 14 - 21 tahun puberitas masa puberitas terbagi tiga : a) Masa pra puberitas : wanita 12 - 13 th Laki-laki 13 - 14 th b) Masa puberitas : wanita 13 - 18 th Laki-laki 14 - 18 th c) Masa adolesen : wanita 18 - 21 th Laki-laki 18 - 23 th 3) Peserta didik menurut status dan tingkat kemampuan. Kata status disini diartikan dengan keadaan peserta didik dipandang secara umum dalam kemampuannya ( kecerdasannya ). Kemampuan peserta didik dapat digolongkan 3 kelompok : a. Peserta didik super normal b. Peserta didik normal c. Peserta didik sub normal Untuk lebih rincinya lihat skema dibawah ini : Genius IQ 140 keatas Super normal Gifted IQ 130 - 140Superior IQ 110 - 130Normal dan Normal IQ 90 - 110Derajat mental Sedikit di bawahNormal Sub Normal /Berdoline IQ 70 - 90Debil IQ 50 - 70Sub normal Insibil IQ 25 - 50Idiot IQ 20 - 254. Pengertian Tipe Belajar Siswa Dari pengertian-pengertian yang penulis uraikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tipe belajar siswa adalah suatu sikap atau lagak yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai pencari, penerima pelajaran yang dibutuhkannya, berdasarkan pengalaman yang dialaminya sendiri dengan mempergunakan alat indranya. 5. Pengertian Metodologi Metodologi berasal dari bahasa Latin " Meta " dan " Hodos " meta artinya jauh (melampaui), Hodos artinya jalan (cara). Metodologi adalah ilmu mengenai cara-cara mencapai tujuan. 6. Pengertian Mengajar ² Arifin (1978) mendefinisikan bahwa mengajar adalah " . suatu rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapi, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu ". ² Tyson dan Caroll (1970) mengemukakan bahwa mengajar ialah . a way working with students ... A process of interaction . the teacher does something to student, the students do something in return. Dari definisi itu tergambar bahwa mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan. ² Nasution (1986) berpendapat bahwa mengajar adalah " . suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar". ² Tardif (1989) mendefinisikan, mengajar adalah . any action performed by an individual (the teacher) with the intention of facilitating learning in another individual (the learner), yang berarti mengajar adalah perbuatan yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pendidik) dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain (dalam hal ini peserta didik) melakukan kegiatan belajar. ² Biggs (1991), seorang pakar psikologi membagi konsep mengajar menjadi tiga macam pengertian yaitu : a. Pengertian Kuantitatif dimana mengajar diartikan sebagai the transmission of knowledge, yakni penularan pengetahuan. Dalam hal ini guru hanya perlu menguasai pengetahuan bidang studinya dan menyampaikan kepada siswa dengan sebai-baiknya. Masalah berhasil atau tidaknya siswa bukan tanggung jawab pengajar. b. Pengertian institusional yaitu mengajar berarti . the efficient orchestration of teaching skills, yakni penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Dalam hal ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar terhadap siswa yang memiliki berbagai macam tipe belajar serta berbeda bakat , kemampuan dan kebutuhannya. c. Pengertian kualitatif dimana mengajar diartikan sebagai the facilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa mencari makna dan pemahamannya sendiri. Dari definisi-definisi mengajar dari para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga terjadi proses belajar dan tujuan pengajaran tercaqpai. 7. Pengertian Metodologi Mengajar Dari definisi-definisi metodologi dan mengajar yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa pengertian metodolgi mengajar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai. Agar tujuan pengajaran tercapai sesuai dengan yang telah dirumuskan oleh pendidik, maka perlu mengetahui, mempelajari beberapa metode mengajar, serta dipraktekkan pada saat mengajar. B. Metode Mengajar Beberapa metode mengajar yang dapat divariasikan oleh pendidik diantaranya : 1. Metode Ceramah (Preaching Method) Metode ceramah yaitu sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan saecara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Muhibbin Syah, (2000). Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli dan paham siswa. Beberapa kelemahan metode ceramah adalah : a. Membuat siswa pasif b. Mengandung unsur paksaan kepada siswa c. Mengandung daya kritis siswa ( Daradjat, 1985) d. Anak didik yang lebih tanggap dari visi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih tanggap auditifnya dapat lebih besar menerimanya. e. Sukar mengontrol sejauhmana pemerolehan belajar anak didik. f. Kegiatan pengajaran menjadi verbalisme (pengertian kata-kata). g. Bila terlalu lama membosankan.(Syaiful Bahri Djamarah, 2000) Beberapa kelebihan metode ceramah adalah : a. Guru mudah menguasai kelas. b. Guru mudah menerangkan bahan pelajaran berjumlah besar c. Dapat diikuti anak didik dalam jumlah besar. d. Mudah dilaksanakan (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) 2. Metode diskusi ( Discussion method ) Muhibbin Syah ( 2000 ), mendefinisikan bahwa metode diskusi adalah metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan memecahkan masalah (problem solving). Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi kelompok (group discussion) dan resitasi bersama ( socialized recitation ). Metode diskusi diaplikasikan dalam proses belajar mengajar untuk : a. Mendorong siswa berpikir kritis. b. Mendorong siswa mengekspresikan pendapatnya secara bebas. c. Mendorong siswa menyumbangkan buah pikirnya untuk memcahkan masalah bersama. d. Mengambil satu alternatif jawaban atau beberapa alternatif jawaban untuk memecahkan masalah berdsarkan pertimbangan yang seksama. Kelebihan metode diskusi sebagai berikut : a. Menyadarkan anak didik bahwa masalah dapat dipecahkan dengan berbagai jalan b. Menyadarkan ank didik bahwa dengan berdiskusi mereka saling mengemukakan pendapat secara konstruktif sehingga dapat diperoleh keputusan yang lebih baik. c. Membiasakan anak didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun berbeda dengan pendapatnya dan membiasakan bersikap toleransi. (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) Kelemahan metode diskusi sebagai berikut : a. tidak dapat dipakai dalam kelompok yang besar. b. Peserta diskusi mendapat informasi yang terbatas. c. Dapat dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara. d. Biasanya orang menghendaki pendekatan yang lebih formal (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) 3. Metode demontrasi ( Demonstration method ) Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Muhibbin Syah ( 2000). Metode demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk memperlihatkan sesuatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan pelajaran. Syaiful Bahri Djamarah, ( 2000). Manfaat psikologis pedagogis dari metode demonstrasi adalah : a. Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan . b. Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari. c. Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa (Daradjat, 1985) Kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut : a. Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atu kerja suatu benda. b. Memudahkan berbagai jenis penjelasan . c. Kesalahan-kesalahan yeng terjadi dari hasil ceramah dapat diperbaiki melaui pengamatan dan contoh konkret, drngan menghadirkan obyek sebenarnya (Syaiful Bahri Djamarah, 2000). Kelemahan metode demonstrasi sebagai berikut : a. Anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan. b. Tidak semua benda dapat didemonstrasikan c. Sukar dimengerti bila didemonstrasikan oleh guru yang kurang menguasai apa yang didemonstrasikan (Syaiful Bahri Djamarah, 2000). 4. Metode ceramah plus Metode ceramah plus adalah metode mengajar yang menggunakan lebih dari satu metode, yakni metode ceramah gabung dengan metode lainnya.Dalam hal ini penulis akan menguraikan tiga macam metode ceramah plus yaitu : a. Metode ceramah plus tanya jawab dan tugas (CPTT). Metode ini adalah metode mengajar gabungan antara ceramah dengan tanya jawab dan pemberian tugas. Metode campuran ini idealnya dilakukan secar tertib, yaitu : 1). Penyampaian materi oleh guru. 2). Pemberian peluang bertanya jawab antara guru dan siswa. 3). Pemberian tugas kepada siswa. b. Metode ceramah plus diskusi dan tugas (CPDT) Metode ini dilakukan secara tertib sesuai dengan urutan pengkombinasiannya, yaitu pertama guru menguraikan materi pelajaran, kemudian mengadakan diskusi, dan akhirnya memberi tugas. c. Metode ceramah plus demonstrasi dan latihan (CPDL) Metode ini dalah merupakan kombinasi antara kegiatan menguraikan materi pelajaran dengan kegiatan memperagakan dan latihan (drill) 5. Metode resitasi ( Recitation method ) Metode resitasi adalah suatu metode mengajar dimana siswa diharuskan membuat resume dengan kalimat sendiri. Kelebihan metode resitasi sebagai berikut : a. Pengetahuan yang anak didik peroleh dari hasil belajar sendiri akan dapat diingat lebih lama. b. Anak didik berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif, bertanggung jawab dan berdiri sendiri (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) Kelemahan metode resitasi sebagai berikut : a. Terkadang anak didik melakukan penipuan dimana anak didik hanya meniru hasil pekerjaan temennya tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri. b. Terkadang tugas dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan. c. Sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan individual (Syaiful Bahri Djamarah, 2000) 6. Metode percobaan ( Experimental method ) Metode percobaan adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan. Syaiful Bahri Djamarah, (2000) Metode percobaan adalah suatu metode mengajar yang menggunakan tertentu dan dilakukan lebih dari satu kali. Misalnya di Laboratorium. Kelebihan metode percobaan sebagai berikut : a. Metode ini dapat membuat anak didik lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri daripada hanya menerima kata guru atau buku. b. Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi (menjelajahi) tentang ilmu dan teknologi. c. Dengan metode ini akan terbina manusia yang dapat membawa terobosan-terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia. Kekurangan metode percobaan sebagai berikut : a. Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap anak didik berkesempatan mengadakan ekperimen. b. Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama, anak didik harus menanti untuk melanjutkan pelajaran. c. Metode ini lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang ilmu dan teknologi. 7. Metode Karya Wisata ( Study tour method ) Metode karya wisata adalah suatu metode mengajar yang dirancang terlebih dahulu oleh pendidik dan diharapkan siswa membuat laporan dan didiskusikan bersama dengan peserta didik yang lain serta didampingi oleh pendidik, yang kemudian dibukukan. Kelebihan metode karyawisata sebagai berikut : a. Karyawisata menerapkan prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran. b. Membuat bahan yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat. c. Pengajaran dapat lebih merangsang kreativitas anak. Kekurangan metode karyawisata sebagai berikut : a. Memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak. b. Memerlukan perencanaan dengan persiapan yang matang. c. Dalam karyawisata sering unsur rekreasi menjadi prioritas daripada tujuan utama, sedangkan unsur studinya terabaikan. d. Memerlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap setiap gerak-gerik anak didik di lapangan. e. Biayanya cukup mahal. f. Memerlukan tanggung jawab guru dan sekolah atas kelancaran karyawisata dan keselamatan anak didik, terutama karyawisata jangka panjang dan jauh. 8. Metode latihan keterampilan ( Drill method ) Metode latihan keterampilan adalah suatu metode mengajar , dimana siswa diajak ke tempat latihan keterampilan untuk melihat bagaimana cara membuat sesuatu, bagaimana cara menggunakannya, untuk apa dibuat, apa manfaatnya dan sebagainya. Contoh latihan keterampilan membuat tas dari mute/pernik-pernik. Kelebihan metode latihan keterampilan sebagai berikut : a. Dapat untuk memperoleh kecakapan motoris, seperti menulis, melafalkan huruf, membuat dan menggunakan alat-alat. b. Dapat untuk memperoleh kecakapan mental, seperti dalam perkalian, penjumlahan, pengurangan, pembagian, tanda-tanda/simbol, dan sebagainya. c. Dapat membentuk kebiasaan dan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan. Kekurangan metode latihan keterampilan sebagai berikut : a. Menghambat bakat dan inisiatif anak didik karena anak didik lebih banyak dibawa kepada penyesuaian dan diarahkan kepada jauh dari pengertian. b. Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan. c. Kadang-kadang latihan tyang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal yang monoton dan mudah membosankan. d. Dapat menimbulkan verbalisme. 9. Metode mengajar beregu ( Team teaching method ) Metode mengajar beregu adalah suatu metode mengajar dimana pendidiknya lebih dari satu orang yang masing-masing mempunyai tugas. Biasanya salah seorang pendidik ditunjuk sebagai kordinator. Cara pengujiannya, setiap pendidik membuat soal, kemudian digabung. Jika ujian lisan maka setiap siswa yang diuji harus langsung berhadapan dengan team pendidik tersebut. 10. Metode mengajar sesama teman ( Peer teaching method ) Metode mengajar sesama teman adalah suatu metode mengajar yang dibantu oleh temannya sendiri 11. Metode pemecahan masalah ( Problem solving method ) Metode ini adalah suatu metode mengajar yang mana siswanya diberi soal-soal, lalu diminta pemecahannya. 12. Metode perancangan ( projeck method ) yaitu suatu metode mengajar dimana pendidik harus merancang suatu proyek yang akan diteliti sebagai obyek kajian. Kelebihan metode perancangan sebagai berikut : a. Dapat merombak pola pikir anak didik dari yang sempit menjadi lebih luas dan menyuluruh dalam memandang dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan. b. Melalui metode ini, anak didik dibina dengan membiasakan menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan terpadu, yang diharapkan praktis dan berguna dalam kehidupan sehari-hari. Kekurangan metode perancangan sebagai berikut : a. Kurikulum yang berlaku di negara kita saat ini, baik secara vertikal maupun horizontal, belum menunjang pelaksanaan metode ini. b. Organisasi bahan pelajaran, perencanaan, dan pelaksanaan metode ini sukar dan memerlukan keahlian khusus dari guru, sedangkan para guru belum disiapkan untuk ini. c. Harus dapat memilih topik unit yang tepat sesuai kebutuhan anak didik, cukup fasilitas, dan memiliki sumber-sumber belajar yang diperlukan. d. Bahan pelajaran sering menjadi luas sehingga dapat mengaburkan pokok unit yang dibahas. 13. Metode Bagian ( Teileren method ) yaitu suatu metode mengajar dengan menggunakan sebagian-sebagian, misalnya ayat per ayat kemudian disambung lagi dengan ayat lainnya yang tentu saja berkaitan dengan masalahnya. 14. Metode Global (Ganze method ) yaitu suatu metode mengajar dimana siswa disuruh membaca keseluruhan materi, kemudian siswa meresume apa yang dapat mereka serap atau ambil intisari dari materi tersebut. C. Perbandingan Ciri Khas Metode Mengajar Metode Sifat Materi Tujuan Keunggulan Kelemahan CeramahDemonstrasiDiskusi Informatif, faktualPrinsipal,faktual,keterampilanPrinsipal, konseptual, keterampilan Pemahaman PengetahuanPemahaman aplikasiPemahamanAnalisis, sintesis,Evaluasi, aplikasi Lebih banyak materi yang tersajiSiswa berpengalamanDan berkesan mendalam.Siswa aktif, berani dan kritis Siswa pasifLebih banyak alat dan biayaMemboroskan waktuDidominasiSiswa yangpintar Metode mengajar yang dimiliki pendidik usahakan divariasikan, agar siswa-siswi dalam kelas yang tipe belajarnya pasti beragam itu dapat menerima, mencerna, menguasai materi yang diberikan oleh pendidik seefisien dan seefektif mungkin. Bagaimana agar yang kita harapkan itu menjadi kenyataan ? Salah satu solusinya adalah pendidik disamping menguasai beberapa metode mengajar, harus tahu juga tipe belajar para siswanya. Supaya sinkron antara metode mengajar pendidik dengan tipe belajar peserta didik. Artinya metode yang digunakan dalam megajar telah disesuaikan dengan tipe belajar peserta didik. Misal tipe belajar siswa visual, maka akan lebih mudah dicerna oleh siswa apabila guru mengajar dengan slide, makalah, atau digambarkan langsung di papan tulis. Untuk itu mari kita lihat beberpa tipe belajar siswa . D. Beberapa Tipe Belajar Siswa Mengetahui tipe belajar siswa membantu guru untuk dapat mendekati semua atau hampir semua murid hanya dengan menyampaikan informasi dengan gaya yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tipe belajar siswa. Beberapa Tipe Belajar Siswa Sebagai Berikut : 1. Tipe Belajar Visual. Bagi siswa yang bertipe belajar visual, yang mememgang peranan penting adalah mata / penglihatan ( visual ), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya lebih banyak / dititikberatkan pada peragaan / media, ajak mereka ke obyek-obyek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis. Ciri-ciri Tipe Belajar Visual : ² Bicara agak cepat ² Mementingkan penampilan dalam berpakaian/presentasi ² Tidak mudah terganggu oleh keributan ² Mengingat yang dilihat, dari pada yang didengar ² Lebih suka membaca dari pada dibacakan ² Pembaca cepat dan tekun ² Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi tidak pandai memilih kata-kata ² Lebih suka melakukan demonstrasi dari pada pidato ² Lebih suka musik dari pada seni ² Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya ² Mengingat dengan Asosiasi Visual 2. Tipe Belajar Auditif. Siswa yang bertipe auditif mengandalakan kesuksesan belajarnya melalui telinga ( alat pendengarannya ), untuk itu maka guru sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Karena akan sia-sialah guru yang menerangkan kepada siswa tuli, walaupun guru tersebut menerangkan dengan lantang , jelas dan dengan intonasi yang tepat. Ciri-ciri Tipe Belajar Auditif : ² Saat bekerja suka bicaa kepada diri sendiri ² Penampilan rapi ² Mudah terganggu oleh keributan ² Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat ² Senang membaca dengan keras dan mendengarkan ² Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca ² Biasanya ia pembicara yang fasih ² Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya ² Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik ² Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan Visual, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain ² Berbicara dalam irama yang terpola ² Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara 3. Tipe Belajar Kinestetik. Siswa yang bertipe belajar ini belajarnya melalui gerak dan sentuhan. Ciri-ciri Tipe Belajar Kinestetik : ² Berbicara perlahan ² Penampilan rapi ² Tidak terlalu mudah terganggu dengan situasi keributan ² Belajar melalui memanipulasi dan praktek ² Menghafal dengan cara berjalan dan melihat ² Menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca ² Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita ² Menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca ² Menyukai permainan yang menyibukkan ² Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di tempat itu ² Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi 4. Tipe Belajar Taktil. Taktil artinya rabaan atau sentuhan. Siswa yang seperti ini penyerapan hasil pendidikannya melaui alat peraba yaitu tangan atau kulit. Contoh : mengatur ruang ibadah, menentukan buah-buahan yang rusak (busuk) 5. Tipe Belajar Olfaktoris. Keberhasilan siswa yang bertipe olfaktoris , tergantung pada alat indra pencium, tipe siswa ini akan sangat cepat menyesuaikan dirinya dengan suasana bau lingkungan. Siswa tipe ini akan cocok bila bekerja di : laboratorium 6. Tipe Belajar Gustative. Siswa yang bertipe gustative ( kemampuan mencicipi ) adalah mereka yang mencirikan belajarnya lebih mengandalkan kecapan lidah. Mereka akan lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya melalui indra kecapnya. 7. Tipe Belajar Kombinatif. Siswa bertipe kombinatif adalah siswa yang dapat dan mampu mengikuti pelajaran dengan menggunakan lebih dari satu alat indra.Ia dapat menerima pelajaran dangan mata dan telinga sekaligus ketika belajar. Karena banyak ragam tipe belajar siswa, maka kita sebagai pendidik hendaknya mengenali betul anak didik kita dan hendaknya pendidik memiliki berbagai metode mengajar, agar siswa dapat menerima atau mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya dengan seefektif dan seefisien mungkin. F. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa a. Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yaitu kondisi/keadaan jasmani dan rohani siswa b. Faktor ekstenal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan disekitar siswa. c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Untuk memperjelas uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa, perhatikan bagan di bawah ini : Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Belajar Ragam Faktor dan Elemennya Internal Siswa Eksternal Siswa Pendekatan Belajar Siswa 1. Aspek Fisiologis :- Tonus Jasmani- Mata dan telinga2. Aspek Psikologis- intelegensi- sikap- minat- bakat- motivasi 1. Lingkungan Sosial- keluarga- guru dan staf- masyarakat- teman2. Lingkungan Nonsosial- rumah- sekolah- peralatan- alam 1. Pendekatan Tinggi- speculative- achieving2. Pendekatan Sedang- analitical- deep3. Pendekatan Rendah- reproductive- surface G. Hubungan Metodologi Mengajar Dengan Tipe Belajar Beberapa metode mengajar yang telah penulis uraikan di atas sebaiknya dikuasai dan divariasikan oleh pendidik, dengan tujuan pada saat mengajar dipraktekkan langsung, agar siswa yang terdiri dari bebrapa tipe belajar tersebut dapat menyimak, menerima, mencerna dan mengerti, sehingga peserta didik dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti adanya perubahan tingkah laku yang positif yaitu dari tidak tahu menjadi tahu, wawasannya lebih luas, tutur katanya lebih sopan serta gaya hidupnyapun lebih intelek. Metode mengajar jelas erat hubungannya dengan tipe belajar peserta didik, karena dalam proses belajar mengajar yang baik adalah apabila terjadi interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Untuk itu maka pendidik harus dapat menciptakan situasi yang nyaman, membangkitkan semangat belajar, menggairahkan dan membuat siswa antusias untuk belajar. Sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Bagaimana cara menciptakannya ?. Perhatikan tipe belajar terbanyak dari siswa yang kita ajar. Jika tipe belajar tebanyak adalah bertipe belajar auditif, maka kita akan tepat jika menggunakan metode ceramah atau mendengarkan kaset, tetapi diselingi juga dengan menunjukkan gambarnya (demonstrasi), dapat juga dengan memutarkan filmnya agar siswa dapat melihat (visual) dengan jelas apa yang terjadi. Dengan harapan peserta didik dalam kelas yang tipe belajarnya beragam itu, dapat menyimak, memperhatikan , sehingga terjadilah proses belajar mengajar dan terdapat interaksi dari keduanya. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh di bahwa ini : seorang peserta didik baru saja menerima sebuah bingkisan hadiah berupa kotak, setelah peserta didik membukanya, ternyata kotak itu berisi rumah boneka Barbie dalam keadaan terurai terdiri dari 25 bagian yang terpisah-pisah dilengkapi dengan buku petunjuk setebal 20 halaman untuk membantu peserta didik dalam merangkai rumah Barbie tersebut. ¨ Bagaimana peserta didik mengatasi hal ini ? ¨ Apakah peserta didik membaca buku tersebut serta bingung dan tidak jelas sampai ia melihat ilustrasinya dan mulai menyambung bagian-bagiannya ? ¨ Ataukah sebaliknya, peserta didik merasa bingung dengan rangkaian bagian-bagian itu ? Tetapi setelah peserta didik membaca buku petunjuknya semuanya menjadi sangat jelas? v Jika peserta didik membaca ilustrasi dan akhirnya menjadi jelas bagi peserta didik, maka kemungkinan besar peserta didik tergolong pelajar Visual. v Karena pendidik tahu tipe belajar siswa yaitu bertipe belajar visual, maka alangkah baiknya pendidik menjelaskan materi dengan metode ceramah, dengan menggunakan slide atau dengan menggunakan modul. v Jika peserta didik tidak dapat menyelesaikan dalam merangkai bagian-bagian tersebut melalui buku petunjuk ataupun melalui gambarnya, kemudian peserta didik menelpon temennya yang membaerikan hadiah tadi dan menjelaskannya melalui telepon bagaimana cara merankainya dan akhirnya menjadi jelas, maka ini berindikasi bahwa peserta didik tergolong pelajar auditif. v Karena peserta didiknya bertipe belajar auditif, maka sebaiknya pendidik pada saat mengajar menggunakan metode ceramah, memutarakan kaset, atau divariasikan antara metode ceramah dengan tanya jawab. v Jika terlihat peserta didik dalam memulai penyelesaian dengan bagian-bagian tersebut secara fisik, mungkin peserta didik tergolong pelajar taktil. Dalam hal ini pendidik harus banyak menggunakan metode demonstrasi disamping metode ceramah atau divariasikan dengan metode latihan keterampilan. III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Metode mengajar yang bervariasi perlu dimiliki oleh pendidik dan dipraktekkan pada saat mengajar. 2. Tipe belajar peserta didik perlu diketahui oleh pendidik, melalui observasi agar pendidik dapat menyesuaikan metode apa yang akan diterapkan pada saat mengajar. 3. Tipe belajar siswa berbeda-beda, karena banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya : lingkungan tempat tinggal, keluarga, orang tua, dan sebagainya. 4. Pendidik yang bijaksana dalam pelaksanaan pengajaran (pembelajaran) selalu berfikir bagaimana murid-muridnya, apakah murid-muridnya dapat mengerti apa yang disampaikan, apakah murid mengalami proses belajar, apakah materinya sesuai dengan pemahaman dan kematangan anak, dan sebagainya. B. Saran 1. Metode mengajar hendaknya disesuaikan dengan tipe belajar siswa agar apa yang disampaikan dapat dicerna, dikuasai, dan dimengerti oleh peserta didik. 2. Hendaknya pendidik mengenal dan memahami peserta didiknya. 3. Pendidik hendaknya memiliki keterampilan metode mengajar yang bervariasi. 4. Bagi mereka yang terlibat dalam dunia keguruan, hendaknya secara antusias untuk meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan , khususnya yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam dunia pendidikan. * ) Materi ini pernah disampaikan pada Diskusi Mahasiswa Program PascasarjanaUHAMKA angkatan 8.
** ) Penulis adalah Mahasiswa S-3 Pada PPs Universitas Negeri Yogyakarta Angkatan IV Tahun 2004..

sumber: Pendidikan Network, 20 Oktober 2004
Cara Belajar Efektif

Langkah-langkah belajar efektif adalah mengetahui
diri sendiri
kemampuan belajar anda
proces yang berhasil anda gunakan, dan dibutuhkan
minat, dan pengetahuan atas mata pelajaran anda inginkan
Anda mungkin belajar fisika dengan mudah tetapi tidak bisa belajar tenis, atau sebaliknya. Belajar apapun, adalah proces untuk mencapai tahap-tahap tertentu.
Empat langkah untuk belajar.Mulai dengan cetak halaman ini dan jawab pertanyan-pertanyaannya. Lalu rencanakan strategi anda dari jawaban-jawabanmu, dan dengan "Pedoman Belajar" yang lain.
Mulai dengan masa lalu
Apakah pengalaman anda tentang cara belajar? Apakah anda
What was your experience about how you learn? Did you
senang membaca? memecahkan masalah? menghafalkan? bercerita? menterjemah? berpidato?
mengetahui cara menringkas?
tanya dirimu sendiri tentang apa yang kamu pelajari?
meninjau kembali?
punya akses ke informasi dari banyak sumber?
menyukai ketenangan atau kelompok belajar?
memerlukan beberapa waktu belajar singkat atau satu yang panjang?
Apa kebiasaan belajar anda? Bagaimana tersusunnya? Yang mana terbaik? terburuk?
Bagaimana anda berkomunikasi dengan apa yang anda ketahui belajar paling baik? Melalui ujian tertulis, naskah, atau wawancara?
Teruskan ke masa sekarang
Berminatkah anda?Berapa banyak waktu saya ingin gunakan untuk belajar?Apa yang bersaing dengan perhatian saya?
Apakah keadaannya benar untuk meraih sukses?Apa yang bisa saya kontrol, dan apa yang di luar kontrol saya?Bisakah saya merubah kondisi ini menjadi sukses?
Apa yang mempengaruhi pembaktian anda terhadap pelajaran ini?
Apakah saya punya rencana? Apakah rencanaku mempertimbangkan pengalaman dan gaya belajar anda?
Pertimbangkanproses,
persoalan utama
Apa judulnya?Apa kunci kata yang menyolok?Apakah saya mengerti?
Apakah yang telah saya ketahui?Apakah saya mengetahui pelajaran sejenis lainnya?
Sumber-sumber dan informasi yang mana bisa membantu saya?Apakah saya mengandalkan satu sumber saja (contoh, buku)?Apakah saya perlu mencari sumber-sumber yang lain?
Sewaktu saya belajar, apakah saya tanya diri sendiri jika saya mengerti? Sebaiknya saya mempercepat atau memperlambat?Jika saya tidak mengerti, apakah saya tanya kenapa?
Apakah saya berhenti dan meringkas?Apakah saya berhenti dan bertanya jika ini logis?Apakah saya berhenti dan mengevaluasi (setuju/tidak setuju)?
Apakah saya membutuhkan waktu untuk berpikir dan kembali lagi?Apakah saya perlu mendiskusi dengan "pelajar-pelajar" lain untuk proces informasin lebih lanjut?Apakah saya perlu mencari "para ahli", guruku atau pustakawan atau ahliawan?
Buatreview
Apakah kerjaan saya benar?Apakah bisa saya kerjakan lebih baik?Apakah rencana saya serupa dengan "diri sendiri"?
Apakah saya memilih kondisi yang benar?Apakah saya meneruskannya; apakah saya disipline pada diri sendiri?
Apakah anda sukses?Apakah anda merayakan kesuksesan anda?
Sumber:
www.studygs.net

Mendidik dan Mengajar dengan Cinta
Oleh: Baedhowi *) dan Suparlan * *)
Guru yang baik akan memperlakukan siswanya seperti anaknya sendiri. Dia akan menjawab semua pertanyaan meskipun pertanyaan bodoh. (Fatmoumata [11 tahun] dari Chad).
Guru yang baik ialah yang menganggap semua muridnya sebagai anak-anaknya sendiri, yang setiap hari akan mendapat curahan kasih sayangnya. Guru yang baik ialah yang memberikan masa depan cemerlang dengan membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan. Guru yang demikian adalah guru yang berjasa meskipun tanpa diberi tanda jasa. Guru yang demikian substansinya adalah pahlawan. (D. Zawawi Imron)
Honesty is the first chapter in the book of wisdom. Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan (Thomas Jefferson)

Guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan dan pengajaran. Ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh dalam proses tersebut, yakni siswa, dan kurikulum. Selain itu ada faktor penunjang yang kini dipandang juga sangat fital keberadaannya, yakni fasilitas pendidikan. Dalam hal ini, perlu diakui bahwa pada masa lalu, sebelum dunia mengalami perkembangan teknologi yang maha dahsyat, proses pendidikan dapat dilakukan hanya di bawah pohon.
Mendidik sering dimaknai sama dengan mengajar. Sebenarnya, makna mendidik lebih luas maknanya dibandingkan dengan mengajar. Mendidik dapat dilakukan dengan cara mengajar. Tetapi mengajar di dalam kelas, sebagai misal, tidak selalu sebagai proses untuk mendidik. Memang, mendidik dan mengajar sering dimaknai secara tumpang tindih. Seorang guru mengajar di dalam kelas dengan maksud untuk mendidik peserta didik. Lebih dari itu, tingkah laku guru akan menjadi faktor yang penting dalam proses pendidikan, karena tingkah laku guru akan menjadi suri teladan bagi murid-muridnya. Pepatah petitih masa lalu "guru kencing berdiri, murid kencing barlari" sangat tepat untuk menggambarkan tentang proses pendidikan dengan suri keteladanan ini. Bahkan kini pepatah petitih itu dipelesetkan menjadi "guru kencing berdiri, murid mengencingi gurunya". Audzubillah.
Pendidikan memiliki tiga proses yang saling kait mengait dan saling pengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain. Pertama, sebagai proses pembentukan kebiasaan (habit formation). Kedua, sebagai proses pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan ketiga adalah sebagai proses keteladan yang dilakukan oleh para guru (role model) (Prof. Suyanto, Ph.D, dalam Pembukaan Diklat Integrasi Imtaq, 2 Agustus 2005).


Kompetensi Guru
Untuk melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran, guru harus memiliki seperangkat kompetensi yang harus dikuasai dan dimiliki. Menurut Barlow, kompetensi adalah 'the ability of a teacher to responsibly perform his or her duties appropriately' (Muhibin Syah, 1995:230).atau 'kemampuan seorang guru untuk menunjukkan secara bertanggung jawab tugas-tugasnya dengan tepat'. Dalam hal standar kompetensi guru, Pearson (1980) telah mengidentifikasi guru yang kompeten dengan tiga masalah pokok, yakni: (1) what standards must a teacher meet to teach satisfactorily rather than minimally, (2) what skills are required in general for a person to perform at this level, (3) does the person in question have these requisite skills. Untuk menjelaskan tentang pengertian tentang kompetensi itulah maka Gronczi (1997) dan Hager (1995) menjelaskan bahwa "An integrated view sees competence as a complex combination of knowledge, attitudes, skills, and values displayed in the context of task performance". Dengan kata lain secara singkat dapat diartikan bahwa kompetensi guru merupakan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh guru dalam konteks kinerja tugas yang diberikan kepadanya. Sejalan dengan definisi tersebut, Direktorat Tenaga Kependidikan, Dikdasmen menjelaskan bahwa "kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak". Dijelaskan lebih lanjut bahwa "kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru" (Direktorat Tenaga Kependidikan, Standar Kompetensi Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2003: 5).
Berdasarkan pengertian tersebut, standar kompetensi guru dipilah ke dalam tiga komponen yang saling kait mengait, yakni: (1) pengelolaan pembelajaran, (2) pengembangan profesi, dan (3) penguasaan akademik. Ketiga komponen SKG tersebut, masing-masing terdiri atas beberapa kompetensi, komponen pertama terdiri atas lima kompetensi, komponen kedua memiliki satu kompetensi, dan komponen ketiga terdiri atas dua kompetensi. Dengan demikian, ketiga komponen tersebut secara keseluruhan meliputi 7 (tujuh) kompetensi, yakni: (1) penyusunan rencana pembelajaran, (2) pelaksanaan interaksi belajar mengajar, (3) penilaian prestasi belajar peserta didik, (4) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik, (5) pengembangan profesi, (6) pemahaman wasasan kependidikan, dan (7) penguasaan bahan kajian akademik (sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan).

Cinta, Kepercayaan, dan Kewibawaan
Keseluruhan kompetensi tersebut harus dibungkus dengan sikap dan kepribadian guru yang baik. Salah satu nilai paling penting dalam sikap dan kepribadian guru yang bait itu adalah rasa cinta kasih guru kepada siswanya sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini. Seorang siswa Sekolah Dasar di negara Chad, ketika ditanya tentang guru yang bagaimana yang mereka inginkan, ia menyatakan "Guru yang baik akan memperlakukan siswanya seperti anaknya sendiri. Dia akan menjawab semua pertanyaan meskipun pertanyaan bodoh (Fatmoumata [11 tahun] dari Chad). Seorang sastrawan kondang dari Madura, D. Zawawi Imron, menyatakan bahwa "Guru yang baik ialah yang menganggap semua muridnya sebagai anak-anaknya sendiri, yang setiap hari akan mendapat curahan kasih sayangnya. Guru yang baik ialah yang memberikan masa depan cemerlang dengan membekali anak didiknya dengan visi yang tajam dan ilmu yang menjanjikan. Guru yang demikian adalah guru yang berjasa meskipun tanpa diberi tanda jasa. Guru yang demikian substansinya adalah pahlawan". Lebih dari itu, cinta kasih guru kepada semua siswanya tanpa pilih kasih haruslah dilandari dengan kejujuran. Bapak pendiri Amerika Serikat menyatakan "Honesty is the first chapter in the book of wisdom. Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan (Thomas Jefferson).
Memang, cinta merupakan salah satu penting dari tiga syarat penting dalam proses mendidik dan mengajar. Pertama adalah cinta, kedua adalah kepercayaan, dan ketiga adalah kewibawaan. Ketiga syarat ini saling pengaruh mempengaruhi dan saling kait mengait. Cinta akan menimbulkan kepercayaan. Seorang Ibu menyusui anaknya dengan rasa cinta. Seorang Bapak menimang-nimang anaknya dengan rasa cinta. Ketika sang anak ditimang-timang atau bahkan di angkat-angkat ke atas. Mengapa sang anak tidak takut jatuh? Karena sang anak memiliki kepercayaan kepada sang Bapak. Sang anak percaya bahwa Bapaknya tidak akan menjatuhkannya. Seterusnya, kepercayaan sang anak inilah yang menghadirkan kewibawaan bagi sang Bapak. Kewibawaan adalah kemampuan untuk dapat mempengaruhi orang lain. Kewibawaan akan lahir jika ada kepercayaan. Anak akan menurut atau mengikuti perintah dan arahan dari Bapak karena adanya kepercayaan kepada sang Bapak, atau dalam hal ini guru akan diikuti perintahnya oleh peserta didik jika peserta didik menaruh kepercayaan kepada gurunya. Itulah tiga syarat terjadinya proses pendidikan dan pengajaran.
Walhasil, guru melaksanakan proses pendidikan dan pengajaran harus dengan rasa cinta. Dengan cinta yang tuluslah anak-anak kita akan menaruh kepercayaan kepada gurunya, dan dengan kepercayaan itu, sang guru akan menjadi guru yang berwibawa di mata murid-muridnya. So what gito lho? Dengan meminjam kalimat populer dari Aming dalam lagunya yang kocak itu, para guru harus dapat menilai dirinya sendiri, apakah para guru telah mendidik dan mengajar dengan modal cinta? Anda pada gurulah yang paling tahu. Wallhu alam bishawab.
*) Staf Ahli Mendiknas Bidang Kurikulum dan Media Pendidikan



Meningkatkan IQ Dan EI Melalui Matematika

Oleh: Sri Kurnia Dewi SPd(Guru SMU 2 Barabai - Banjarmasin)
Sistem pendidikan berubah lagi yaitu dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi. Sebenarnya secara materi/bahan tidak jauh berbeda. Yang membedakan dengan kurikulum terdahulu adalah cara atau metode pengajaran dan penekanan pada tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dengan kurikulum berbasis kompetensi anak didik sangat diharapkan memiliki kemampuan dasar yang termuat di dalamnya, juga memberikan wawasan yang luas, kuat serta mendasar pada anak didik, yang pada gilirannya mereka mampu mengembangkan pengetahuan dan penalaran mereka untuk menganalisa dan menyikapi situasi kondisi kehidupan yang mereka hadapi. Proses pendidikan sekarang tidak hanya bertujuan mempersiapkan anak didik untuk suatu pekerjaan tetapi jauh lebih luas yaitu memberikan kemampuan/kecerdasan, baik intelektual, emosional dan spiritual sehingga dapat menjadi pribadi sosial yang sukses dalam hidup. Dalam istilah umumnya membekali anak didik dengan life skill kemampuan untuk hidup.
Matematika sebagai salah satu komponen dari serangkaian mata pelajaran di sekolah mempunyai peranan penting. Matematika tidak hanya sebagai ilmu tetapi juga sebagai dasar logika penalaran dan penyelesaian kuantitatif yang dipergunakan dalam idang ilmu lain. Sehingga tidak heran matematika diberikan di hampir semua jenjang pendidikan bahkan termasuk dalam pelajaran yang diujikan secara nasional pada setiap akhir jenjang pendidikan.
Sebenarnya pun pada kurikulum terdahulu sudah termuat tujuan agar anak didik mempunyai pengetahuan mendasar yang dapat dikatakan sejalan dengan program kurikulum berbasis kopetensi dengan maksud membekali anak dengan life skill. Seperti pada kurikulum matematika SD (GBPP) yang menyebutkan tujuan khusus diberikannya matematika di sekolah dasar adalah:
a Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari hari.
b. Menumbuhkan kemampuan siswa yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika.
c. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut.
d. Membentuk sikap logis, kritis dan disiplin.
Matematika berbeda dengan ilmu lain, materi matematika bersifat hirarkis (berurutan dan berhubungan). Dalam mempelajarinya matematika harus kontinyu, rajin latihan dan disiplin. Seorang siswa sekolah Dasar yang menguasai matematika SD dengan baik dapat dengan mudah mencerna matematika SMP dan SMU atau sebaliknya, siswa Sekolah Dasar yang tidak menguasai dasar-dasar berhitung (matematika) SD akan banyak mengalami kesulitan dalam belajar matematika SMP dan SMU. Kelalaian mengusai dasar-dasar berhitung membuat orang mengalami kesulitan pada pelajaran selanjutnya.
Konsep Dasar
Penggalakan kualitas pendidikan matematika amat penting dimulai pada tingkat SD sebab disitulah dasar dari segalanya. Karena itu bagi guru SD sangat diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman konsep dasar matematika yang benar dan kuat pada anak didik. Kreatifitas guru dalam proses pendidikan sangat diperlukan di samping upaya-upaya menumbuhkan aspek intelektual, emosional dan spiritual harus tetap dilakukan dalam setiap pengajaran termasuk dalam pengajaran matematika. Hendaklah guru dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baik dalam proses pendidikan sehignga anak didik tumbuh minatnya dan termotivasi, jangan sampai anak didik beranggapan matematika itu menjemukan padahal yang lebih mereka tidak sukai adalah pengalaman mereka ketika mengikuti pelajaran matematika itu di sekolah daripada matematika itu sendiri.
Dalam mengajar sebuah konsep guru dapat mencari cara yang menarik agar anak didik berminat, bersemangat dan termotivasi dalam mempelajari matematika. Misalnya di SD yang sebagian besar materi matematikanya mencakup bilangan pecahan, dalam pelajaran ini guru dapat membuat permainan dalam kelompok dimana ada seorang ibu yang berusaha membagi sepotong kue (sejumlah uang) untuk ketiga anaknya sehingga setiap anak mendapat bagian yang sama. Atau dapat saja guru membuat skenario bahwa setiap anak diminta menyumbangkan seperempat (1/4) dari uangnya untuk saudara mereka yang sedang kena musibah banjir, merekapun menghitung berapa besarnya 1/4 dari uang mereka. Dengan demikian kita memberi pengalaman yang efektif pada mereka di samping mengasah intelektualnya (IQ), kita juga meningkatkan kecerdasan emosional (EI), mereka diajak berempati pada saudara saudara mereka yang sedang kena musibah, dan saling menolong itu memang kewajiban seorang muslim, diharapkan dengan begitu dapat mempertajam kecerdasan nilai spiritual mereka.
Pengembangan Kemampuan
Melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran matematika, anak didik diharapkan mengembangkan kemampuan untuk menemukan, memeriksa, menggunakan dan dapat membuat generalisasi, meskipun kita menyadari bahwa anak didik memerlukan waktu untuk menyelidiki lalu menemukan berbagai pola dan hubungan. Hal ini berarti pengembangan konsep, ketepatan istilah dan penggunaannya serta penekanan pada struktur matematika dan hubungannya antara pokok bahasan, harus diperhatikan dengan teliti oleh guru dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Mempersiapkan anak didik agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, krisis, cermat, kreatif, jujur dan efektif serta disiplin dengan, efektif serta disiplin, dengan kata lain mereka mempunyai kecerdasan inteletual, emosional dan spiritual. Harapan ini tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat, tetapi perlu waktu panjang dan terus menerus berksinambungan dalam suatu proses pendidikan yang dijalani dalam beberapa tahap/jenjang pendidikan.
Mengingat peran guru sangat penting dalam proses pendidikan dan perkembangan anak didik, maka kita sebagai guru juga perlu untuk terus meningkatkan wawasan pengetahuan melalui pelatihan, diskusi antar guru untuk saling berbagi pengalaman, dan rajin membaca untuk menambah wawasan. Selain itu juga perlu meningkatkan sikap cerdas baik intelektual, emosional dan spiritual, karena kita juga adalah pribadi sosial yang dihadapkan pada situasi kondisi kehidupan yang selalu berkembang di samping mempunyai tugas sebagai pendidik.
Sumber: Banjarmasin Post



Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan Kendala yang Muncul di Lapangan

Asmin
*)
Abstrak: Proses belajar mengajar yang berkembang di kelas pada umumnya ditentukan oleh peranan guru dan siswa sebagai individu-individu yang terlibat langsung di dalam proses tersebut. Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik, setiap siswa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran baru yang tercipta melalui pemecahan masalah matematika realistik sehingga terbentuk suatu lingkungan belajar yang kondusif sedemikain rupa sehingga setiap individu dalam kelas dapat berfungsi dan dipandang sebagai sumber informasi atau sebagai sumber belajar. Hal ini dapat dimungkinkan dengan mengembangkan pola matematisasi horizontal yaitu transformasi masalah ke dalam model untuk pengetahuan matematika formal dan matematisasi vertikal berupa representasi hubungan-hubungan dalam rumus, yang menyesuaikan model matematika dalam pengunaan yang berbeda-beda.
Kata Kunci: Pembelajaran, Matematika Realistik (PMR), Proses belajar mengajar.
1. Pendahuluan
Tujuan pendidikan nasional seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).
Berbicara soal mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki jangkauan dan kajian yang sangat luas, terutama kajian pendidikan yang menyangkut pembelajaran di sekolah-sekolah. Jika dirunut ke belakang, maka dapat dispesifikkan lagi sampai kepada pembelajaran dari salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif bagi pencerdasan dan pencerahan kehidupan bangsa sekaligus turut memanusiakan bangsa Indonesia dalam arti dan cakupan yang lebih luas. Salah satu yang ingin dikaji yakni, Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang muncul di lapangan.
Masalah klasik dalam pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya prestasi murid serta kurangnya motivasi dan keinginan terhadap pembelajaran matematika di sekolah.
Matematika yang diajarkan di sekolah terdiri dari elemen-elemen dan sub-sub bagian matematika yang dipisahkan atas pembagian yang terdiri dari: (1) arti/hakekat kependidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan daya nalar serta pembinaan kepribadian siswa; (2) adanya kebutuhan yang nyata berupa tuntutan perkembangan riel dari kepentingan hidup masa kini dan masa mendatang yang senantiasa berorientasi pada perkembangan pengetahuan seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Dalam hal ini, pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah saat ini merupakan basic yang sangat penting dalam keikutsertaannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah barang tentu, pencapaian target “mencerdaskan kehidupan bangsa”, akan tetap segar bugar dan tegar menyongsong persaingan di era globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diaplikasikan pada persaingan era industrialisasi pada semua aspek kehidupan yang relevan dengan kemajuan informasi dan komunikasi yang berkembang dengan pesatnya.
Menurut laporan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999 yang merupakan kriteria acuan, rendahnya daya saing murid Indonesia di ajang international (Indonesia diperingkat ke 34 dari 38 negara) menunjukkan betapa lemahnya kemampuan penguasaan matematika di negara kita ini.
Menurut Suyatno (1988), dalam pengajaran matematika, penyampaian guru cenderung bersifat monoton, hampir tanpa variasi kreatif, kalau saja siswa ditanya, ada saja alasan yang mereka kemukakan, seperti matematika sulit, tidak mampu menjawab, takut disuruh guru ke depan, dan sebagainya. Sementara itu Syarien (1991) berpendapat adanya gejala matematika phobia (ketakutan anak terhadap matematika) yang melanda sebahagian besar siswa, sebagai akibat tak kenal maka tak sayang.

2. Kajian Literatur
2.1 Pendidikan Matematika Realistik dan Pembentukan Kemampuan Berpikir Siswa
Masalah klasik yang selalu muncul adalah keluhan masyarakat bahwa proses pembelajaran matematika di sekolah masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik, yakni seorang guru secara aktif mengajarkan matematika, kemudian memberikan contoh dan latihan, di sisi lain siswa berfungsi seperti mesin, mereka mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru.
Menurut Soedjadi (1992) dalam upaya pembenahan sangat perlu keberanian, kejujuran untuk melihat kenyataan yang memang terjadi di lapangan tanpa harus mencari siapa yang salah serta dengan tulus ikhlas mengakui kelemahan yang ada, sekaligus dengan cermat tepat mengarahkan pembenahan kepentingan kualitas siswa sebagai generasi muda kita. Peningkatan kualitas peserta didik tidak dapat dilakukan dengan menutup mata pada kenyataan keanekaragaman lingkungan masyarakat Indonesia. Kita harus mampu menatap keluar, namun juga harus tanggap di dalam. Menatap keluar berarti kita harus mampu mengikuti perkembangan dan perubahan di berbagai negara yang intisarinya dapat dipetik dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
Pada umumnya guru menguasai matematika hanya pada taraf penerapan, sehingga guru hanya mampu sampai taraf pengguna matematika. Akibatnya, ia tidak akan mampu berperanserta mengembangkan ilmu matematika menembus daerah ketidaktahuannya. Putman (1987) berpendapat bahwa salah satu aspek penting dalam pengajaran matematika adalah agar siswa mampu mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam berbagai keterampilan serta mampu menggunakannya sebagai strategi untuk memecahkan berbagai masalah.
Kesempatan diskusi di kelas jarang dilakukan serta interaksi dan komunikasi kurang digalakkan. Seiring dengan proses pembelajaran seperti itu, menurut de Lange (2001) , bahwa tujuan pemberian materi matematika masih berdasarkan 'matematika untuk matematikawan' bukan 'matematika untuk anak-sekolah' yang seyogyanya fokus dan penerapannya harus disesuaikan dengan apa yang pernah dialami murid setiap harinya. Menurut Zulkardi (1999), hal ini bertentangan dengan kebutuhan masyarakat informasi saat ini di mana melek matematika (mathematics literacy) adalah tujuan yang amat penting. Implikasinya, bahwa tujuan, materi dan proses belajar matematika sekolah di Indonesia perlu direformasi.

2.2 Pemikiran yang Melandasi Pengajaran Matematika Realistik
Pengembangan Matematika realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap matematika (Freudenthal, 1991) yang berpandangan sebagai berikut: (1) matematika harus dikaitkan dengan hal yang nyata bagi murid, dan (2) matematika harus dipandang sebagai suatu aktivitas manusia.
Pertama, untuk mulai dari fenomena atau kejadian yang real bagi murid maka prinsip Freudenthal's didactical phenomenology bahwa belajar harus mulai dari suatu masalah kontekstual yang pada akhirnya memunculkan konsep matematika yang dipelajari harus digunakan. Kedua, dengan menggunakan prinsip guided reinvention melalui progressive mathematizations, murid digiring secara didaktik dan efisien dari suatu level berfikir ke level berikutnya melalui matematisasi. Kedua prinsip ini dan prinsip self developed models (Gravemeijer, 1994) dioperasionalisasikan ke dalam lima karakteristik dasar dari Realistic Mathematic’s Education (de Lange, 1987; Gravemeijer, 1994) sebagai berikut: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2) menggunakan model, (3) menggunakan kontribusi murid, (4) interaktivitas, (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya.
De Lange (1993) menggarisbawahi masalah utama dalam mengimplementasikan yaitu bagaimana melatih guru untuk menggunakan materi baru dan mengajar dengan materi tersebut menggunakan pendekatan baru. Hal ini tampaknya kompleks karena adanya beberapa perubahan yaitu: (1) materi matematika berbeda dengan yang sebelumnya; (2) peranan guru berubah dari mengajar ke tidak mengajar; dan (3) materi evaluasi difokuskan pada soal-soal level menengah dan atas meskipun tidak melupakan level bawah. Perubahan ini harus diperhitungkan bila pendekatan RME akan diimplementasikan di Indonesia.
Pada tahun 1998, de Lange mengajukan alasan mengapa PMR cukup potensial untuk diterapkan di sekolah. Alasannya bahwa proses pengembangan konsep PMR dan berbagai gagasan matematika bermula dari dunia nyata dan pada akhirnya perlu merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika tersebut ke dalam bentuk alam yang nyata. Artinya, yang dilakukan dalam proses matematika adalah mengambil sesuatu dari bentuk dunia nyata di bawa ke dalam model matematisasi, dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke bentuk alam nyata. Hal ini digambarkan dalam model sebagai berikut.

Sejalan dengan itu, menurut Soedjadi (2001) Realistic Mathematics Education (RME) memiliki filsafat dasar yaitu bahwa “matematika adalah aktivitas manusia”, dan tidak lagi dipandang “siap pakai”. Filsafat ini mengakibatkan perubahan yang amat mendasar tentang proses pembelajaran matematika. Tidak lagi hanya pemberian informasi dalam pembelajaran matematika, tetapi harus mengubah menjadi aktivitas manusia untuk memperoleh pengetahuan matematika. Selanjutnya RME memiliki prinsip: 1) Reinvention dan progressive matematization, 2) Didactical phenomenology dan 3) Self-developed model. Karakteristiknya meliputi: 1) Menggunakan konteks, 2) Menggunakan model, 3) Menggunakan konstribusi siswa, 4) Interaksi, dan 5) Interwining.
Implementasi pendidikan matematika realistik di Indonesia harus dimulai dengan mengadaptasikan PMR sesuai dengan karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Pengimplementasian PMR di kelas harus didukung oleh sebuah perangkat yang dalam hal ini adalah buku ajar yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Menurut Suharta (2001) bahwa implementasi PMR di kelas meliputi tiga fase yakni: fase pengenalan, fase eksplorasi dan fase meringkas.
Pada fase pengenalan, guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang semua konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya
Pada fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Pada saat siswa sedang bekerja, mereka mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman atau ide, mendiskusikan pola yang dibentuk saat itu, serta berupaya membuat dugaan. Selanjutnya dikembangkan strategi-strategi pemecahan masalah yang mungkin dilakukan berdasarkan pada pengetahuan informal atau formal yang dimiliki siswa. Di sini guru berupaya meyakinkan siswa dengan cara memberi pengertian sambil berjalan mengelilingi siswa, melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan siswa, dan memberi motivasi kepada siswa untuk giat bekerja. Dalam hal ini, peranan guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan. Bagi siswa yang berkemampuan tinggi, dapat diberikan pekerjaan yang lebih menantang yang berkaitan dengan masalah.
Pada fase meringkas, guru dapat mengawali pekerjaan lanjutan setelah siswa menunjukkan kemajuan dalam pemecahan masalah. Sebelumnya mendiskusikan pemecahan-pemecahan dengan berbagai strategi yang mereka lakukan. Dalam hal ini, guru membantu siswa meningkatkan kinerja matematika secara lebih efisien dan efektif. Peranan siswa dalam fase ini sangat penting seperti: mengajukan dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi, alternatif-alternatif pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan mereka, dan membuat keterkaitan. Sebagai hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep-konsep awal/utama atau pengetahuan matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.

2.3 Strategi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia
Selter dalam Zuklardi (2001) menekankan bahwa semua aktivitas PMR dimediasi melalui guru, khususnya melalui teacher's beliefs tentang bagaimana mengorganisir dan memfasilitasi murid belajar matematika. Dalam konteks ini, LPTK (pre-service atau in-service) memainkan peranan penting. Salah satu strategi kunci dalam situasi ini adalah melibatkan mereka, guru atau calon guru, dalam pengembangan profesi mereka (professional development) menggunakan strategi berikut: (1) kuliah alau training singkat (untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru atau calon guru), (2) pengembangan kurikulum (dengan mengadaptasi materi pembelajaran inovasi langsung ke kelas atau sekolah); dan (3) teknologi (untuk menyediakan media infonnasi yang kaya dan pendekatan baru itu).
2.4 Kurikulum PMR
Pendidikan Matematika Realistik mulai diperkenalkan dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia, yang tidak lain merupakan pengembangan gagasan pemikiran dari Freudenthal (1905-1990). Ide penerapan PMR pertama kali diperkenalkan di Negeri Belanda sekitar tahun 1970 oleh Institut Freudenthal, yang mengacu pada pemikiran Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini bermakna bahwa, matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti, manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan masalah-masalah realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak hanya mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).
Pertanyaan mendasar yang ingin dikemukakan adalah “bagaimana memperkenalkan PMR kepada guru-guru di sekolah dan bagaimana upaya pengimplementasiannya secara efektif di sekolah?”
Menurut Hadi (2001), pertanyaan tersebut menyangkut pendesainan program pengembangan profesional guru, dan sebagai konsekuensinya perlu disediakan materi kurikukum yang berbasis PMR sebagai bagian yang tak terpisahkan dari program tersebut. Persoalannya kemudian adalah masih belum tersedia materi kurikulum yang berbasis PMR dan relevan dengan kurikulum yang saat ini berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut ada dua altematif, yaitu apakah mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia atau mengadaptasi materi PMR yang sudah ada dengan menyesuaikan konteksnya dengan konteks Indonesia. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga, yang relevan adalah mengadaptasi. Materi PMR yang dipilih diambil dari MiC (Mathematics in Contect) yaitu materi PMR untuk kelas 5/6 s.d. 8/9 yang dikembangkan oleh University of Wisconsin dan Institut Freudenthal. Pertanyaan-pertanyaan operasional berikutnya adalah: (1) Dalam konteks Indonesia, bagaimanakah mengadaptasi materi PMR dari MiC? (2) Dalam implementasinya, bagaimanakah mengenalkan PMR kepada guru matematika? (3) Upaya pengelolaan yang bagaimana seharusnya dilakukan dalam mempersiapkan guru agar mampu mengajarkan PMR secara tepat dan efektif di sekolah?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut di atas, kiranya dibutuhkan pemikiran yang lebih luas dan usaha yang tepat dalam mempersiapkan kurikulum PMR yang sesuai untuk kondisi pedidikan dan budaya masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini PMR merupakan teori baru bagi sebagian besar orang di Indonesia, terutama para guru.
Pada dasarnya guru-guru matematika, dapat dikategorikan sebagai kelompok yang tidak memiliki ide atau pengertian apapun tentang PMR. Oleh karena itu, tidak rasional mengharapkan mereka terlalu dini mampu menerapkan PMR di kelas sebelum mereka mengenal secara baik apa dan bagaimana PMR itu.
Menurut Sembiring (2001) dalam RME permasalahan disajikan sedemikian rupa sehingga dimungkinkan muncul beberapa alternatif pemecahan soal. Dengan demikian diharapkan para siswa, atau kelompok siswa, datang dengan berbagai alternatif pemecahan soal. Ini mendorong adanya diskusi. Cara kerja seperti ini akan menumbuhkan percaya diri dan sekaligus menanamkan prinsip demokrasi pada diri siswa. Jadi melalui RME kita menanamkan pemahaman demokrasi.
Menurut Soedjadi (1994) bahwa kurikulum matematika yang ada sekarang ini jelas terlihat penekanannya terletak kepada apa yang harus diajarkan, tetapi kurang mengarahkan kepada bagaimana megajarkan materi ajaran itu. Pada dasarnya kurikulum dibuat untuk dapat memenuhi tuntutan kehidupan maupun tuntutan perkembangan ilmu yang demikian pesat serta perkembangan teknologi yang sudah langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan matematika realistik dalam perkembangan suatu bangsa di masa depan akan semakin penting, baik dalam makna formal (penataan nalar dan pembentukan sikap mental) maupun dalam makna material (terutama penggunaan matematika realistik). Perkembangan ilmu dan teknologi semakin menuntut pemilihan materi matematika yang tepat untuk melayaninya. Ini jelas menuntut fleksibilitas kurikulum. Dalam pada itu kurikulum sekolah di suatu negara dapat melepaskan diri dari keadaan nyata lingkungan masyarakat negara itu. Indonesia yang satu tetapi bineka ini memerlukan kurikulum yang tidak melupakan mereka yang terbelakang sekaligus tidak membiarkan Indonesia selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum PMR yang berani jauh ke depan tanpa selalu tertinggal. Perlu pola kurikulum yang berani jauh ke depan tanpa melupakan kenyataan yang kini ada. Memperhatikan hal-hal tersebut maka kurikulum matematika realistik sekolah di Indonesia harus diorientasikan kepada upaya mengangkat keterbelakangan dan mengejar ketertinggalan.
Mengapa kurikulum PMR perlu diorientasikan kepada upaya itu? Memperhatikan pengalaman, pengamatan dan hasil penelitian sporadis, jelas terlihat bahwa ada wilayah/sekolah yang sudah siap untuk cepat maju tetapi juga ada wilayah/sekolah yang memang secara nyata belum siap untuk maju cepat. Kenyataan demikian memerlukan rumusan kemampuan, yang perlu sesuai dengan lingkungan yang menuntut tingkah penalaran yang beragam. Berikut ini dikemukakan bagaimana orientasi kurikulum matematika sekolah itu perlu dijabarkan secara lebih jelas.
Organisasi kurikulum atau bentuk kurikulum menentukan bahan pelajaran, urutan, dan cara penyampaiannya kepada siswa. Subjek berarti pengalaman manusia yang disususn secara logis dan sistematis, atau diartikan juga mata pelajaran. Subjek kurikulum adalah bentuk kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran.
Apabila kurikulum matematika realistik itu dipandang sebagai suatu sistem, maka kurikulum matematika mempunyai 4 komponen utama yakni: (1) tujuan, (2) kegiatan atau pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tersebut, (3) pengetahuan, yakni bahan pelajaran matematika realistik yang diperoleh dan digunakanan dalam proses belajar, dan (4) penilaian atau evaluasi hasil belajar matematika realistik yang gunanya untuk mengetahui hingga mana tujuan itu tercapai.
Keempat komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Tujuan yang telah ditetapkan itu menentukan bahan pelajaran apa yang harus dipilih yang dapat membawa siswa ke arah tujuan yang ditentukan. Bahan pelajaran matematika menentukan kegiatan belajar matematika yang harus dialami siswa. Jadi lebih dahulu harus dirumuskan tujuan, barulah kemudian bahan pelajaran matematika dan kegiatan belajarnya. Tujuan juga menentukan penilaian, apa yang dinilai dalam matematika dan bagaimana cara menilainya. Menilai pengetahuan matematika tidak sama caranya dengan menilai sikap atau keterampilan. Yang dinilai bukan hanya tujuan, melainkan juga bahan pelajaran dan kegiatan belajar. Jika komponen tujuan tidak tercapai, mungkin kesalahannya terletak pada komponen-komponen lainnya.
Dalam pembelaajran matematika realistik harus diperhatikan keseimbangan antara kononen-komponen itu. Pada experince atau capacity curriculum misalnya, terlampau mengutamakan kegiatan atau pengalaman belajar dan kurang mementingkan unsur pengetahuan, sedangkan subject curriculum mengutamakan aspek pengetahuan dan kurang mementingkan kegiatan atau pengalaman belajar. Gambaran komponen tujuan ini sebagai berikut.
Kurikulum PMR tidak hanya mengenai bagaimana mengorganisasikan dan mengintegrasikan bahan pelajaran matematika realistik itu sendiri, tetapi juga penilaian terhadap hasil diagnosis mengenai kelemahan atau kekuatan komponen-komponen kurikulum, sehingga dapat diketahui komponen mana yang perlu diperbaiki, misalnya mengajar, dan bahan pelajaran tidak sesuai dengan tingkat kematangan siswa.
Salah satu unsur pokok dalam pengajaran matematika realistik adalah matematika itu sendiri. Guru matematika realistik harus mengetahui objek yang akan diajarkan yaitu matematika secara umum yang bersifat nyata. Apakah matematika itu? Matematika adalah pengetahuan mengenai kuantitatif dan ruang, salah satu cabang dari sekian banyak cabang ilmu, yang sistematis, teratur dan eksak. Matematika adalah angka-angka dan perhitungan yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Matematika menolong manusia menafsirkan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan-kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem-problem numerik Matematika membahas fakta-fakta dan hubungan-hubungannya, serta membahas problem ruang dan bentuk.
Matematika adalah queen of science (ratunya ilmu). Walau reputasinya tidak bernoda dalam hal metode, validitas dan logikanya, namun masih mempunyai problem dalam hal dasar logika. Matematika hanya dikembangkan secara sebagian-sebagian dan terus menerus mengalami perubahan, baik metode maupun isinya. Walaupun matematika jauh lebih eksak dari ilmu-ilmu sosial, dan lebih eksak dari ilmu-ilmu fisik, matematika tidaklah eksak secara absolut. Bagi seseorang yang telah diindoktrinasi dalam hal kebenaran absolut dan kesempurnaan matematika, jika melakukan studi tentang ahli-ahli dan sejarah matematika, bisa kehilangan harapan, tetapi bisa menemukan cahaya terang.
Orientasi pengajaran matematika kita saat ini cenderung sangat prosedural. Secara gamblang seorang guru menyatakan bahwa selama ini mereka (para guru matematika) mengajarkan siswa-siswa menghafalkan rumus-rumus atau prosedur matematik tertentu. Kehadiran PMR dirasakan dapat memperbaiki kondisi tersebut, yaitu mengubah pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
Agar pembelajaran bermakna bagi siswa maka pembelajaran seyogianya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik. Kemudian siswa diberi kesempatan menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri dengan skema yang dimiliki dalam pikirannya. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi, dan mencari strateginya yang sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi dan tidak serta merta siswa telah melakukan aktivitas konstruksi. Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitsnya melakukan refleksi, interpretasi, dan internalisasi. Rekonstruksi itu dimugkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok kecil maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Guru membimbing mereka untuk menarik kesimpulan bagi diri masing-masing-masing. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau reinvention. Mula-mula matematisasi berlangsung secara horizontal dan dengan bimbingan guru siswa melakukan matematisasi vertikal (Marpaung: 2001).

2.5 Mempersiapkan Materi Kurikulum PMR
Penerapan PMR secara tepat guna di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dan ketersediaan materi kurikulum berbasis PMR. Untuk itu diperlukan materi kurikulum dengan konteks Indonesia.
Menurut Hadi (2001) mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dengan konteks Indonesia akan memakan waktu yang panjang karena harus melalui rangkaian: (1) olah fikir (pengembang mendesain materi PMR yang relevan dengan kurikulum yang berlaku); (2) ujicoba dengan kelompok kecil siswa (oleh pengembang sendiri); (3) revisi berdasarkan hasil uji coba skala kecil; (4) uji coba oleh guru di kelas; dan (5) revisi berdasarkan hasil uji coba di kelas.
Apabila rangkaian evaluasi dan revisi terhadap draft materi kurikulum PMR tersebut dilaksanakan secara baik, akan menghasilkan materi yang userfriendly baik bagi siswa maupun guru. Walaupun demikian, ini tidak menjamin bahwa materi tersebut akan mendorong peningkatan prestasi siswa dalam belajar matematika. Ini akan dibuktikan setelah guru dan siswa menggunakan materi tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Berkaitan dengan pengembangan materi kurikuluni PMR beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian: (1) konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa; (2) bahasa yang digunakan harus sederhana dan jelas; dan (3) gambar harus mendukung konsep.
Apabila upaya mengembangkan sendiri materi kurikulum PMR dianggap tidak efisien dalam jangka pendek, dapat dilakukan adaptasi terhadap materi PMR yang sudah ada. Ini jauh lebih mudah dibanding mengembangkan sendiri. Namun beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian:
(1) Tidak setiap konteks dapat langsung diadopsi, mengingat perbedaan budaya dan pengalaman siswa kita dengan siswa luar negeri. Bahkan untuk konteks yang sudah dikenal siswa, pengalaman sebelumnya tentang konteks tersebut dapat mempenganthi mereka dalam menyelesaikan soal.
(2) Apabila konteks yang ingin diadaptasi dirasakan oleh pengembang cukup dikenal, persoalan selanjutnya adalah pengadaptasian dan penerjemahan soal yang menyertai konteks tersebut. Penerjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia harus menyampaikan pesan yang sama agar tidak membingungkan.
(3) Sedapat mungkin konteks dapat menjelaskan pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan lisan. Hal ini terutama penting untuk ukuran kelas yang besar (40 s.d. 45 siswa per kelas). Karena kalau konteks masih memerlukan penjelasan lisan dari guru akan memakan waktu yang lama sebelum siswa-siswa siap bekerja menyelesaikan soal dalam materi kurikulum (buku siswa).
(4) Gambar dapat mempengaruhi siswa. Beberapa siswa menggunakan/menafsirkan gambar untuk menyelesaikan soal. Karena penafsiran yang keliru terhadap gambar yang menyertai soal, jawaban siswa menjadi salah.

2.6 Panguasaan Materi Ajar PMR
Menurut Putman (1987), tujuan pengajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar. Salah satu aspek penting dalam pencapaian transfer belajara matematika itu agar siswa menguasai konsep-konsep matematika, dan keterampilan PMR sehingga dapat diaplikasikan dalam pemecahan masalah. Dari semua aspek yang telah dikemukakan di atas, tidaklah mengherankan jika dijumpai kenyataan bahwa penguasaan materi ajar PMR dari peserta didik masih perlu dikemas dengan lebih menarik. Lebih dari itu, adanya kenyataan bahwa peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal atau masalah yang sedikit saja keluar dari kurikulum atau dari buku paket. Menurut Soejadi (1992) bahwa kelemahan bermatematika siswa di jenjang SD yang sering diungkapkan oleh beberapa pihak, antara lain: (1) tidak dapat dengan cepat mengerjakan perkalian,dan pembagian; (2) mengerjakan pecahan; (3) memahami geografi; (4) menyelesaikan soal ceritera
Kelemahan-kelemahan tentang hal-hal yang mendasar di SD berpengaruh terhadap panguasaan materi ajar di SLTP dan juga di SMU; selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kemampuan melakukan analisis. Penguasaan materi ajar yang tidak mantap mengakibatkan gejala umum yaitu terlupakan dalam satu minggu.
Menurut Suharta (2001), dalam pengajaran matematika realistik dibutuhkan upaya: (1) penemuan kembali terbimbing dan matematisasi progresif; (2) fenomena didaktik; dan (3), mengembangkan model-model sendiri.
Dalam hal pertama, pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengalami sendiri proses penemuan matematika. Prinsip ini dapat memberikan inspirasi yang menerapkan prosedur pemecahan informal, di mana melalui matematisasi, siswa harus diberikan kesempatan untuk melakukan proses penemuan kembali (reinvention) konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya. Hal ini dapat dicapai bilamana pengajaran matematika realistik yang dilakukan menggunakan situasi yang kondusif berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika realistik bagi siswa.
Dalam hal kedua, pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistik harus menetapkan aspek aplikasi, dan mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif. Dalam hal ini siswa akan menggunakan pengetahuan matematika informal yang mereka miliki untuk memecahkan masalah matematika realistik yang mereka hadapi. Strategi-strategi informal yang dikemukakan siswa akan bervariasi, dan dengan demikian strategi-strategi informal yang diberikan oleh guru tidak sama dengan yang dikemukakan siswa, berarti akan ada peningkatan pengetahuan bagi siswa. Seorang guru matematika harus mampu mengakomodasi strategi-strategi informal yang dikemukakan oleh siswa dan dipergunakan sebagai alat untuk menuju pengetahuan matematika formal.
Dalam hal ketiga, pemecahan masalah matematika realistik harus mampu dijembatani melalui pengembangan model-model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau dari pengetahuan matematika informal ke bentuk pengetahuan matematika formal. Artinya, model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan masalah yang mampu menciptakan kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktivitas di bawah bimbingan guru. Melalui matematisasi horizontal, model tentang masalah berubah menjadi model untuk pengetahuan matematika formal, dan melalui matematisasi vertikal berubah menjadi model pengetahuan matematika formal.
Menurut Suwarsono (2001), kekuatan-kekuatan yang diperlukan untuk mengatasi kerumitan mengimplementasikan PMR di sekolah antara lain:
(1) Pemahaman tentang PMR dan upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar, mengenai berbagai hal, misalnya mengenai siswa, mengenai guru, mengenai peranan soal, peranan konteks, peranan alat peraga (manipulative materials), pengertian belajar, dan lain-lain.
(2) Pencarian soal-soal yang kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut masing-masing harus dapat diselesaikan dengan bermacam cara.
(3) Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan setiap soal juga merupakan tantangan tersendiri.
(4) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, dengan melalui soal-soal yang kontekstual, proses matematisasi horisontal, dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu. Dalam hal ini diperlukan microdidaktics.
(5) Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan PMR.
(6) Penilaian dalam PMR lebih rumit daripada dalam pembelajaran yang konvensional (Lihat Verhage & de Lange, 1996).
(7) Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip PMR.

2.7 Matematisasi Horizontal dan mateamtisasi Vertikal dan kaitannya dengan Berpikir Lateral dan Berpikir Vertikal
Dalam pengajaran matematika realistik ini dapat dilakukan dua pendekatan yaitu melalui matematisasi horizontal dan vertikal (Treffers:1991). Ia mengatakan sebagai berikut: “Matematisasi horizontal adalah pemodelan situasi masalah yang dapat didekati dengan makna matematika. Atau dengan kata lain: menggiring dari dunia yang dirasakan kepada dunia lambang. Sepanjang pembagian tersebut kita mengamati bahwa dalam dunia konkrit berupa dunia yang dirasakan, hal tersebut bukan suatu indikasi tingkat kemutlakan tetapi sesuatu yang bersifat relatif. Misalnya, dari bagian-bagian dunia lambang dapat menjadi bagian dari dunia yang dapat dirasakan, dan dalam kenyataannya dapat bersifat pribadi. Matematisasi vertikal diarahkan pada perluasan dan bangunan keterampilan dan pengetahuan yang dirasakan di dalam sistem materi pokok yang terdapat dalam dunia lambang”.
Sementara menurut de Lange (1996), matematisasi horizontal mencakup: proses informal siswa untuk menyelesaikan sebuah soal, membuat model matematika, melakukan translasi antara modus yang ditampilkan, membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain. Sedang matematisasi vertikal mencakup: proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula, pembuktikan keteraturan, mendesain model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan berbagai persoalan matematika realistik, prosedurnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Contoh matematisasi horizontal adalah: pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika.
Contoh matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam rumus, penghalusan dan penyesuaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi memiliki nilai yang sama dalam PMR (Valden Heuvel-Panheuizen, dalam Suharta: 2001), dan hal ini digambarkan sebagai berikut:


Dalam PMR kedua jenis matematisasi tersebut berkaitan dengan cara berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Kedua pemikiran itu disebut sebagai berpikir lateral dan berpikir vertikal. Perbedaan kedua cara berpikir itu, menurut de Bono (1987) adalah sebagai berikut: Yang menjadi permasalahan dalam berpikir vertikal adalah kebenaran, sedangkan yang menjadi permasalahan dalam berpikir lateral adalah kekayaan ragam pemikiran. Berpikir vertikal menyeleksi jalur jalan dengan menyampingkan jalur jalan lainnya. Sebaliknya, berpikir lateral tidak menyeleksi tetapi berupaya merintis jalur jalan lainnya. Dalam berpikir vertikal kita memilih pendekatan yang paling memberi harapan pada suatu masalah, cara terbaik untuk mencari suatu situasi. Dalam berpikir lateral kita sedapat-dapatnya mengembangkan sebanyak mungkin pendekatan alternatif. Dengan berpikir vertikal kita mencari berbagai pendekatan sampai menemukan pendekatan yang memberi harapan. Dengan berpikir lateral kita berupaya mengembangkan terus sebanyak mungkin pendekatan, bahkan setelah kita menemukan sesuatu yang memberi harapan. Dengan berpikir vertikal kita mencoba memilih pendekatan yang terbaik, tetapi dengan berpikir lateral kita mengembangkan berbagai pendekatan demi pengembangan pendekatan. Dengan berpikir vertikal, kita bergerak ke suatu arah yang sudah ditetapkan dengan jelas ke arah pemecahan masalah. Kita menggunakan beberapa pendekatan yang nyata atau beberapa teknik yang nyata. Dengan berpikir lateral kita bergerak demi gerakan itu sendiri.

2.8 Kekuatan dan Kelemahan Matematika Realistik
Mengungkap berbagai kekurangan sama artinya mengemukakan berbagai kelemahan yang muncul di depan mata kita, sebagai suatu kenyataan apa adanya, hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran matematika yang telah berjalan pada kurun waktu yang lampau secara mutlak dipersalahkan atau sama sekali tidak memberi manfaat secara nyata kepada peserta didik. Namun, pemaparan berbagai kelemahan itu lebih diartikan sebagai titik tolak untuk mengambil tindakan positip sebagai upaya memberikan antisipasi berupa tindakan konkrit bertahap yang harus ditempuh selama pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Menurut Mustaqimah (2001) keunggulan dan kelemahan PMR adalah sebagai berikut:
Keunggulan
Kelemahan
1. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya

2. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya
4. Memupuk kerja sama dalam kelompok
5. Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya
6. melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat
7. Pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman yang sedang berbicara
1. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya
2. Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah
3. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai
4. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu
5. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi/memberi nilai


2.9 Problem Solving Matematika Realistik
Dalam pembelajaran matematika realistik, salah satu hal yang penting dikuasai oleh seorang guru adalah bagaimana siswa mampu memecahkan masalah matematika yang sedang dihadapinya. Menurut Hudoyo (1981), pengajaran matematika akan dapat berlangsung efektif jika guru yang mengajarkan matematika memiliki keterampilan dalam proses pengerjaan matematika di kelas. Penyelesaian masalah dalam matematika realistik tidak terlepas dari bagaimana strategi belajar mengajar menyelesaikan masalah (problem solving) yang senantiasa muncul di kelas. Mungkin mengherankan untuk diketahui bahwa dalam mempelajari sifat-sifat masalah sedikit kegunaannya dalam menjelaskan pengertian problem (masalah). Pengertian problem terdapat dalam sikap orang menghadapi situasi yang mungkin merupakan problem atau bukan problem bagi mereka.
Namun demikian, apakah situasi tertentu dalam matematika realistik itu merupakan problem atau bukan bagi seorang siswa, tergantung pada bagaimana siswa menghadapi situasi itu. Dengan demikian dapat kita definisikan problem itu sebagai berikut: suatu situasi merupakan suatu problem bagi seseorang, jika orang itu menyadari eksistensinya situasi itu, perlu menghendaki tindakan, dia mau atau perlu bertindak, dia melakukan tindakan, dan dia tidak segera mampu menyelesaiakan problem itu. Dengan demikian problem solving dalam matematika adalah penyelesaian dari satu situasi dalam matematika yang dipandang sebagai satu peroblem matematika (Murtadho dan Tambunan: 1987).
Apabila definisi problem di atas dipertahankan, maka himpunan soal-soal latihan matematika realistik di sekolah harus diberi nama soal-soal latihan (exercises), bukan problem. Dalam hal ini, apakah soal-soal latihan matematika itu merupakan problem atau tidak, bergantung bagaimana siswa memandangnya dan tergantung pula bagaimana dia menyelesaikannya.
Yang perlu kita kritisi adalah kebanyakan soal-soal latihan dalam buku-buku teks matematika dirancang untuk latihan (drill) dan praktek rutin, walau banyak dari latihan dan praktek itu (tentu yang lebih sulit) benar-benar merupakan problem bagi hampir semua siswa. Di samping itu, tidak terlalu penting jika latihan, soal latihan, dan praktik itu disebut problem dan prosedur penyelesaiannya disebut keterampilan problem solving. Bagaimanapun juga, yang terpenting adalah guru matematika dan siswa mengetahui perbedaan antara belajar keterampilan matematika dengan menyelesaiakan soal-soal latihan dan belajar pendekatan umum terhadap problem solving matematika realistik dengan cara menyelesaiakan situasi yang benar-benar merupakan problem.
Secara umum para guru matematika percaya bahwa problem solving adalah aktivitas instruksional yang sangat penting dalam pengajaran matematika realistik, sebab tujuan belajar (learning objective) yang melalui penyelesaian problem dan melalui belajar prosedur problem solving umum, sangat nyata pentingnya dalam masyarakat. Penemuan-penemuan penelitian menunjukkan bahwa strategi umum problem solving yang dipelajari dalam kelas matematika, dapat ditransfer dan digunakan ke situasi problem solving lainnya. Prinsip-prinsip yang dipelajari dan diaplikasikan dalam problem solving lebih banyak kemungkinannya ditransfer ke situasi problem solving lainnya daripada prinsip-prinsip yang tidak diaplikasikan dalam penyelesaian problem-problem.
Problem solving matematika realistik dapat menolong siswa meningkatkan kemampuan menganalisis dan dapat menolong mereka menggunakan kemampuan ini dalam situasi berbeda-beda. Penyelesaian problem dapat juga menolong siswa belajar fakta matematika keterampilan konsep dan prinsip-prinsip dengan mengilustrasikan pemakaian objek-objek matematika realistik dan interelasi objek-objek itu.
Karena problem solving adalah aktivitas yang mempesonakan hampir semua siswa, maka penyelesaian problem dalam pelajaran matematika realistik dapat meningkatkan motivasi, yaitu dapat membuat matematika realistik lebih menarik siswa. Akan tetapi problem solving dapat pula menurunkan motivasi, jika kecepatan, ketepatan, format, kenecesan, dan mencari jawaban yang benar, menjadi tujuan pengajaran problem solving di sekolah. Problem solving itu sulit dan dapat memfrustasikan siswa jika guru tidak menunjukkan kesabaran, pengertian, dan memberikan esistensi yang tidak mendorong siswa. Apabila guru mengerjakan problem solving dengan menciptakan lingkungan kelas yang menyenangkan dan mendukung, siswa dapat merasakan kepuasan mencari penyelesaian yang kreatif dan asli dari problem-problem matematika realistik tersebut.
Problem solving adalah proses dasar dalam matematika realistik dan merupakan sebagian karya para matematikawan yang jumlahnya banyak sekali. Oleh karena itu, siswa dapat mempelajari hakikat metematika dan aktivitas pakar matematika lebih baik, jika mereka menyelesaikan problem matematika secara realistik. Karena meneruskan warisan kebudayaan adalah tujuan yang penting dari sistem pendidikan, maka objek (fakta, keterampilan, konsep, prinsip-prinsip) dan metode (strategi problem solving) matematika realistik, yang merupakan bagian yang penting dari warisan ini harus diteruskan kepada siswa.
Problem dapat berasal dari berbagai sumber. Banyak problem yang dapat dikembangkan dari buku-buku teks yang sedang dipelajari. Yang lain dapat dikembangkan dari model-model situasi hidup di luar kelas. Yang lain lagi, dapat dikembangkan melalui penelitian berbagai keingintahuan akan matematika atau teka-teki matematika yang bersifat reaksional. Pengembangan problem matematika ini dapat dilakukan dengan cara: (1) mengembangkan problem dari materi dasar, (2) mengembangkan problem dengan teknik variasi, (3) pengembangan problem dari situasi hidup, dan (4) mengembangkan problem dari keingintahuan dan teka-teki matematika.

3. Simpulan
Dari kajian di atas disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menerapkan pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pematematisasian pengalaman hidup sehari-hari dan mengaplikasikannya dalam dua real yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
(2) PMR berdasarkan pada ide teori Real Mathematics Educatiom (RME) yang menerapkan konteks dunia real, dan menggunakan model matematika, memproduksi hasil dan mengembangkan kemampuan siswa melalui interaksi guru dengan cara yang ramah, dan bersifat komunikatif.
(3) Model PMR akan membantu siswa membentuk sendiri pemahaman matematikanya dengan bantuan guru.
(4) Untuk melakukan perubahan pada diri siswa guru harus ikut melakukan perubahan dalam kepribadiannya, serta pengetahuan guru tentang alur belajar siswa juga harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
(5) Kita harus mampu menyiapkan materi kurikulum PMR yang memenuhi standar kualitas sebagaimana yang tercermin dalam ajaran-ajaran PMR, dan tidak sepadat materi yang terdapat dalam kurikulum sekarang ini.
(6) PMR akan lebih efektif diterapkan pada kelas yang tidak terlalu besar, berkisar 25-30 siswa yang ada di dalamnya.
(7) Pendekatan realistik yang menuntut kontribusi siswa, seyogianya memberi kesempatan bagi siswa untuk melakukan refleksi, sementara guru harus berperan sebagai model dalam merefleksi yang dilakukan secara efektif dan konsisten.

Pustaka Acuan
De Bono, Edward. 1987. Berpikir Lateral. Buku Teks Kreativitas. Jakarta: Erlangga
De Lange, J. 1996. “Using Applying Mathematics in Education: Dalam International Handbook of Mathematics Education, Part One, Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
--------------. 1997. Mathematics, insight and meaning. Utrecht: OW & OC.
Freudenthal, H. 1991. Revisiting mathematics education. China Lectures. Dordrecht: Kluwer
Academic Publisher.
Gravemeijer. 1994. Developing Realictics Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press/Freudenthal Institute.
Hadi, Sutarto. 2001. PMRI: beberapa catatan sebelum melangkah lebih jauh. Makalah Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Mastiqomah, Siti., Rumgayatri., dan Ratini. 2001. Pengalaman Dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika Secara realistik di MIN Yogyakarta II. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Murtadho, Sutrisman & Tambunan, G. (1987) Pengajaran Matematika. Jakarta: Karunika.
Putman, Ralp T. 1987. Mathematics Knowledge For Under Standing And Problem Solving. International Journal Of Educational Research. 11. (16). P. 67-70
Sembiring, R. K. 2001. Mengapa Memilih RME/PMRI. Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Slettenhaar. 2000. “Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context.” Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000).
Soedjadi. 1994 Orientasi Kurikulum Matematika Serkolah di Indonesia Abad 21. pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. Jakarta: Grasindo.
----------. 2001. Pembelajaran Matematika Berjiwa RME (suatu pemikiran rintisan ke arah upaya baru). Makalah dalam Seminar Nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Suyatno, M. 1988. “Minat siswa terhadap matematika perlu ditumbuhkan”. Jakarta: Kompas. Tanggal 1 Februari
Syarien, Syafrinal. 1991. “Ada Gejala ‘matematika phobia”. Hasil Konferensi Nasional Matematika IV di Universitas Indonesia..” Bandung: Pikiran Rakyat tanggal 15 Juli
Undng-Undang Sistem Pedidikan Nasional (UU RI Nomor 2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika,
Zulkardi. 2001. Efektiviitas Ligkungan Belajar Berbasis Kuliah Singkat dan Situs Web sebagai suatu Inovasi Dalam Menghasilkan Guru RME di Indonesia. Makalah disajikan pada seminar nasional “Pendidikan matematika realistik Indonesia” tanggal 14-15 November 2001 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
TIMSS. 1999. International Students Achievement in Mathematics. http://timss:bc.edu/timss1999i/pdf/T99i math 01.pdf
*) Asmin, adalah dosen FMIPA Universitas Negeri Medan, kandidat Doktor di Uiversitas Negeri Jakarta
Sumber: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.044 - September 2003, Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas


























Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan Dan Implikasinya Pada Pembelajaran Matematika

Oleh: Rusdy A. Siroj
Abstrak: Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar murid-murid belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi behavior memandang bahwa proses belajar terjadi melalui ikatan stimulus-respon, sedangkan psikologi gestalt berpendapat proses pemerolehan pengetahuan didapat dengan memandang sensasi secara keseluruhan sebagai suatu objek yang memiliki struktur atau pola-pola tertentu, dan ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.

Kata-kata kunci: Pengetahuan, Matematika, Behavior, Gestalt, Konstruktivis
1. Pendahuluan
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku. Kedua,
perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar. Dengan demikian, seseorang dikatakan belajar apabila setelah melakukan kegiatan belajar ia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu perubahan. Misalnya, ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, keterampilannya meningkat, sikapnya semakin positif, dan sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan tingkah laku tanpa usaha dan tanpa disadari bukanlah belajar.
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Hal ini berarti bahwa belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar —dalam makalah ini yang dimaksud adalah pengetahuan (Hudojo, 1990:2). Perolehan hasil belajar dapat dilihat, diukur, atau dirasakan oleh seseorang yang belajar atau orang lain, tetapi tidak demikian halnya dengan proses belajar bagi seseorang yang sedang belajar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah terjadinya proses belajar sehingga seseorang memperoleh pengetahuan?
Terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya sulit untuk diamati karena ia berlangsung di dalam mental. Namun demikian, kita dapat mengidentifikasi dari kegiatan yang dilakukannya selama belajar. Sehubungan dengan hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk mengguna-kan pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Misalnya Piaget (sebagai “bapak” psikologi kognitif), memandang bahwa pengetahuan terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi. Maksudnya, apabila pada seseorang diberikan suatu informasi (persepsi, konsep, dsb), dan informasi itu sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka informasi itu langsung berintegrasi (berasimilasi) dengan struktur kognitif yang sudah ada dan diperoleh pengetahuan baru. Sebaliknya, apabila informasi itu belum cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka struktur kognitif yang sudah ada direstrukturisasi sehingga terjadi penyesuaian (akomodasi) dan baru kemudian diperoleh pengetahuan baru. Sebagai contoh, pada anak yang telah memiliki pengetahuan tentang konsep segitiga, kemudian diberikan oleh guru persegi panjang. Karena konsep persegi panjang ini belum cocok dengan konsep segitiga yang telah dimiliki anak, maka konsep segitiga itu direstrukturisasi sehingga dapat bersesuaian dengan konsep persegi panjang. Setelah itu, pengetahuan tentang konsep persegi panjang tersebut dapat berintegrasi dengan pengetahuan yang telah ada dan diperoleh pengetahuan baru berupa konsep persegi panjang.
Untuk memahami lebih jauh bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya khususnya pengetahuan matematika, maka tulisan ini akan membahas beberapa pandangan psikologis yang berkaitan dengan hal itu. Ada tiga pandangan psikologi utama yang akan diuraikan dalam tulisan ini yaitu pandangan psikologi Behavioristik, Gestaltik, dan Konstruktivistik. Uraian dalam makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bekal untuk memahami, mendorong, dan memberikan arah terhadap kegiatan belajar-mengajar matematika di sekolah.
2. Kajian Literatur dan Pembahasan
2.1 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Psikologi Behavioristik
Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam Orton, 1991:39; Resnick, 1981:12), menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thorndike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) menge-mukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan --yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada dengan hukum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus—respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
Gagne—yang disebut Orton (1991:39) sebagai modern neobehaviourists— membagi belajar dalam delapan jenis, yaitu dimulai dari belajar yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah). Namun di dalam praktiknya, kedelapan tipe/jenis belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respon (Bell, 1981:108-123; Hudojo, 1990:25--30).
Hal tersebut dapat dijelaskan dari pendapat Gagne (dalam Hudojo, 1990:32), bahwa setiap jenis belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan. Tahap pertama pemahaman, setelah seseorang yang belajar diberi stimulus, maka ia berusaha untuk memahami karakteristiknya (merespon) kemudian diberi kode (secara mental). Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menguasai stimulus yang diberikan yaitu pada tahap kedua (tahap penguasaan). Pengetahuan yang diperoleh dari tahap dua selanjutnya disimpan atau diingat, yaitu pada tahap ketiga (tahap pengingatan). Terakhir adalah tahap keempat, yaitu pengungkapan kembali pengetahuan yang telah disimpan pada tahap ketiga.
Berdasarkan pandangan psikologi behavior di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal antara stimulus dan respon. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1998:4) bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh dari sekumpulan ikatan stimulus-respon, semakin sering asosiasi ini digunakan apalagi diberi penguatan, maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi. Jika dihubungkan dengan pengetahuan matematika, hal ini berarti semakin sering suatu konsep matematika (pengetahuan) diulangi maka konsep matematika itu akan semakin dikuasai. Sebagai contoh, apabila seorang anak telah mengetahui bahwa 3 x 4 sama dengan 12, kemudian anak tersebut sering ditanya tentang hal itu, maka ia akan semakin paham dan bahkan secara otomatis dapat menjawab dengan benar apabila ditanya, karena ikatan stimulus yaitu ”3 x 4 “ dengan responnya yaitu “12” akan semakin kuat.

2.2 Pemerolehan Pengetahuan Menurut Pandangan Psikologi Gestaltik
Psikologi gestalt dikembangkan di Eropa pada sekitar tahun 1920-an. Psikologi gestalt memperkenalkan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi (behaviorism). Teori gestalt dibangun dari data hasil eksperimen yang sebelumnya belum dapat dijelaskan oleh ahli-ahli teori asosiasi. Meskipun pada awalnya psikologi gestalt hanya dipusatkan pada fenomena yang dapat dirasa, tetapi pada akhirnya difokuskan pada fenomena yang lebih umum, yaitu hakikat belajar dan pemecahan masalah (Resnick & Ford, 1981:129-130).
Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi gestalt sebagai sesuatu yang penting. Menurut Kohler (dalam Orton, 1991:89) berpikir bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut prinsip tertentu. Katona, seorang ahli psikologi gestalt yang lain, juga tidak sependapat dengan belajar dengan pengkaitan stimulus dan respon. Berdasarkan hasil penelitiannya ia membuktikan bahwa belajar bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur, melainkan juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih sederhana (Resnick & Ford, 1981:143-144).
Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah (Orton, 1990:89). Para pengikut gestalt berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian maka strukturnya tidak jelas. Menurut Katona (dalam Resnick& Ford, 1981: 139) penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk dapat memahaminya dengan tepat. Untuk lebih memahami uraian di atas, perhatikan ilustrasi pada Gambar 1.
Gambar 1 Konfigurasi TitikDiadopsi dari Resnick & Ford (1981:130)
Pada setiap gambar di atas terdapat bundaran kosong menunjukkan posisi yang berbeda sesuai dengan konteks (organisasi perseptual). Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan gestaltist seseorang yang memperhatikan konfigurasi titik (bulatan) yang terdapat pada setiap gambar (a) sampai (d) tidak hanya sebagai kumpulan titik yang terpisah-pisah, tetapi titik itu teorganisir berdasarkan prinsip tertentu. Dengan demikian, orang akan memahami setiap gambar itu sebagai kumpulan titik yang secara keseluruhan membentuk; (a) layang-layang (diamond), (b) segiempat, (c) segitiga, dan (d) segidelapan.
Jadi, menurut pandangan psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami.

2.3 Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Konstruktivistik
Matthews (dalam Suparno, 1997) secara garis besar membagi aliran konstruktivisme menjadi dua, yaitu konstruktivisme psikologi dan sosiologi. Kemudian konstruktivisme psikologi juga dibagi menjadi dua yaitu: (1) konstruktivisme radikal, yang lebih bersifat personal, individual, dan subyektif, dan aliran ini dianut oleh Piaget dan pengikut-pengikutnya; dan (2) konstruktivisme sosial, yang lebih bersifat sosial, dan aliran ini dipelopori oleh Vigotsky. Ernest (1996) secara tegas membagi tiga aliran konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, konstruktivisme sosial, dan konstruktivisme lemah (weak constructivism). Selanjutnya, yang akan dibahas dalam makalah ini hanyalah konstruktivisme psikologi/radikal yang dipelopori oleh Piaget dan konstruktivisme sosial yang dipelopori oleh Vygotsky.
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme psikologi/radikal dalam belajar dipelopori oleh Piaget (Suparno, 1997). Piaget mempunyai perbedaan pandangan yang sangat mendasar dengan pandangan kaum behavior dalam pemerolehan pengetahuan. Bagi kaum behavior pengetahuan itu dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan stimulus-respon. Piaget berpandangan bahwa pemerolehan pengetahuan seperti itu ibarat menuangkan air dalam bejana. Artinya, pebelajar dalam keadaan pasif menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Bagi Piaget pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang/pebelajar terhadap lingkungan (Orton, 1991).
Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, Piaget (dalam Bell, 1981: Stiff dkk., 1993) berpendapat bahwa skemata yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb) atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki seseorang. Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung diasimilasikan pada skemata tersebut. Hal itu, dikarenakan informasi baru tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skemata yang telah ada. Jika informasi baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata yang lama, maka akan dibentuk skemata baru yang cocok dengan informasi itu. Sebaliknya, apabila informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skemta yang telah ada, maka skemata yang lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan informasi baru itu.
Dengan kalimat lain, pandangan Piaget di atas dapat dijelaskan bahwa apabila suatu informasi (pengetahuan) baru dikenalkan kepada seseorang dan pengetahuan itu cocok dengan skema/skemata (sruktur kognitif) yang telah dimilikinya maka pengetahuan itu akan diadaptasi melalui proses asimilasi dan terbentuklah pengetahuan baru. Sedangkan apabila pengetahuan baru yang dikenalkan itu tidak cocok dengan struktur kognitif yang sudah ada maka akan terjadi disequilibrium, kemudian struktur kognitif tersebut direstrukturisasi kembali agar dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru atau terjadi equilibrium, sehingga pengetahuan baru itu dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasikan menjadi pengetahuan skemata baru. Untuk memperjelas uraian di atas perhatikan ilustrasi berikut.
Misalkan, pada seorang anak bernama Muhsin telah terbentuk skemata tentang persamaan linear yaitu pengertian persamaan linear, bentuk umum persamaan linear (ax + b = c), dan teknik penyelesaiannya. Suatu ketika kepadanya diperkenalkan persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0. Karena pengetahuan yang terbentuk dalam skemata Muhsin adalah tentang persamaan linear dan tidak cocok dengan persamaan kuadrat, maka Muhsin akan mengalami disequilibrium. Agar skemata tentang persamaan kuadrat itu dapat dibentuk, maka skemata tentang persamaan linear yang telah ada direstrukturisasi sehingga persamaan kuadrat dapat diakomodasi dan selanjutnya diasimilasi dan diadaptasi, sehingga terjadilah keadaan equilibrium. Akhirnya, terbentuklah skemata baru atau pengetahuan baru yaitu persamaan kuadrat.
Dengan demikian, asimilasi dan akomodasi merupakan dua aspek penting dari proses yang sama yaitu pembentukan pengetahuan. Kedua proses itu merupakan aktivitas secara mental yang hakikatnya adalah proses interaksi antara pikiran dan realita. Seseorang menstruktur hal-hal yang ada dalam pikirannya, namun bergantung pada realita yang dihadapinya. Jadi adanya informasi dan pengalaman baru sebagai realita mengakibatkan terjadinya rekonstruksi pengetahuan yang lama yang disebut proses asimilasi-akomodasi sehingga terbentuk pengetahuan baru sebagai skemata dalam pikiran sesorang.
Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner. Meskipun Bruner mengklaim bahwa ia bukan pengikut Piaget tetapi teori-teori belajarnya sangat relevan dengan tahap-tahap perkembangan berpikir seperti yang dikemukakan Piaget. Salah satu teori belajar Bruner yang mendukung paham konstruktivisme adalah teori konstruksi. Teori ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari itu. Hal ini perlu dibiasakan sejak anak-anak masih kecil (Bell, 1981:143).
Sebelumnya telah disinggung bahwa konstruktivisme sosial dipelopori oleh Vygotsky. Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial memandang bahwa pengetahuan matematika merupakan konstruksi sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan matematika adalah pengetahuan bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk membentuk pengetahuan subyektif matematika yang selanjutnya melalui publikasi akan terbentuk pengetahuan matematika; obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri merupakan masalah sosial (Ernest, 1991:42). Lebih lanjut, Ernest (1991: 43) menyatakan bahwa konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi. Pengetahuan obyektif matematika diinternalisasi dan dikonstruksi oleh siswa selama proses belajar matematika. Hudojo (2003: 1) menjelaskan proses rekonstruksi metematika yang dilakukan oleh siswa itu (menggabungkan pendapat Ernest, 1991dan Leiken & Zaslavsky, 1997) sebagai berikut. Pertama, pengetahuan obyektif matematika direpresentasikan siswa dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji/menyelidiki, menjelaskan, memperluas, mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi metematika konsepsi awal. Kedua, konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif matematika. Ketiga, pengetahuan subyektif matematika tersebut di”kolaborasi”kan dengan siswa lain, guru dan perangkat belajar (siswa-guru-perangkat belajar) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Keempat, matematika yang direkonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding dan direpresentasikan oleh kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi siswa setelah belajar sehingga menjadi pengetahuan obyektif matematika.
Untuk lebih memahami uraian di atas (siklus melingkar proses rekonstruksi matematika) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Proses Rekonstruksi Matematika oleh Siswa(Adopsi dari Hudojo 2003)
Dari uraian dan contoh serta dalam gambar di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan konstruktivisme radikal/personal maupun konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial.

2.3 Implementasi Pandangan Behavioristik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Para penganut aliran behaviorisme memandang terbentuknya pengetahuan karena terjadinya ikatan antara peristiwa-peristiwa (stimulus) yang dirangsangkan kepada seorang pebelajar dengan tanggapannya (respon) terhadap rangsangan itu. Semakin sering ikatan stimulus (S) dan respon ( R) dipergunakan maka akan semakin kuatlah ikatan itu. Jadi, kegiatan belajar sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan, dipandang sebagai sistem respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Semakin sering sistem respon ini dilakukan, maka akan semakin dikuasai pengetahuan yang diperoleh. Oleh karena itu, guru-guru yang mengikuti faham behavioristik ini lebih banyak menggunakan pendekatan pembelajaran latihan dan drill. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
Sebagai konsekuensi faham ini, guru-guru matematika yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Kemudian tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Sebagai contoh, misalkan bahan yang akan diajarkan adalah definisi relasi ekivalen. Pertama, diajarkan definisi refleksi, kemudian definisi simetri. Selanjutnya, dijelaskan kaitan antara definsi refleksi dan definsi simetri dan didapat definisi transitif. Akhirnya, diajarkan kaitan ketiga definisi, refleksi, simetri, dan transitif untuk mendefinisikan relasi ekivalen.
Dalam proses pembelajaran, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah dan ekspositori. Dalam proses pembelajaran seperti itu guru merupakan sentral, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid yang mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

2.5 Implementasi Pandangan Gestaltik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika
Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran manusia menginterpretasikan semua sensasi/informasi. Sensasi/informasi yang masuk dalam pikiran seseorang selalu dipandang memiliki prinsip pengorganisasian/struktur tertentu. Artinya, pengenalan terhadap suatu sensasi tidak secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks yang baru dan lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian, akan terbentuk suatu pengetahuan baru.
Dalam kaitan dengan pembelajaran matematika, uraian di atas dapat diperjelas dengan ilustrasi berikut. Andaikan seorang guru meminta siswanya untuk menentukan jumlah n suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + n.. Menurut pandangan gestalt, agar siswa dapat menjawab dengan benar ia harus memahami struktur masalah tersebut. Untuk mengarahkan siswa pada pengenalan struktur masalah yang akan diselesaikan, guru dapat membantunya dengan memberikan masalah yang lebih sederhana yaitu jumlah 10 suku bilangan asli yang pertama yaitu 1 + 2 + 3 + … + 10. Dengan demikian, diharapkan siswa dengan mudah dapat melihat strukturnya yaitu 10 + 1 = 9 + 2 = 8 + 3 = 7 +4 = 6 +5. Sehingga 1 + 2 + 3 + … + 10 = (10 + 1) + (9 + 2) + (8 + 3) + (7 + 4) + (6 +5) = 11 + 11 + 11 + 11 +11 = 5 x 11 = 10/2 x (10 +1). Akhirnya, siswa akan menemukan bahwa 1 + 2 + 3 + … + n = (n + 1) + (n-1 + 2) + (n-2 + 3) + … + ((n - n + 1) + n) =n (n +1).
Guru-guru matematika yang menganut pandangan gestal ini, akan mendesain proses pembelajaran matematika sedemikian rupa sehingga anak dapat belajar matematika dengan pengertian yaitu didasarkan pada pengorganisasian komponen-komponen materi yang akan dipelajari dan berhubungan secara terstruktur. Berarti kegiatan pembelajaran lebih berpusat pada murid. Tujuan pembelajaran lebih beorientasi pada proses dibandingkan dengan hasil akhir. Pendekatan pembelajaran matematika yang dapat memenuhi pandangan gestaltist ini adalah penemuan (reinvent/discovery) atau dengan pemecahan masalah.

2.6 Implementasi Pandangan Konstruktivistik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam Pendekatan Matematika
Berdasarkan pandangan konsruktivistik tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pebelajar untuk membangun pengetahuannya. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan (skemata) yang telah dimiliki pebelajar dan ini berlangsung secara mental. Dengan demikian, hakikat dari pembelajaran matematika adalah membangun pengetahuan matematika.
Sebagai implikasi dari hakikat belajar matematika itu maka proses pembelajaran matematika merupakan pembentukan lingkungan belajar yang dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi (Nickson dalam Grows, 1992:106). Menurut Hudojo (1998:7-8) ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstrukstivisme adalah sebagai berikut.
(1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
(2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
(3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep matematika melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
(4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
(5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
(6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik dan siswa mau belajar.
3 Simpulan dan Saran
Dalam era globalisasi saat ini, dunia terasa semakin sempit. Jarak dan ruang yang membatasi antarnegara terasa hilang. Arus informasi mengalir cepat seolah tanpa hambatan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di belahan bumi barat akan segera diketahui dan ditransformasi di belahan bumi bagian timur dan seterusnya.
Selain itu, globalisasi juga telah menghantarkan suasana kehidupan semakin rumit (complicated), cepat berubah dan sulit diprediksi (unpredictable). Kondisi ini membawa dampak persaingan yang sangat ketat untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Siapa yang memiliki keunggulan kompetitif, dialah yang akan mendapatkan kemudahan hidup.
Agar dapat menghadapi dan mengikuti kondisi seperti di atas, pendidikan (khususnya pembelajaran matematika) harus memberi bekal yang cukup pada generasi baru anak Indonesia saat ini maupun di masa datang. Mereka harus dibekali dengan berbagai kemampuan yang handal, yaitu antara lain kemampuan memperoleh, menganalisis, dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, pengajaran matematika di sekolah harus didesain sedemikian rupa sehingga memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka secara maksimum. Dengan memahami bagaimana proses pemerolehan pengetahuan bagi setiap orang yang belajar seperti telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran matematika yang proses pembelajarannya berpusat pada guru, bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur (pandangan behaviorist) tidaklagi dapat dipertahankan. Karena seperti apa yang kita ketahui dan kita rasakan saat ini ternyata hasilnya tidak dapat memenuhi tuntutan keadaan sekarang maupun masa akan datang; dan (2) paradigma pembelajaran matematika kini dan yang akan datang harus lebih ditumpukan pada pandangan gestaltist dan constructivist. Dengan mendasarkan pada pandangan ini maka pembelajaran lebih berpusat pada peserta didik, bersifat analitik, dan lebih berorientasi pada proses pembentukan pengetahuan dan penalaran.


Pustaka Acuan
Bell, H. F. 1981. Teaching and Learning Matehmatics (In Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown Company.
Ernest, Paul. 1996. “Varieties of Constructivism: A Framework For Comparison”.
In Seteffe, L.P. & Nesher, Pearla (Ed). Theories of Matehmatical Learning.
New Jersey: Lawrence Elrbaum Associates, Publisher.
----------------1991. The Philosophy of Mathematics Education. Hamisphere:
The Parmer Press
Grows, D.A. 1992. Handbook af Research on Mathematics Teaching and Learning.
New York: Macmillan Publishing Co.
Hudojo, Herman. 1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP
Malang
--------------------- 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
Konstruktivistik (Makalah disjikan dalam Seminar Nasional Pendidikan
Matematika PPS IKIP Malang). Malang.
--------------------- 2003. Guru Matematika Konstruktivis (Constructivist Mathematics
Teacher). (Makalah disajikan dalam seminar Nasional Pendidikan
Matematika tanggal 27-28 Maret 2003 di Universitas Sanata Darma):
Yogyakarta.
Orton, Anthony. 1991. Learning Mathematics: Issue, Theory and Classroom
Practice. Iowa: Cassel
Resnick, B.L. & Ford, W.W. 1981. The Psycology of Matehamtics for Instruction.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta
Stiff, V.L, Johnson, L.J, and Johnson, R.M. 1993. “Cognitive Issue in Mathematics
Education”. In Wilson. I & Patricia. S (Ed). Reseach Ideas for The Classroom: High School Mathematics. New York: Macmillan Publishing Company.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
*) Tenaga pengajar pada program studi pendidikan matematika Universias Muhammadiyah Palembang dan Mahasiswa S-3 Pendidikan Matematika pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
Penilaian Kelas (Classroom Assessment) dalam Penerapan Standard Kompetensi
Oleh: Bahrul Hayat, Ph.D
Pendahuluan
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia telah banyak disadari oleh berbagai pihak, terutama oleh para pemerhati pendidikan di Indonesia. Rendahnya mutu pendidikan ini dapat dilihat, antara lain, dari rendahnya rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk semua bidang studi yang di-UAN-kan, baik di tingkat nasional mapun daerah. Dalam perbandingan internasional, sebagaimana dilaporkan dalam The Third Inter-national Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999, Indonesia berada pada urutan 32 untuk IPA dan 34 untuk matematika dari 38 negara peserta. Di Asia Tenggara, untuk kedua bidang studi tersebut Indonesia berada di bawah Malaysia dan Thailand, dan sedikit di atas Filipina. Bahkan hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada pada peringkat terakhir dari 12 negara, dan berada di bawah Vietnam yang menempati peringkat 11. Sehubungan dengan kondisi tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah kecuali melakukan berbagai pembaharuan dan penyempurnaan sistem pendidikan secara menyeluruh agar bangsa ini dapat bersaing di era global yang semakin kompetitif. Dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sedang melakukan penyempurnaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang akan diberlakukan pada tahun-tahun mendatang. Upaya penyempurnaan kurikulum ini merupakan respon atas berbagai kritik dan tanggapan terhadap konsep dan implementasi kurikulum 1994 yang dianggap memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan, baik dari segi substansi maupun pendekatan dan organisasi kurikulum. Perubahan kurikulum ini juga paralel dengan diterapkannya otonomi pendidikan di tingkat kabupaten dan kota, serta pendekatan manajemen berbasis sekolah (school-based management) dan pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).
Perubahan kurikulum kali ini hendaknya dipahami tidak hanya sekedar penyesuaian substansi materi dan format kurikulum dengan tuntutan perkembangan, tetapi pergeseran paradigma (paradigm shift) dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan pendidikan berorientasi hasil atau standard (coutcome-based eduation). Secara lebih sederhana, apa yang harus ditetapkan sebagai kebijakan kurikuler secara nasional oleh Depdiknas bergeser dari pertanyaan tentang apa yang harus diajarkan (kurikulum) ke pertanyaan tentang apa yang harus dikuasai anak (standard kompetensi) pada tingkatan dan jenjang pendidikan tertentu.
Standard Kompetensi
Mengapa suatu sistem pendidikan memerlukan standard? Sebuah standard, serendah apapun ia, diperlukan karena ia berperan sebagai patokan dan sekaligus pemicu untuk memperbaiki aktivitas hidup. Dalam konteks pendidikan, standard diperlukan sebagai acuan minimal (dalam hal kompetensi) yang harus dipenuhi oleh seorang lulusan dari suatu lembaga pendidikan sehingga setiap calon lulusan dinilai apakah yang bersangkutan telah memenuhi standard mini-mal yang telah ditetapkan. Dengan diterapkannya standard kompetensi sebagai acuan dalam proses pendidikan diharapkan semua komponen yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan di semua tingkatan, termasuk anak didik itu sendiri akan mengarahkan upayanya pada pencapaian standard dimaksud. Diharapkan dengan pendekatan ini guru memiliki orientasi yang jelas tentang apa yang harus dikuasi anak di setiap tingkatan dan jenjang, serta pada saat yang sama memiliki kebebasan yang luas untuk mendesain dan melakukan proses pembelajaran yang ia pandang paling efektif dan efisien untuk mencapai standard tersebut. Dengan demikian, guru didorong untuk menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) serta tidak berorientasi pada pencapaian ‘target kurikulum’ semata.
Pendekatan standard kompetensi memiliki ciri, antara lain:
·
Adanya visi, misi dan tujuan pendidikan yang disepakati secara bersama di tingkat nasional
·
Adanya standard kompetensi lulusan (exit outcome) yang secara konsisten dan jelas dijabarkan dari tujuan pendidikan
·
Adanya kerangka kurikulum dan silabus yang merupakan artikulasi yang ketat dari kompetensi lulusan
·
Adanya sistem penilaian acuan kriteria (criterion-referenced assessment) dan standard pencapaian (performance standard) yang diterapkan secara konsisten.
Penilaian Otentik (Authentic Assessment)
Seperti dijelaskan di atas, implikasi dari diterapkannya standard kompetensi adalah proses penilaian yang dilakukan oleh guru baik yang bersifat formatif maupun sumatif harus menggunakan acuan kriteria. Untuk itu, dalam menerapkan standard kompetensi guru harus: · Mengembangkan matriks kompetensi belajar (learning competency ma-
trix) yang menjamin pengalaman belajar yang terarah, · Mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan (continuous authentic assessment) yang menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi. Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan
secara tepat bahwa tujuan pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Berikut adalah prinsip-prinsip penilaian otentik. · Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not apart from, instruction), · Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata (real world prob-lems), bukan masalah dunia sekolah (school work-kind of problems), · Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metoda dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar, · Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (kognitif, afektif, dan sensori-motorik). Tujuan penilaian di kelas oleh guru hendaknya diarahkan pada empat (4) hal berikut.
5. Keeping track, yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana,
6. Checking-up, yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak didik dalam proses pembelajaran,
7. Finding-out, yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran
8. Summing-up, yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum.
Agar tujuan penilaian tersebut tercapai, guru harus menggunakan berbagai metoda dan teknik penilaian yang beragam sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik pengalaman belajar yang dilaluinya. Tujuan dan pengalaman belajar tertentu mungkin cukup efektif dinilai melalui tes tertulis (paper-pencil test), sedangkan tujuan dan pengalaman belajar yang lain (seperti bercakap dan praktikum IPA) akan sangat efektif dinilai dengan tes praktek (perfor-mance assessment). Demikian juga, metoda observasi sangat efektif digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran siswa dalam kelompok, dan skala sikap (rating scale) sangat cocok untuk menilai aspek afektif, minat dan motivasi anak didik. Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang berbagai metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan melaksanakan dengan tepat metoda dan teknik yang dianggap paling sesuai dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta pengalaman belajar yang telah ditetapkan.
Di samping itu, karena tujuan utama dari penilaian berbasis kelas yang dilakukan oleh guru adalah untuk memantau kemajuan dan pencapaian belajar siswa sesuai dengan matriks kompetensi belajar yang telah ditetapkan, guru atau wali kelas diharapkan mengembangkan sistem portefolio individu siswa (student portfolio) yang berisi kumpulan yang sistematis tentang kemajuan dan hasil belajar siswa. Portefolio siswa memberikan gambaran secara menyeluruh tentang proses dan pencapaian belajar siswa pada kurun waktu tertentu. Portefolio siswa dapat berupa rekaman perkembangan belajar dan psikososial anak (developmental), catatan prestasi khusus yang dicapai siswa (showcase), catatan menyeluruh kegiatan belajar siswa dari awal sampai akhir (comprehensive), atau kumpulan tentang kompetensi yang telah dikuasai anak secara kumulatif (exit). Portefolio ini sangat berguna baik bagi sekolah maupun bagi orang tua serta pihak-pihak lain yang memerlukan informasi secara rinci tentang perkembangan belajar anak dan aspek psikososialnya sehingga mereka dapat memberikan bimbingan dan bantuan yang relevan bagi keberhasilan belajar anak.
Penutup
Penyempurnaan kurikulum 1994 hendaknya dipahami tidak sekedar proses penyesuaian kurikulum dengan tuntutan perkembangan, tetapi lebih pada pergeseran paradigma pendidikan yang berorientasi masukan (input) ke pendidikan berorientasi hasil (outcome). Standard kompetensi sebagai bentuk penyempurnaan kurikulum menuntut adanya perubahan orientasi dari semua pihak (stakeholder pendidikan) agar tujuan dan upaya peningkatan mutu pendidikan harus tercermin dari meningkatnya mutu kompetensi lulusan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Diterapkannya standard kompetensi membawa implikasi pada orientasi dan strategi penilaian di kelas oleh guru yang lebih menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran tuntas. Penilaian otentik merupakan pendekatan penilaian yang harus diterapkan oleh guru dengan menggunakan berbagai metoda dan teknik yang sesuai dengan tujuan dan proses serta pengalaman belajar siswa. Agar tujuan dan fungsi penilaian lebih berdayaguna bagi perbaikan belajar anak, portefolio siswa sangat berguna bagi guru, orang tua, dan pihak-pihak lain dalam upaya memberikan bantuan dan bimbingan yang relevan bagi keberhasilan belajar anak.
Daftar Pustaka
Angelo, T.A and Croos, KP. (1993). Classroom assessment technique. San Fransisco: Jossey Bass, Inc. Newmann, F.M. and Associates. (1996). Authentic assessment. San Fransisco: Jossey Bass, Inc. Perrone, V (Ed). (1991). Expanding student assessment. Alexandra: ASCO Popham, W.J. (1995). Classroom assessment. Massachussetts: Allyn and Bacon Walklin, L. (1991). The assessment of Performance and competence. Cheitenham UK : Stanley Thornes, Ltd. Wiggin, G.P. (1993). Assessing student performance. San Fransisco: Jossey Bass, Inc.
Sumber: Kompas Cyber Media - Selasa, 04 April 2006

Matematika Itu Asyik

Matematika sering kali dianggap pelajaran momok. Tak cuma si anak yang kebingungan, orang tua pun sering dibuat kalang kabut.
Segala daya dikerahkan para orang tua bagi anaknya. Mulai dari les sampai ikut bimbingan belajar. Tapi beberapa waktu terakhir ada lembaga yang khusus menyelenggarakan kursus matematika. Ada yang menggunakan Metode Kumon, sementara lainnya menggunakan alat bantu sempoa.
Kembangkan potensi individu
Sebenarnya nama Kumon adalah nama keluarga penemu metode belajar matematika, Toru Kumon. Guru matematika SMU di Jepang itu pada tahun 1954 pertama kali menyusun sendiri bahan pelajaran matematika untuk membimbing anaknya belajar matematika. Setelah terbukti memberi hasil memuaskan pada anaknya dan juga anak didik dan tetangga dekatnya, ia pun ingin menerapkan cara belajar dan bahan pelajaran ini kepada sebanyak mungkin anak. Tak heran dengan sifatnya yang universal, kini Metode Kumon telah dapat diterapkan di 40 negara, termasuk Indonesia.
Prinsip dasar metode yang disebarluaskan ke Indonesia pada Oktober 1993 ini adalah pengakuan tentang potensi dan kemampuan individual tiap siswa. "Maka, seseorang yang mendaftar kursus Kumon harus mengikuti tes penempatan," tutur Suita Sary Halim, pimpinan penyelenggara kursus Kumon. Tes penempatan itu untuk mengetahui titik pangkal siswa, supaya siswa dapat mengerjakan bahan pelajaran sesuai dengan kemampuannya. Tak heran bila soal itu biasanya bisa selesai dalam batas waktu tertentu, biasanya hanya dalam hitungan menit.
Setelah itu, ia akan terus berlatih mengerjakan soal-soal latihan sesuai kemampuan, daya konsentrasi dan ketangkasan, bukan berdasar tingkat kelas formal atau usia siswa saja. Siswa SD kelas II bisa saja menghadapi soal latihan untuk SD kelas I, "Karena mungkin yang ia kuasai benar baru pelajaran di kelas I," ujar Suita.
Sebagai contoh, mungkin saja ada siswa SD kelas II yang harus belajar penambahan yang termudah. Misalnya, 1 + 1 = 2, 2 + 1 = 3, 3 + 1 = 4, 4 + 1 = 5, 5 + 1 = 6, dst. Namun begitu jangan dianggap enteng karena ia harus menyelesaikan sebanyak 50 soal hitungan serupa hanya dalam waktu 2 menit. Latihan itu dilakukan berulang kali, sampai ia menguasai dan mampu di luar kepala menjawab soal serupa. Selanjutnya, ia akan meningkat ke bagian berikut, namun dengan tingkat perbedaan kesulitan yang sangat kecil, misalnya 1 + 2 = 3, 2 + 2 = 4, dan seterusnya.
Maka jangan kaget bila dalam kelas bisa ditemukan siswa dalam berbagai tingkat usia. Begitu pun, beberapa siswa yang duduk di tingkat kelas yang sama tidak berarti akan memulai mengerjakan soal latihan yang sama pula. "Kembali lagi karena masalah potensi dan kemampuan yang berbeda dari tiap siswa. Maka yang diterapkan adalah belajar perseorangan," tutur Suita sambil menambahkan tiap siswa Kumon mendapat bahan pelajaran yang berbeda dengan siswa lainnya, baik jumlah lembar kerja maupun tingkat bahan pelajarannya.
Karena mulai belajar dari bagian yang tepat, dalam arti sesuai dengan kemampuannya, dan program dibuat secara perseorangan, siswa tidak akan menemui kesulitan belajar. Yang muncul justru perasaan senang belajar matematika. Penyebab yang lain karena di lembaga ini tidak tertutup kemungkinan untuk merevisi dan mengembangkan bahan pelajaran agar anak-anak tidak mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak kehilangan semangat belajarnya. Selain itu prestasi antara satu siswa dengan yang lain tidak dibanding-bandingkan, sehingga kalaupun ada yang agak lambat mencapai kemajuan tidak akan merasa kecil hati dan putus asa.
Uniknya, berkat metode yang mengunggulkan kemampuan dan semangat belajar perseorangan itu, biasanya setelah 6 bulan - 1 tahun, siswa sudah bisa mencapai tingkat pelajaran di sekolahnya, setelah itu melampauinya. Kemajuan dari hasil belajar siswa Kumon memang sangat bervariasi. Ada siswa yang menyelesaikan seluruh bahan pelajaran Metode Kumon, hingga level Q mengenai probabilitas dan statistika, dalam waktu 2 tahun 10 bulan. "Namun, sekecil apa pun kemajuannya, kami akan selalu mengakui setiap hasil yang telah mereka capai dan menunjukkan jalan agar pada diri setiap anak timbul rasa percaya diri dan keberanian," ujar Suita sambil menambahkan pada umumnya prestasi siswa sesudah mengikuti kursus metode ini meningkat, terutama dari segi akademis.
Disiplin berlatih
Kumon menilai kunci keberhasilan belajar matematika adalah dengan banyak berlatih. Tak heran bila selama belajar dengan Metode Kumon siswa akan mendapat banyak porsi latihan. Dalam tiap satuan lembar kerja terdapat puluhan soal, sehingga untuk satu materi bahasan ia akan mengerjakan hingga ratusan soal latihan. Maka, untuk menyelesaikan seluruh topik bahasan, bila ia jadi siswa sejak tingkat pertama, jumlah soal latihan yang dikerjakannya tentu mencapai puluhan ribu!
Di Kumon, menurut Suita, siswa yang sudah punya kemampuan cukup yang bisa maju ke tingkat lebih tinggi. Bagi yang belum cukup akan terus mendapat pengulangan, sehingga nantinya ia tidak mendapat kesulitan saat mengerjakan bahan pelajaran yang lebih tinggi.
Selain itu Kumon memberlakukan sistem nilai 100, artinya tiap latihan harus benar dikerjakan semua sebelum bisa berganti lembar pelajaran. Siswa yang melakukan kesalahan harus memperbaiki sendiri sampai mendapat nilai 100. Cara ini dinilai efektif agar siswa tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Namun, kenaikan tingkat sering kali tidak terasa. Ini karena perubahan bahan pelajaran dibuat sedemikian kecil, bahkan halus dan sistematis. Bahan pelajaran meningkat seiring dengan kemampuan penalaran sendiri, jarang sekali ia harus minta bantuan pembimbing. Cara ini akan membentuk kebiasaan belajar mandiri yang berguna untuk menggali potensi diri-sendiri.
Selain materi pelajaran, waktu belajar siswa pun digodok matang. Siswa umumnya datang ke kelas 2 kali seminggu dengan waktu belajar rata-rata 30 menit, tergantung tingkat bahan pelajarannya. "Namun, di luar hari kelas, mereka mendapat PR dengan jumlah yang tepat sesuai kemampuannya setiap hari," ujar Dani Wulansari, staf lembaga Metode Kumon.
Semua cara belajar itu diterapkan pada seluruh peserta kursus tanpa memandang usia, karena Kumon memang bisa diikuti oleh siswa pada usia berapa pun. "Pendaftarannya pun terbuka setiap saat," ujar Dani sambil menambahkan sebaiknya siswa mempelajari metode ini sejak usia dini, karena hasilnya tentu akan lebih memuaskan. Yang terutama dirasakan adalah kemampuan berpikir matematis akibat latihan mengkoordinasikan angka-angka menggunakan otak dan tangan. Khususnya latihan hitungan dengan Metode Kumon akan terasa sangat membantu untuk mengenal matematika tingkat SMP dan SMA, sehingga ia akan dengan mudah mengerjakan soal-soal persamaan, pemfaktoran, juga diferensial dan integral.
Dengan demikian, Metode Kumon bukan hanya meningkatkan penguasaan matematika, tapi juga berbagai kemampuan belajar pada anak, mulai dari konsentrasi dan ketangkasan kerja, semangat kebiasaan belajar mandiri, kebiasaan belajar setiap hari. Bila ia bisa menyelesaikan soal latihan matematika dari sekolah dengan cepat, maka ia bisa menggunakan sisa waktu untuk mempelajari ilmu lain. Alhasil, pelajaran lain pun pasti akan meningkat.
Dari pasir sampai manik-manik
Konon dengan sempoa seorang anak dapat menjawab sederetan soal hitungan penjumlahan dan pengurangan hanya dalam beberapa menit. Yang dilakukannya cuma menjentak-jentikkan biji manik-manik sempoanya dengan cekatan.
Sempoa memang bukan barang baru. Diduga alat hitung ala abakus pertama dimiliki suku Babilonia dalam bentuk sebilah papan yang ditaburi pasir. Di atasnya orang bisa menorehkan berbagai bentuk huruf atau simbol. Tak heran bila ia disebut abakus yang dalam bahasa Yunaninya abakos, artinya 'menghapus debu'. Ketika berubah fungsi menjadi alat hitung, bentuknya pun diubah. Permukaan pasir itu menjadi papan yang ditandai garis-garis lengkap dengan sejumlah manik-manik satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya.
Alat itu makin disempurnakan di zaman Romawi. Papannya dibuat berlekak-lekuk cekung agar saat menghitung manik-manik mudah digerakkan dari atas ke bawah.
Orang Cina mengembangkan "hsuan-pan" (nampan penghitung) alias abakus itu menjadi dua bagian. Pada jeruji atas dimasukkan dua manik-manik dan jeruji bawah lima manik-manik. Di abad pertengahan abakus makin tersebar luas, di antaranya sampai ke Eropa, Arab, dan seluruh Asia.
Abakus sampai di Jepang pada abad ke-16. Namun Jepang mengubah susunan manik-manik menjadi satu pada jeruji atas dan empat di jeruji bawah. Satu manik-manik jeruji atas bernilai lima dan empat di jeruji bawah (dimulai dari tengah ke kiri) bernilai satuan, selanjutnya puluhan, ratusan, dan seterusnya. Sedangkan di bagian tengah ke kanan untuk menghitung bilangan desimal. Rupanya abakus ala Jepang ini yang belakangan populer kembali, termasuk di Indonesia.
Menanam sempoa di otak
Munculnya mesin hitung elektronika di AS tahun 1946, rupanya tidak menggoyahkan kepopuleran sempoa. Malah anak yang sudah sangat fasih menghitung dengan metode sempoa telah dibuktikan mampu mengalahkan cara hitung dengan komputer.
Belakangan berbagai kursus mental aritmatika sempoa memang menjamur di kota-kota besar. Menurut salah satu penyelenggara kursus, yaitu Yayasan Aritmatika Indonesia (YAI) yang mengambil lisensi dari Malaysia, berhitung metode sempoa hanya melibatkan hitungan tambah, kurang, kali, dan bagi.
Satu paket belajar terdiri atas 10 tingkat yang kenaikannya harus melalui ujian. Pada tingkat I - III anak belajar penjumlahan dan pengurangan. Pada tingkat IV diajarkan perkalian dan pembagian. Bila satu tingkat selesai dalam tiga bulan, berarti untuk menamatkan 10 tingkat perlu waktu 30 bulan atau 2,5 tahun. Umumnya bila sudah sampai tingkat terampil, mungkin setelah belajar 6 bulan - 1 tahun, sekitar tingkat II atau III, murid diharapkan mampu menghitung tanpa alat bantu apa pun. Sepuluh baris pertanyaan perkalian tiga digit angka dengan tiga digit angka bisa selesai kurang dari 30 detik!
Hal ini bisa terjadi karena anak sudah hapal lokasi satuan, puluhan, ratusan, dst. Cukup dengan membayangkan posisi manik-manik sempoa sambil memainkan jari-jari tangannya, ia bisa menemukan hasil hitungan. Pada tingkat ini ia sudah mampu menghitung cepat di luar kepala. Visualisasi penggunaan sempoa sudah tertanam dalam otaknya.
Namun, ada catatan penting lain, menurut sistem YAI, pelatihan aritmatika sempoa paling sesuai untuk anak usia 6 - 12 tahun karena mereka sedang dalam taraf mempelajari metode dasar eksakta.
"Pikiran mereka masih jernih, belum terlalu dipengaruhi metode aritmatika lain," tutur Ibu Tia, praktisi sistem YAI di Sanggar Kreativitas Bobo, Jakarta.
Akhirnya, selain bisa berhitung cepat, metode ini berguna untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi otak, khususnya otak kanan yang meliputi daya analisis, ingatan, logika, imajinasi, reaksi tinggi, dll. Menurut teori mental aritmatika, pemahaman atas disiplin dasar eksakta ini akan membuat anak mampu menguasai dan menggunakan secara optimal seluruh potensi dan kreativitas dirinya, termasuk menyerap ilmu-ilmu lanjutannya nanti. Untuk kehidupan sehari-hari latihan ini akan melatih mental anak agar menjadi lebih tekun serta disiplin.
Ilmu kemampuan dasar
Kemampuan menghitung dengan cepat, tentu akan menunjang anak dalam pelajaran matematika di sekolah. Atas pertimbangan itu Kepala Sekolah SD Dharma Karya Drs. H. Masduki memasukkan metode ini dalam mata pelajaran di sekolah yang dipimpinnya. "Karena saya pernah melihat ada anak SMP yang menghitung masih dengan alat bantu jari-jari tangan."
Selain itu, ia membaca di surat kabar rencana akan makin banyaknya diterapkan ilmu kemampuan dasar di tingkat pendidikan dasar. Menurut dia, "Salah satu ilmu kemampuan dasar adalah aritmatika yang meliputi penguasaan berhitung tambah, kurang, kali, bagi." Bila landasan berhitungnya cukup kuat, siswa tentu tak akan menghadapi masalah dalam memahami matematika yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan GBPP.
SD Dharma Karya mengajarkan metode sempoa aritmatika sejak tahun ajaran baru silam dengan mengambil dua jam dari 10 jam pelajaran matematika. Metode ini diperkenalkan pada siswa kelas I hingga VI. "Repotnya, kalau diajarkan pada siswa di kelas V atau VI, mental berhitung mereka sudah terbentuk yaitu menghitung dengan alat bantu jari tangan, sedangkan jumlah jari tangan sangat terbatas. Tak heran, kalau sering kali matematika sulit dikuasai karena tidak ada bekal ilmu berhitung," aku Wito, guru mata pelajaran metode sempoa.
Nantinya, murid kelas I sekarang saat duduk di kelas V akan mendapat pelajaran aritmatika sosial. "Siswa belajar menerapkannya dalam masalah sehari-hari, misalnya saat berbelanja," tutur Wito yang mengaku sempat bekerja keras merakit sempoa sederhana untuk dipakai berlatih murid-muridnya.
Ternyata Wito punya target yang sama dengan YAI, yaitu memasukkan sempoa bayangan ke otak anak. Tugas pertamanya adalah bagaimana agar muridnya lancar mengoperasikan sempoa. Di otak setiap gerakan bisa punya makna dalam hitungan. Sehingga kalau pun tanpa sempoa siswa tak akan kesulitan dalam berhitung.
Menurut Wito, murid-muridnya tak pernah bosan belajar dengan sempoa. Murid-muridnya tak merasa sedang belajar, malah lebih merasa sedang bermain manik-manik sempoa.
Masduki tak mengingkari masalah yang mungkin muncul. Berbeda dengan kursus, di mana satu anak punya sempoa sendiri yang bisa dipakai berlatih di rumah, sempoa di sekolahnya hanya dipinjamkan pada siswa saat pelajaran. Belum lagi jumlah siswa satu kelas yang mencapai 35 orang, sehingga mungkin saja ada anak yang agak lambat menguasainya. "Namun, selalu ada jalan keluar, misalnya memberi pengajaran remedial atau pengayaan," tutur Masduki yang, sama seperti guru dan orang tua mana pun, bertekad memberikan bekal terbaik untuk generasi penerusnya. (Shinta Teviningrum/Nanny Selamihardja)

Menjadi Guru Yang Profesional

Oleh: Sura J. Kitti *)
Kata "orang", guru adalah pencetak kader-kader bangsa, pencetak pemimpin bangsa, dst … dst. Pemerintah negeri ini pernah menyakan bahwa guru adalah PAHLAWAN TANPA TANDA JASA. Banyak sekali ungkapan-ungkapan yang meninggikan profesi guru. Tetapi … mengapa profesi guru kurang diminati/sangat tidak diminati oleh anak bangsa negeri ini. Dan … mengapa nasib guru banhkan di bawah garis kemiskinan. Guru yang menurut sebagian orang adalah kepanjangan dari "yang digugu dan yang ditiru" adalah suatu profesi yang mengutamakan intelektualitas yang tinggi, yang menuntut kepandaian, kecerdasan, keahlian berkomunikasi, kebijaksanaan dan kesabaran yang tinggi. Tidak semua orang dapat menekuni profesi guru dengan baik. Kepandaian dan kecerdasan bukan penentu keberhasilan seorang guru. Oleh karena orang yang pandai belum tentu dapat memindahkan ilmunya dengan baik kepada orang lain. Apalagi jika orang yang pandai itu menganggap orang lain sama seperti dirinya.
Bagaimana menjadi guru yang baik (profesional)?
Tidak mudah menjadi guru yang baik, dikagumi dan dihormati oleh anak didik, masyarakat sekitar dan rekan seprofesi. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang guru untuk mendapat pengakuan sebagai guru yang baik dan berhasil.
Pertama. Berusahalah tampil di muka kelas dengan prima. Kuasai betul materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa. Jika perlu, ketika berbicara di muka kelasa tidak membuka catatan atau buku pegangan sama sekali. Berbicaralah yang jelas dan lancar sehingga terkesan di hati siswa bahwa kita benar-benar tahu segala permasalahan dari materi yang disampaikan.
Kedua. Berlakulah bijaksana. Sadarilah bahwa siswa yang kita ajar, memiliki tingkat kepandaian yang berbeda-beda. Ada yang cepat mengerti, ada yang sedang, ada yang lambat dan ada yang sangat lambat bahkan ada yang sulit untuk bisa dimengerti. Jika kita memiliki kesadaran ini, maka sudah bisa dipastikan kita akan memiliki kesabaran yang tinggi untuk menampung pertanyaan-pertanyaan dari anak didik kita. Carilah cara sederhana untuk menjelaskan pada siswa yang memiliki tingkat kemampuan rendah dengan contoh-contoh sederhana yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari walaupun mungkin contoh-contoh itu agak konyol.
Ketiga. Berusahalah selalu ceria di muka kelas. Jangan membawa persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan dari rumah atau dari tempat lain ke dalam kelas sewaktu kita mulai dan sedang mengajar.
Keempat. Kendalikan emosi. Jangan mudah marah di kelas dan jangan mudah tersinggung karena perilaku siswa. Ingat siswa yang kita ajar adalah remaja yang masih sangat labil emasinya. Siswa yang kita ajar berasal dari daerah dan budaya yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya dan berbeda dengan kebiasaan kita, apalagi mungkin pendidikan di rumah dari orang tuanya memang kurang sesuai dengan tata cara dan kebiasaan kita. Marah di kelas akan membuat suasana menjadi tidak enak, siswa menjadi tegang. Hal ini akan berpengaruh pada daya nalar siswa untuk menerima materi pelajaran yang kita berikan.
Kelima. Berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan siswa. Jangan memarahi siswa yang yang terlalu sering bertanya. Berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan siswa dengan baik. Jika suatu saat ada pertanyaan dari siswa yang tidak siap dijawab, berlakulah jujur. Berjanjilah untuk dapat menjawabnya dengan benar pada kesempatan lain sementara kita berusaha mencari jawaban tersebut. Janganlah merasa malu karena hal ini. Ingat sebagai manusia kita mempunyai keterbatasan. Tapi usahakan hal seperti ini jangan terlalu sering terjadi. Untuk menghindari kejadian seperti ini, berusahalah untuk banyak membaca dan belajar lagi. Jangan bosan belajar. Janganlah menutupi kelemahan kita dengan cara marah-marah bila ada anak yang bertanya sehingga menjadikan anak tidak berani bertanya lagi. Jika siswa sudah tidak beranibertanya, jangan harap pendidikan/pengajaran kita akan berhasil.
Keenam. Memiliki rasa malu dan rasa takut. Untuk menjadi guru yang baik, maka seorang guru harus memiliki sifat ini. Dalam hal ini yang dimaksud rasa malu adalah malu untuk melakukan perbuatan salah, sementara rasa takut adalah takut dari akibat perbuatan salah yang kita lakukan. Dengan memiliki kedua sifat ini maka setiap perbuatan yang akan kita lakukan akan lebih mudah kita kendalikan dan dipertimbangkan kembali apakah akan terus dilakukan atau tidak.
Ketujuh. Harus dapat menerima hidup ini sebagai mana adanya. Di negeri ini banyak semboyan-semboyan mengagungkan profesi guru tapi kenyataannya negeri ini belum mampu/mau menyejahterakan kehidupan guru. Kita harus bisa menerima kenyataan ini, jangan membandingkan penghasilan dari jerih payah kita dengan penghasilan orang lain/pegawai dari instansi lain. Berusaha untuk hidup sederhana dan jika masih belum mencukupi berusaha mencari sambilan lain yang halal, yang tidak merigikan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri. Jangan pusingkan gunjingan orang lain, ingatlah pepatah "anjing menggonggong bajaj berlalu."
Kedelapan. Tidak sombong.Tidak menyombongkan diri di hadapan murid/jangan membanggakan diri sendiri, baik ketika sedang mengajar ataupun berada di lingkungan lain. Jangan mencemoohkan siswa yang tidak pandai di kelas dan jangan mempermalukan siswa (yang salah sekalipun) di muka orang banyak. Namun pangillah siswa yang bersalah dan bicaralah dengan baik-baik, tidak berbicara dan berlaku kasar pada siswa.
Kesembilan. Berlakulah adil. Berusahalah berlaku adil dalam memberi penilaian kepada siswa. Jangan membeda-bedakan siswa yang pandai/mampu dan siswa yang kurang pandai/kurang mampu Serta tidak memuji secara berlebihan terhadap siswa yang pandai di hadapan siswa yang kurang pandai.
HAMBATAN-HAMBATAN
Banyak hambatan yang dihadapi seorang guru untuk menjadi guru yang baik. Beberapa hambatan tersebut diantaranya adalah:
3. Gaji yang terlalu pas-pasan bahkan mungkin kurang. Gaji yang pas-pasan memaksa seorang guru untuk mencari nafkah tambahan seusai jam kerja. Hal ini mengakibatkan tidak memiliki kesempatan untuk membuat persiapan mengajar dengan membaca ulang materi pelajaran yang akan diajarkan besok hari. Hal ini dapat mengurangi kesiapan dan penampilan di muka kelas.
4. Tugas-tugas administrasi yang memberatkan. Sejak diberlakukannya kurikulum 1984, banyak tugas-tugas administrasi yang harus dikerjakan seorang guru yang tujuannya untuk meningkatkan profesionalitas seorang guru. Ternyata tugas-tugas ini menjadi beban yang cukup berat dan hampir tidak ada manfaatnya untuk menambah penampilan dan kesiapan seorang guru di muka kaelas. Sebagian besar tugas administrasi dibuat dengan setengah terpaksa hanya untuk menyenangkan hati atasan. Sebagai contoh, seorang guru diwajibkan membuat Program Satuan Pelajaran (PSP), Analisis Materi Pelajaran (AMP) dan Rencana Pengajaran (RP), yang memaksa guru menuliskan uraian yang sama pada tugas pertama dan ditulis ulang pada tugas kedua dan tugas ketiga. Semuanya ini tidak pernah dipakai untuk meringankan beban mengajar di kelas karena tugas-tugas tersebut tidak pernaha dibaca lagi pada waktu akan/dan sedang mengajar. Seorang guru lebih suka membuka dan membaca buku pegangan mengajar daripada membawa Program Satuan Mengajar, Analisis Materi Pelajaran ataupun Rencana Pengajaran. Tugas-tugas ini memang sangat berguna bagi seorang calon guru. Tapi bagi guru yang sudah mengajar lebih dari tiga tahun , tugas ini hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia (dikerjakan, lalu disimpan dalam lemari dan baru akan diperlihatkan jika "sedang sial" dapat kebagian pengawas), yang akhirnya masuk keranjang sampah dan ….Tahun berikutnya dia harus menulis ulang pekerjaan yang sia-sia itu.
Belakangan ini beberapa sekolah yang baik dan dapat dikatakan sudah sangat berhasil tampil sebagai sekolah yang baik, sedang berusaha meningkatkan profesionalitas guru-gurunya yakni dengan memberi tugas tambahan kepada guru-guru untuk menganalisa setiap soal yang diberikan pada setiap kali ulangan. Dari hal tersebut diharapkan guru-guru pada suatu saat menjadi analisator soal yang baik, yang dapat membuat soal super sempurna dan valid jika diberikan kepada setiaap obyek yang di tes. Mungkin perancang ide ini adalah orang yang tidak pernah menjadi guru atau memang bukan guru atau orang yang sengaja memberikan kesibukansedemikan berat bagi guru agar guru tidak memikirkan kenaikan gaji yang terasa sangat pas-pasan. Untuk menganalisa soal diperlukan waktu kira-kira dua puluh lima kali waktu yang diperlukan untuk mengoreksi soal tes. Jika seorang guru mengajar 15 (lima belas) kelas, setiap kelas berisi 40 siswa dan untuk mengoreksi tes setiap siswa diperlukan waktu 5 menit (untuk tes esey) maka setiap kali ulangan seoarang guru memerlukan waktu untuk mengoreksi selama 15 X 40 X 5 menit = 3000 menit atau 50 jam. Jika harus menganalisa soal tes yang diberikan, diperlukan waktu 25 X 50 jam = 1250 jam. Dengan banyaknya waktu yang harus dihabiskan untuk melakukan tugas-tugas ini, kapan seorang guru mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri agar dapat tampil prima di muka kelas? Kapan guru bisa mengajar dengan baik? Oleh karena itu jangan salahkan guru kalau prestasi siswa menurun. Pengalaman sia-sia ini pernah dialami penulis ketika Profesor Daud Yusuf menjadi menteri P & K yang pada masa jabatannya beliau menetapkan perpanjangan waktu belajar selama satu semester. Pada waktu itu beliau mengintruksikan agar guru-guru melakukan "DIAGNOSTIK TES". Pekerjaan ini betul-betul sangat mengasyikkan, sampai anak dan istri dilibatkan dalam pekerjaan besar ini. Lalu hasilnya … masuk keranjang sampah dan tidak ada kelanjutannya. Hasilnya NOL besar.
Lalu apakah ada manfaatnya soal tersebut dianalisa? Jawabnya T I D A K. Mengapa tidak. Soal yang sudah diberikan pada siswa dan sudah dianalisa dan valid, apakah mungkin dipakai lagi untuk tes yang akan datang, jawabnya juga T I D A K, mengapa? Soal yang sudah pernah dikeluarkan, jika dikeluarkan lagi untuk tes berikutnya pasti BOCOR, karena siswa berikutnya pasti sudah mempelajari soal tersebut. Tidak hanya itu. Pada analisa suatu soal untuk kelompok tes siswa A akan berbeda hasilnya dengan kelompok siswa B. Sekumpulan soal yang diberikan pada siswa sekolah A, valid, tetapi jika diberikan pada sekolah B tidak valid atau sebaliknya. Jika ditemukan hal seprti ini, apakah soal ini valid atau tidak? Contoh nyata soal EBTANAS misalnya, untuk sekolah tertentu nilainya sangat baik (katakanlah rata-rata 9), tapi untuk sekolah yang lain nilainya sangat buruk (katakanlah rata-rata 4), bagaimana validitas soal EBTANAS tersebut?, tolonglah dipikirkan. Valid tidaknya suatu soal sangat ditentukan oleh kondisi siswa dan keadaaan serta kesiapan siswa menghadapi tes. Menurut hemat saya yang paling baik adalah membahas soal-soal tes setelah diujikan, beberapa saat setelah diujikan. Di sini akan diketahui apakah soal yang disajikan itu baik atau tidak untuk kelompok tes itu.
Menganalisa soal sebaiknya dilakukan oleh suatu tim analisator yang tugasnya memang mmenganalisa soal, bukan oleh seorang guru yang mengajar si kelas yang tugasnya sudah segudang. Soal-soal yang dianalisa, bukan hanya untuk porsi ulangan rutin sehari-hari namun juga utnuk tes yang sifatny masal untuk tujuan-tujuan tertentu.
JALAN KELUAR
4. Gaji yang memadai. Perlu ditata ulang sistem penggajian guru agar gaji yang diterimanya setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan hidup diriny dan keluarganya dan pendidikan putra-putrinya. Dengan penghasilan yang mencukupi, tidak perlu guru bersusah payah untuk mencari nafkah tambahan di luar jam kerjanya. Guru akan lebih berkonsentrasi pada profesinya, tanpa harus mengkhawatirkan kehidupan rumah tangganya serta khawatirakan pendidikan putra-putrinya. Guru mempunyai waktu yang cukup untukmempersiapkan diri tampil prima di depan kelas. Jika mungkin, seorang guru dapat meningkatkan profesinya dengan menulis buku materi pelajaran yang dapat dipergunakan diri sendiri untuk mengajar dan membantu guru-guru lain yang belum mencapai tingkatnya. Hal ini dapat lebih menyejahterakan kehidupan guru dan akan lebih meningkatkan status sosial guru. Guru akan lebih dihormati dan dikagumi oleh anak didiknya. Jika anak didik mengagumi gurunya maka motivasi belajar siswa akan meningkat dan pendidikan pasti akan lebih berhasil.
5. Kurangi beban guru dari tugas-tugas administrasi yang sangat menyita waktu. Sebaiknya tugas-tugas administrasi yang selama ini harus dikerjakan seorang guru, dibuat oleh suatu tim di Depdikbud atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bersifat fleksibel (bukan harga mati) lalu disosialisasikan kepada guru melalui sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan guru mengajar dalam mengajar dan membantu guru-guru prmula untuk mengajar tanpa membebani tugas-tugas rutin guru.
6. Pelatihan dan sarana. Salah satu usaha untuk meningkatkan profesionalitas guru adalah pendalaman materi pelajaran melalui pelatihan-pelatihan. Beri kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan tanpa beban biaya atau melengkapi sarana dan kesempatan agar guru dapat banyak membaca buku-buku materi pelajaran yang dibutuhkan guru untuk memperdalam pengetahuannya.
Mudah-mudahan di masa depan nasib guru akan lebih baik, lebih dihormati dan lebih diminati anak bangsa.
*) Sura J. Kitti adalah Guru SMUK 1 BPK PENABUR KPS Jakarta

Sumber: BPK Penabur
Kemantapan Diri dan Kompetensi Mengajar

Oleh: Asep Sapa'at
ISU kontroversial tentang standardisasi nilai ujian akhir nasional (UAN) telah menjadi santapan hangat publik dalam beberapa pekan ini. Semua pihak memunyai pandangan sendiri. Tak terkecuali penulis, yang menilai masalah ini sebagai sebuah benturan kebijakan dalam tataran praktis pendidikan, tepatnya kebijakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang berorientasi kepada pengembangan kompetensi dan penilaian prestasi siswa secara komprehensif, yang berbenturan dengan SK Mendiknas yang terkesan hanya menyoroti proses evaluasi terhadap potensi kognitif siswa saja.
Tulisan ini sengaja penulis sampaikan sebagai sebuah wacana dan dalam kesempatan ini penulis tidak begitu tertarik untuk membahas kontroversi di balik kebijakan Mendiknas, tetapi penulis berusaha mengurai makna penting mengenai kemantapan diri dan kompetensi mengajar yang harus dimiliki guru.
Selama ini guru selalu dikebiri dengan kebijakan-kebijakan yang terkesan spontan, dramatis, dan perlu penyesuaian diri yang sangat cepat. Di sisi lain guru menanggung beban yang sangat berat dengan banyak agenda untuk menciptakan kualitas lulusan yang kritis, cerdas, terbuka, produktif dan berakhlak mulia seperti yang diamanatkan oleh berbagai tuntutan, baik dari pemerintah maupun stakeholders pendidikan lainnya. Yang lebih parah lagi, pengembangan diri dan kompetensi dalam konteks pelaksanaan tugas profesinya sangat terbatas.
Sebuah asumsi yang didukung oleh suatu penelitian telah menyatakan adanya korelasi yang signifikan antara tingkah laku dosen dengan persepsi mahasiswa terhadap prestasinya (Kozma, Belle, dan Williams, 1978, dalam Jacob, 2002, h.2).
Jadi, pada dasarnya prestasi subjek didik sangat dipengaruhi oleh kompetensi pengajarnya. Dalam konteks ini perlu dipahami dua definisi penting mengenai sebuah kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu: (1) kompetensi guru adalah himpunan pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan yang dimiliki seorang guru dan ditampilkan untuk situasi mengajar (Anderson, 1989, dalam Jacob, 2002, h.2); (2) kompetensi mengajar adalah tingkah laku pengajar yang dapat diamati (Cruickshank, 1985, dalam Jacob, 2002, h.2).
Sebuah kenyataan yang tidak dapat dimungkiri lagi bahwa profil kompetensi guru sangat berpengaruh besar terhadap prestasi siswa. Guru yang tidak menguasai bahan ajar, tidak menguasai landasan-landasan kependidikan, tidak menguasai psikologi belajar siswa, dan kompetensi lainnya sudah tidak dapat diandalkan lagi dalam konteks pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang yang profesional.
Masalah masih terus berlanjut ketika guru harus menerjemahkan setiap kebijakan yang muncul di luar dugaan. Konsep KBK menuntut guru mesti bersifat fleksibel dan mengubah paradigma pembelajaran yang selama ini sudah mengakar. Selanjutnya disusul oleh kebijakan Mendiknas tentang standardisasi nilai UAN yang mesti menguras pikiran guru dalam membuat strategi pembelajaran baru untuk menyelamatkan siswanya dari bencana ketidaklulusan. Seberapa siapkah guru menghadapi kenyataan ini?
Sungguh berat memang apa yang menimpa guru kita untuk saat ini. Keluh kesah apalagi sikap apatis terhadap setiap perubahan kebijakan tidak akan memberikan pengaruh yang positif dalam menunaikan tugas mulianya. Kemantapan diri, dua kata yang sengaja penulis undang untuk hadir dalam tulisan ini. Bandura (1986) telah memberikan batasan definisi untuk kemantapan diri, yaitu suatu keputusan dari salah satu kemampuan untuk melakukan suatu tugas dalam suatu domain khusus.
Studi yang dilakukan oleh Poole, Okeafor, dan Sloan (1989) dan Smylie (1988) (dalam Jacob, 2002, h.3) telah menemukan bahwa guru dengan kemantapan diri tinggi lebih memungkinkan untuk menggunakan materi kurikulum baru dan untuk mengubah strategi pembelajaran dibandingkan dengan guru berkemantapan diri rendah. Jelasnya, dunia pendidikan kita sangat merindukan hadirnya guru berkemantapan-diri tinggi yang selalu terpacu dalam mengembangkan kompetensi mengajarnya untuk kepentingan pengembangan kompetensi siswa yang diharapkan dapat berkontribusi terhadap pembangunan bangsa.
Saat ini guru sudah tidak memiliki waktu lagi untuk sekadar berdiam diri dalam menyikapi setiap perubahan cepat yang terjadi di dunia pendidikan. Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis melihat ada 4 hal penting yang dapat diusahakan oleh guru untuk membangun kemantapan diri sekaligus mengembangkan kompetensi diri dan kompetensi mengajarnya, di antaranya: (1) membangun kemantapan diri daripada mereduksi ekspektasi dengan terus melakukan regulasi diri yang relevan dengan pengembangan profesinya; (2) mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah (seminar, lokakarya, diskusi ilmiah, dsb) secara berkesinambungan dalam merespons secara aktif setiap isu-isu terbaru yang berkembang di dunia pendidikan; (3) mempelajari hasil-hasil penelitian dari berbagai literatur tentang kompetensi mengajarnya yang berhubungan dengan prestasi subjek didik; (4) sebagai hasil dari analisis tugas mengajar pada tingkat dan kurikulum yang berbeda.
Sungguh guru tidak memiliki banyak pilihan lain untuk bersikap dalam situasi sekarang ini, kecuali terus berpacu meningkatkan kualitas personalnya. Pastikan karya terbaik Anda dapat mengubah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Namun, bagaimana kalau pembuat kebijakan dan stakeholders pendidikan lainnya bersikap acuh tak acuh? Sudah dapat dipastikan badai pendidikan Indonesia takkan pasti berlalu.***
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumber: Pikiran Rakyat Cybermedia